SA LANGIT MONG BUGHAW
Di Bawah Langit Birumu
3 – 30 Juli 2009
Tembi Contemporary
RILIS MEDIA
Tembi Contemporary dengan senang hati mempersembahkan Sa Langit Mong Bughaw, sebuah pameran bersama pertama yang menampilkan empat seniman dari Filipina: Ambie Abaño, Christina Quisumbing Ramilo, Pardo de Leon dan Popo San Pascual. Sa Langit Mong Bughaw juga menandai episode puncak Program Residensi Valentine Willie di Bali.
Diterjemahkan sebagai "di bawah langit birumu," "sa langit mong bughaw" disadur dari salah satu bait Lagu Kebangsaan Filipina, Lupang Hinirang. Kelompok ini berusaha melebur bersama syair dibalik fragmen patriotik dalam sentimen dan medium yang beragam. Ambie Abaño, seorang seniman grafis/cetak, merekam wajah dalam jeda khusyuk. "Dalangin" diterjemahkan sebagai doa, dan figur serta wajah yang dimaksudkan adalah hasil cetak karet pada spandex, menoreh perhatian orang Filipina terhadap kepercayaan. Referensi terhadap seni klasik, pengukuran dan pandangan pada ilmu pengetahuan dibawakan oleh Pardon de Leon. Di sisi lain Popo San Pascual, yang mahir dalam bidang warna, mengeksplorasi nuansa serta rentetan letupan kaleidoskop budaya Filipina. Christina Quisumbing Ramilo telah tinggal lebih dari sebulan di Bali dan Yogyakarta dalam interaksi yang mengagumkan dengan sejumlah seniman lokal terkemuka. Sa Langit Mong Bughaw adalah jalan lapang tempat dimana Ramilo menyatukan sejumlah kesamaan antara kebudayaan Filipina dan Indonesia melalui penggunaan bahasa yang tergabung dalam patung-patung fungsionalnya sekaligus sikap-sikap serupa lainnya dalam praktek seni rupa.
Sama beragamnya dengan Filipina, Sa Langit Mong Bughaw adalah sebuah tinjauan substansial pada berbagai cara berbeda dalam penciptaan seni yang mengambil tempat dalam sebuah tataran. Dengan cara yang sama, terjadi semacam kesejajaran manakala keempat seniman Filipina ini mencetuskan cara berpikir dan merasakan yang merupakan kemiripan kedua budaya ini.
Sa Langit Mong Bughaw berlangsung mulai tanggal 3 Juli di Tembi Contemporary, Jl. Parangtritis KM 8,5 Bantul, Yogyakarta, INDONESIA.
Pembukaan 3 Juli 2009. 19:00
Dibuka oleh Dr. Soeprapto Soedjono M.F.A., Ph.D.
Disaksikan: Duta Besar Austria, Duta Besar Australia, Duta Besar Canada, Duta Besar Mexico, KGPH Wironegoro dan Gusti Pembayun
Presentasi Seniman 4 Juli 2009 16:00 – 18:00
Moderator: Arahmaiani
CURATORIAL ESSAY
Dua Negeri, Satu Langit
Sa Langit Mong Bughaw (Di Bawah Langit Birumu) menawarkan sebuah gugusan kemungkinan bagi dialog masa depan antara seniman Filipina dan Indonesia. Sebuah pameran rintisan oleh empat seniman Filipina di Yogyakarta, menunjuk pada wilayah kepedulian bersama antara dua negara yang masih memiliki banyak potensi dialog dalam bidang kebudayaan dan kesenian.
Judul pameran ini diambil dari sebuah bait dalam Lagu Kebangsaan Filipina, Lupang Hinirang, sebuah lagu patriotis dan merupakan simbol bersejarah dalam konteks politik Filipina. Mengambil tema utamanya dari praktek kebudayaan secara umum membentuk konsepsi seseorang mengenai apa yang dimaksud dengan kebangsaan, pameran ini secara tersirat merefleksikan pertanyaan mengenai bagaimana kesatuan dibentuk terlepas dari perbedaan dalam sejarah, geografi, kebudayaan dan cara pandang.
Karya-karya dalam pameran ini menunjukkan bagaimana praktek seni yang beragam bisa dihadirkan dalam satu wilayah atau teritorial yang tidak utuh dalam membentuk sebuah bangsa atau daerah. Bagaimanapun juga, seni kontemporer Filipina tidak dapat dengan serta merta diklasifikasikan pada sebuah genre atau cara visual: apa yang telah dibuat oleh para seniman selama bertahun-tahun berkisar pada karya figuratif sampai absttrak, simbolis sampai literal, fungsional sampai konseptual. Sebaliknya, pameran ini menampilkan bagaimana karya yang beragam menuju penciptaan sebuah citra yang utuh, dalam arti membentuk apa yang disebut seni Filipina: bagaimana setiap elemen atau tradisi mutlak diperlukan untuk melukiskan gambaran yang utuh, kira-kira demikian, terlepas dari hadirnya berbagai kontradiksi dan perbedaan.
Udara perayaan keragaman artistik direkam dalam karya-karya abstrak Popo San Pascual yang tajam. Warna-warna yang berani dan nyaris cair dalam gerakannya, karya-karyanya nyaris tak berbatas, memperlihatkan spontanitas yang mengagumkan. Bentuk-bentuk organik – pusaran, petakan, lingkaran –mengalir pada dan ke luar dari satu sama lain, berpindah dari keburaman menuju kebeningan. Keindahan karya San Pascual terletak pada bagaimana warna-warna yang sama-sama kuat dan tampak mengejutkan dipadukan secara berani untuk menghasilkan kesatuan yang memuaskan dan utuh.
Karya-karya San Pascual yang penuh warna menemukan sebuah kontras visual yang langsung dalam karya cetak hitam-putih Ambie Abaño yang dingin, berpusat pada potret psikologis orang-orang yang sedang berdoa (dalangin). Meskipun sepertinya terfokus pada keadaan pembacaan doa dan permohonan, subyek pokok dalam karya-karya Abaño adalah sebuah isu yang penting bagi kebudayaan di Filipina, di mana agama memainkan peranan kunci dalam lingkungan sosial. Dalam konteks ini, tindakan dalangin dari sisi sejarah bersifat politis sekaligus pribadi: menjadi bagian dari kejadian, bahkan pemberontakan. Seseorang akan tergerak untuk bertanya apakah hal ini merupakan hal yang sama di Indonesia, dan jika benar demikian, bagaimana ini diwujudkan.
Empat karya Pardo de Leon dalam pameran ini menunjukkan tekanan yang meluap di bawah permukaan seni yang diproduksi masa kini: kontradiksi antara tradisi dan arah menuju masa depan. Figur-figur yang dijajarkan diambil dari gambar kapur maestro Italia pada masa Renaissance, Leonardo da Vinci dan gambar-gambar acak lainnya, sang seniman mendokumentasikan pijakan yang lemah dalam upaya merengkuh gaya visual menggambar dan melukis sekaligus tradisi seni bersejarah di masa lalu maupun masa kini.
Kecenderungan pribadi de Leon pada karya-karya masa Renaissance dapat dilacak pada pendidikan seninya di UP CFA (yang, dalam hal mengembangkan kurikulumnya sendiri, juga mengambil dari tradisi akademik untuk belajar dari karya-karya para Maestro) sekaligus pengalaman residensi ke Italia. Seniman ini menghasilkan tanggapan yang intuitif, psikologis dan bahkan acak terhadap sebuah tradisi visual yang dikaitkan dengan penjelasan empiris dan ilmu pengetahuan, upaya pencapaian ideal, dan integrasi yang hati-hati dengan proporsi dan keseimbangan. Sebagai contoh, dua karyanya, Leda dengan Kodok, mengacu pada representasi da Vinci akan Leda dan angsa (yang, sebenarnya, merupakan pola yang diambil dari mitologi Yunani) tidak hanya menjajarkan dua citra dan konsep yang seolah acak, namun juga mengacu pada erotisme dan pelanggaran dalam karya seniman masa Renaissance itu. Intuisinya yang tajam pada kontradiksi dapat dicermati dalam karyanya yang lain, di mana citra dan bentuk-bentuk geometris –teladan rasional dan pemikiran ilmiah –melayang dengan tenang, secara sureal, di langit.
Instalasi fungsional Christine Quisumbing Ramilo, secara umum menggunakan berbagai benda temuan di Jogja, mencari kesamaan dan dialog antara kebudayaaan Filipina dan Indonesia. Seniman ini mempertemukan nilai-nilai dalam obyek sehari-hari, seperti tempat tidur, kardus, gerobak dan bingkai, untuk menciptakan obyek dengan ruang yang terbuka pada interaksi dan refleksi.
Seniman ini menggunakan teks temuan untuk menunjukkan konsep pertukaran: kata-kata umum antara dua negara yang dapat dilacak pada masa kesamaan warisan Bahasa Indonesia(seperti mahal, bekas dan ingat) dan puisi temuan berbahasa Indonesia yang umumnya ditulis oleh kenalan barunya selama masa residensi itu. Solo Flight (Penerbangan Tunggal), sebuah ambin dengan teks mahal dan ingat yang dipahatkan, berkisah mengenai cara-cara umum di mana kata-kata ini berada dalam kebudayaan Filipina dan Indonesia, menemukan ruang sementara akan pemahaman dan kenyamanan diantara dua kesatuan. Idlip, ambin yang lain, menjadi ruang refleksi sekaligus aspirasi, di mana teks yang ditampilkan langit mong bughaw bukan hanya sebuah frasa patriotik, tapi juga undangan untuk menemukan penghiburan dalam ketenangan dan impian akan berbagai kemungkinan.
Ramilo juga menghubungkan konsep populer gerobak sorong sebagai sebuah bentuk utama untuk mengaitkan publik melalui seni. Grobak Contemporary, sebuah gerobak dengan sepeda, menampilkan figur yang jamak dalam kebudayaan dua negara: pedagang makanan kaki lima membawa barang pecah belah mereka dalam gerobak. Ramilo mengisi gerobak dengan berbagai benda seni dan menyusun karya-karya sejumlah seniman di dalamnya, bukannya makanan dan membawa pameran keliling ini melewati sejumlah ruang publik dan komunitas untuk menekankan maksudnya bahwa seni adalah sebuah elemen yang sangat penting untuk sebuah kehidupan yang layak. Letters to the Universe (Surat-surat untuk Semesta), sebuah instalasi kotak kayu diisi dengan puisi temuan dari Indonesia, Filipina dan Amerika Serikat di dalam amplop-amplop tertutup, mengundang para pengamat untuk berhubungan dengan hal-hal pribadi maupun filosofis.
Sebagai sebuah pameran yang utuh, karya-karya dalam Sa Langit Mong Bughaw menampilkan rentang lebar yang meliputi berbagai isu, estetika, dan cara berhubungan. Mereka menawarkan kita sebuah gambaran pada berbagai macam kemungkinan terjadinya dialog antara seni Indonesia dan Filipina, selayaknya interaksi semacam ini dimungkinkan dan dilanjutkan sebagai kolaborasi.
Akhirnya, karya-karya dalam Sa Langit Mong Bughaw juga menekankan pada arah tematik dan konseptual pada terjadinya dialog: lapisan perbedaaan apapun, pada akhirnya, berakar pada kekhasan sejarahnya. Pada kasus Filipina dan Indonesia –dua kepulauan yang terbentang bersebelahan di bawah angkasa biru namun memiliki perbedaan kebudayaan yang besar –sebuah ruang yang umum untuk melakukan refleksi akan menjadi pengalaman kedua negara dengan kolonisasi dan masa peradaban yang semakin bertolak belakang, gelombang patriotisme dan kebencian, refleksi pada peran pengaruh Barat, perayaan dan kemeriahan berbagai untaian subkultur yang ada di dalamnya, refleksi dan pencarian identitas, dan kaitannya dengan publik yang lebih besar dalam peranan seni.
Tentang Seniman
Ambie Abaño adalah seorang arsitek, seniman visual dan seniman grafis/cetak. Ia mememenangkan Hadiah Utama dalam Anugerah Phillip Morris Filipina 2006 dan Kompetisi Seni Terbuka Asosiasi Seni Filipina (Kategori Lukisan) 1987. Ia telah menggelar 11 pameran tunggal dan telah ambil bagian dalam lebih dari 70 pameran bersama sejak 1986. Abaño menjadi Presiden Asosiasi Seniman Cetak/Grafis Filipina sejak 2007 hingga saat ini dan tengah menyelesaikan gelar Master dalam bidang Seni Rupa dari Universitas Filipina di Diliman, Quezon City.
Pardo de Leon memiliki gelar sarjana Seni Lukis dari Akademi Seni Rupa Universitas Filipina di Diliman. Ia adalah penerima Anugerah Tigabelas Seniman dari Pusat Kebudayaan Filipina pada tahun 1988. Pada tahun yang sama, ia menerima hibah studio( program residensi ), bersama dengan tiga seniman Filipina lainnya, dari Yayasan Kebudayaan Italia-Swedia di Venesia, Italia, yang dinobatkan sebagai pameran terbaik tahun tersebut oleh lembaga pemerintah pada 1999. Sejak saat itu, De Leon telah terus berbagi karyanya dengan publik melalui berbagai pameran tunggal dan pameran bersama di Filipina.
Christina Quisumbing Ramilo adalah seniman lepasan dan kurator, instruktur seni, penggerak masyarakat dan desainer furnitur. Menyelesaikan pendidikan sarjana Komunikasi Visual di Akademi Seni Universitas Filipina, Ramilo kemudian meraih gelar pasca sarjana dengan Master Seni di Studio Seni dan Pendidikan Seni (jurusan Seni Lukis) dari New York University. Ia belajar litografi, patung keramik, ilustrasi, dan fotografi pada sejumlah institusi seni, termasuk Liga Mahasiswa Seni, Sekolah Seni Visual, State University of New York dan Parsons School of Design. Pada tahun 2008, ia mendirikan Martinez Art Project (MAP), sebuah kelompok yang berfokus pada penggunaan bahan-bahan daur ulang untuk menciptakan karya-karya yang konseptual, fungsional dan tradisional.
Popo San Pascual memiliki gelar dalam bidang Seni Lukis dari Akademi Seni Universitas Filipina. Ia, bersama dengan Pardo de Leon, menerima Anugerah Tigabelas Seniman dari Pusat Kebudayaan Filipina pada tahun 1988 dan menerima hibah dua bulan residensi seni dari Fundaccion Culturale Italo Svedese.
Lisa Ito belajar Seni Murni, jurusan Sejarah Seni Rupa, di University of the Philippines College of Fine Arts (UP CFA) di Diliman, Quezon City. Tulisannya mengenai seni rupa dipublikasikan dalam berbagai media, termasuk: Asian Art News, World Sculpture News, Pananaw Philippine Journal of Visual Arts 6, Ctrl+P: Journal of Contemporary Art, Art Manila Quarterly, Philippine Daily Inquirer, Philippine Graphic dan www.bulatlat.com
Jl. Parangtritis Km 8,5
No comments:
Post a Comment