Oleh : Chris Poerba Kutukan Tidak nasionalis, kata beberapa orang, bila saat tujuh belas agustus-an lupa menaikkan sang saka merah putih di tiang tertinggi, di halaman rumahnya. Tidak nasionalis juga, bila ada orang yang lupa, salah satu saja dari ke-lima sila dari Pancasila. Sangat memalukan dan tidak nasionalis lagi bila ada yang lupa beberapa bait lagu saat menyanyikan Indonesia Raya. Mungkin juga semakin tidak nasionalis lagi, kalau ada yang tidak tahu berapa jumlah bulu di sayap, dada dan ekor burung Garuda Pancasila, yang merupakan simbolisasi dari jargon kata nasionalisme itu. Terakhir juga tidak nasionalis kalau tidak mendukung kesebelasan sepakbola dari negeri ini saat bertanding dengan kesebelasan dari negara lain. Anehnya, ada juga yang mengatakan saya lebih nasionalis dari anda, karena saya datang dan menonton langsung pertandingan itu, di Stadion Senayan, tidak hanya nonton di layar kaca. Hingga nasionalis pun kembali menjadi "kecap" yang diusung para calon presiden dalam pemilu kali ini, yang dalam artian, lebih mengutamakan negara dan rakyat daripada kepentingan pribadi, katanya itu nasionalis. Debat antar capres pun kembali mengusung "kecap" nomor satu ini, saya yang lebih nasionalis daripada capres yang lainnya. Membingungkan, sebenarnya "binatang" apa nasionalisme itu, hingga banyak sekali sumpah serapah bahkan orang yang satu dan lainnya saling memberikan kutukan. Kutukan nasionalisme. Diskursus Dalam kebangsaan kita, mungkin nasionalisme dapat disinonimkan dengan dua pemaknaan yang hampir setara yaitu kemerdekaan dan kedaulatan. Dua pemaknaan akan arti nasionalisme ini juga terkait dengan peristiwa yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini. Dari saat menjelang detik-detik kemerdekaan dan sampai sekarang ini, saat kita sekarang terus berupaya menjaga kedaulatan pasca kemerdekaan, yang heroik itu, katanya. Nasionalisme dalam pergerakan menuju kemerdekaan, maka musuhnya sangat jelas, penjajah dan imperialisme kolonial barat, yang telah banyak "menghisap" semua sumberdaya yang ada dari Bumiputera, ibarat seorang perampok yang telah selesai menguras semua harta kekayaan dan hanya meninggalkan tangis dan luka yang berkepanjangan. Kenangan yang hanya menyisakan sebuah trauma sejarah. Sehingga jelas nasionalisme kala itu, merupakan simbol perlawanan saat menentang kolonialisme Belanda dan Jepang. Bibit-bibit nasionalisme sudah tumbuh saat itu. Namun, meskipun kebangkitan rasa nasionalisme sudah terjadi pada masa itu, akar-akarnya pun sudah jelas, yaitu menghadapi musuh yang sama, tapi konsepsi akan kesepakatan nasionalisme yang akan dianut secara kolektif dan bersama masih sangat beragam, belum mengerucut, seperti sebuah piramida terbalik. Beberapa orang memiliki pemahaman akan ide nasionalisme yang sangat berbeda. Diskursus nasionalisme pun kerap terjadi, setiap pihak menanyakan kembali konsep-konsep nasionalisme dari pihak lain. Ada yang saling kompromis dan ada yang terus "berkelahi" bahkan hingga saat ini. Ide nasionalisme masih liar, belum menjadi ideologi yang sama, yang bisa dijadikan menjadi paham dan falsafah hidup berbangsa. Setidaknya sampai pada tahun 1930-an, saat Indonesia belum merdeka pun, konsep nasionalisme sudah menguak ke permukaan, terdapat 3 partai besar yang mengusung ideologi nasionalisme ini, namun ketiganya memiliki pengertian yang saling berbeda. Ketiga partai besar kala itu adalah Parindra, Gerindo dan PSII. Menurut Wilson, si penulis buku "Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme", mengatakan, "Pada tahun itu sebenarnya perdebatan yang paling seru adalah antara Parindra-nya Soetomo dengan Gerindo-nya Amir Syarifuddin. Karena Parindra ini mendefinisikan nasionalisme dengan mudah saja, dengan membalikan begitu saja kata kolonial tersebut, kolonial berarti bukan nasionalisme. Nasionalisme hanya dimiliki oleh orang-orang yang dianggap Indonesia asli, maka muncul juga istilah pribumi dan bukan pribumi, jadi Parindra ini hanya membalikan saja. Dan yang dimaksud dengan orang-orang Indonesia ini hanya meliputi orang-orang pribumi ini saja. Inilah yang akhirnya menjadi rasis, kan. Sehingga nantinya kita jadi anti Cina, anti Arab dan anti asing. Parindra sendiri adalah partai yang besar saat itu, dan Doktor Sutomo, si pendiri Budi Utomo itu, jelas seorang yang diakui punya legitimasi saat itu." Alhasil Gerindo, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin merasa khawatir dengan adanya konsepsi nasionalisme- Paling pribumi ? Parindra pun melakukan eksperimen dengan mencari akar-akar nasionalisme dari sejarah-sejarah masa lampau, perihal siapa itu orang-orang Indonesia asli, orang-orang yang paling sah menyandang "gelar" sebagai orang Indonesia asli atau pribumi asli. Akhirnya Mohammad Yamin "menemukan", katanya, akar dari keindonesiaan itu berasal dari sejarah Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Meskipun hal ini juga sangat sulit untuk diterima, karena bila mengacu pada riset dan teks-teks akademis, maka anggapan itu pun akan "runtuh", karena kalau kita ingin mencari siapa sebenarnya orang Indonesia yang paling asli, maka akan sulit, karena semuanya sudah tercampur, yang didalamnya ada Hindu, Budha, China, Arab, Turki, India, sebagai sebuah kesatuan. Tidak bisa lagi Indonesia diibaratkan seperti kue lapis yang bisa dipisah-pisahkan, satu sama lain. ............ ............ lebih lengkap di http://chrispoerba. |
Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment