puisi dewi maharani, puisi nirwan dewanto - menolak kritik sastra
Share
Today at 11:45am | Edit Note | Delete
Tiap kehadiran selalu bersama unsur, seperti kehadiran tuhan bersama dunia dan seisinya. Tanpa dunia dan seisinya, tak ada tuhan dalam kosa kata manusia.
Dan tiap unsur, selalu kita bisa pandang dari suatu sudutnya, yang akan menghasilkan suatu sudut pandang lain, dari tempat orang lain memandang.
manusia pertama tama bukan tampil sebagai pengkritik alam, tapi takjub dan terpukau akan kehadiran alam. akan luas dan sunyinya alam. luas dan sunyi alam yang diam diam menjatuhkan misteri ke dalam hati.
jelas ekumene setelah datangnya bahasa. tapi descent itu tak juga terurai dengan suatu kepastian. "dapatkah kita melacak usia umat manusia secara lebih tepat," kata toynbee dalam bukunya sejarah umat manusia, terbitan pustaka pelajar (hal 31). "kita bisa menduga," kata arnold lagi. dan dugaan itu hanya menghasilkan hominid.
"seorang hominid memecah batu untuk membuatnya menjadi sebuah alat yang lebih bermanfaat..
lihatlah seorang ilmuwan cemerlang dengan bukunya yang amat tebal berendah hati, berkata "mungkin", yang tak tahu saya bagaimana membuatnya menjadi italic, sehingga saya buatkan saja dengan huruf kapital - sesuatu yang baru sekali ini saya lakukan.
mungkin, dari suatu ketaktertebakan luas dan misterinya universe ini. bahwa kehidupan ini sunggguh seolah lapisan lapisan yang tak berujung. labirin yang tak berkesudahan yang, menurut keyakinan saya pribadi, adalah dan hanyalah tempat di mana kitab lauful mahfus itu menjatuhkan dirinya satu demi satu, seolah menggoda manusia: tangkaplah, dan ketika tangan kita sudah menggapai, ia seakan dara remaja yang lari menjauh. jauh, sampai dentuman kedua yang maha besar itu tiba: kiamat.
(manusia yang bijak adalah ia yang pandai menangkap sesuatu yang in absentia. dengan ketajaman jiwa dan keluhuran nuraninya)
dan saya sebutkan lagi toynbi ini (hihi) yang menulis di halaman 31 buku itu, demi dan untuk agar bahasa itu dapat terkuak misterinya kehadapan kita, bahwa, katanya, "jika kita berpendapat bahwa manusia sama tuanya dengan masa ketika nenek moyang kita tidak mungkin hidup, jika mereka masih bertahan hidup menjadi yang selain manusia, maka manusia pastilah berasal... " yang "berarti manusia telah hidup selama sekitar dua puluh juta sampai dua puluh lima juta tahun yang silam."
lihatlah lagi penulis sejarah umat manusia yang besar itu menggunakan kata "mengkin" kembali: sampai, katanya. dan rentang itu adalah suatu angka yang tidak main main: lima juta tahun. tapi begitulah misteri itu dalam dugaan, dalam upaya semua ilmu untuk merengkuh kepastian. sebab, kepastian, sesungguhnya selalu menjadi relatif di atas dunia. pun kepastian sains yang menggadang dirinya sebagai penemu dari suatu pemikiran yang paling stabil itu.
apalah lagi kepastian ilmu kritik sastra.
situasi yang tak terperikan dalam dan akan universe ini, seolah gerak orang mencari tuhan dalam bait puisi penyair indra prayana - bersoraklah gembira.
Bertahun-tahun mencari tuhan, kini kau berhasil menemukan
Ia yang kau cari hanya tertutup kabut pikiran
Berhentilah berfikir dan mulailah merasakan
Pertemuan dengan Tuhan sangat tidak terelakkan
dan buku itu kembali mengayun dirinya ke dalam dugaan dugaan.
"kita bisa menduga", katanya, "sebagai sebuah kesimpulan mengenai kelangsungan hidup nenek moyang kita setelah turun dari berumah di atas pohon ke tanah..." bahwa "manusia pasti telah telah menjadi binatang sosial sebelum dia menciptakan bahasa." - hal 32.
menciptakan bahasa, inilah suatu daerah yang akan kita masuki.
menciptakan bahasa, pertama tama, adalah terciptanya ruang sadar dalam diri, ruang sadar yang menjuntaikan dirinya ke sebuah identitas. yang begitu kreatif dituliskan marques dalam novelnya seratus tahun kesunyian.
tapi apa yang diciptakan marques itu, adalah suatu bahasa dalam bingkai ekumene juga. marques tak sampai, atau tak hendak menggali, sebuah daerah baru dalam penjelajahan atas spekulasi, dari mana awal mula bahasa itu, dalam rantai kemanusiaan yang, seperti ditunjukkan dalam buku sejarah umat manusia itu, nampak kehilangan banyak anak mata rantainya.
"bertahun tahun kemudian", demikian novel itu memulai kalimat pembukanya, "saat ia menghadapi regu tembak, kolonel aureliano mencoba mengenang suatu senja yang jauh, ketika ayahnya mengajaknya untuk menemukan es.
macondo adalah sebuah desa yang terdiri atas dua puluh rumah terbuat dari batu bata mentah, dibangun di tepi sungai dengan airnya yang jernih: mengalir melewati batu batu yang mengkilat, putih dan besar seperti telur telur dari zaman pra sejarah. dunia seperti baru saja dibentuk, sehingga banyak benda benda belum mempunyai nama, dan untuk menyatakan benda benda itu kita harus menunjuknya.
benda benda belum mempunyai nama, dan kita harus menunjuknya, itulah ekumene itu - sebuah daerah yang dihuni, atas sebuah ruang kesadaran yang telah terbentuk dalam diri. ruang kesadaran dalam bahasa, dalam menggunakan bahasa untuk menunjuk benda benda, walau kita belum tahu namanya. (bersambung - sedang dituliskan di facebook hh)
------------
Written about an hour ago · Comment · LikeUnlike
You, Nani Mariani, Musthafa Amin, Dewi Maharani and 4 others like this.
Nani Mariani, Musthafa Amin, Dewi Maharani and 4 others like this.
Hudan HidayatHudan
Nani MarianiNani
Musthafa AminMusthafa
Dewi MaharaniDewi
Early RahmawatiEarly
Ping HomericPing
Teddy DelanoTeddy
Cesillia CesiCesillia
Iwan Gunawan at 12:06pm June 14
setiap hadir adalah sementara,
misteri selalulah didepan mataku
bagai benang terbelah tujuh
kunang menatap dapat terjatuh
lukaku, tak ingin berperih
perihku, tak harap berdarah
darahku, tak asa memecah
kerling dan kilat di pelupuk menggoda
melesat sekebat
lepaskan sekat
ingin, harap dan asa
menembus, teroboskan lara
dari alam dunia yang kuhuni
Indra Prayana at 12:07pm June 14
do true ...
Amazeing is you
:D
Dewi Maharani at 1:10pm June 14
menyimak bang ..
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment