Keheranan bung Chan atas diggunakan kata "menolak"dan bukan kata < mengutuk> saya kira bukan sekedar karena kekurangan bung Chan dalam menguasai bahasa Indonesia tapi justru mengetahui bahasa Indonesia dengan baik dan bahkan kritis. Memang dalam alinea berikutnya, juga digunkan kata "mengecam", tapi ini semua memang soal sikap atau lebih tepatnya tangga nada sebuah sikap: tinggi rendahnya sebuah sikap yang diberikan. Memang ahir-ahirnya agak sukar bila akan menilai sebuah tangga nada sebuah sikap dari pihak tertentu apakah mereka mengunakan not "mi" atau "sol" ataupun hingga "si" bahkan hingga "do"tertinggi. Untuk saya pribadi dalam hal tindak biadab pembakaran buku yang diikut sertai seorang Prof. Dr. (memaksa kita harus membayangkan betapa besarnya intelektualisme orang yang memakainya), saya lebih suka menggunakan kata >mengutuk keras> sebagai ganti kata "mengecam" yang cuma bersifat sebuah kritik. Dalam hal kata "menolak", saya setuju sepenuhnya dengan bung Chan: kata itu terlalu lunak dan dalam konteks yang sekarang bahkan terlalu berbau intelektualisme yang memancing kompromi dengan yang mereka kritik.
Kita tahu dan semua tahu bahwa kebiasaan membakar buku di Indonesia selalu dari satu sumber: FRONT ANTI KOMUNIS beserta variasi-variasi organisasinya yang mengatas namai Islam. Efek dan imago aksi-aksi biadab yang mereka berikan cumalah: Betapa ngeri dan menakutkannya bila Indonesia menjadi Negara Islam. Negara yang semacam itu bukan saja neraka bagi ummat Islam sendiri tapi bagi semua yang non Islam terutamanya. Bukan hanya buku yang bisa dibakar bila tidak disetujui, manusiapun bisa pula dibakar sesukanya bila dianggap salah atau tidak sesuai dengan Islam. Minum bir saja bisa dijatuhi hukuman tiga tahun dan tambah lagi hukum cambuk bahkan terhadap wanita yang begitu tampak rapuh dan tak berdosa dan tentu saja masih begitu banyak kejadian ngeri dan mendirikan bolu roma mendengar (apalagi menyaksikan) hukuman yang tanpa peri kemanusiaan terhadap yang dianggap pelanggar-pelanggar syariat Islam. Indonesia dalam sekejap akan hidup di abad pertengahan, abad tanpa peradaban, tanpa nilai-nilai kemanusiaan.
Tapi sayangnya, sebuah ironi juga masih terjadi yang bahkan di kalangan yang mana saja yang disamping pihak lawan tapi juga terjadi di pihak sebaliknya. Bila anti terhadap sebuah isi buku atau yang langsung merasa terkena meskipun jauh daripada kesengajaan dari penulis buku yang bersangkutan, masih ada saja orang yang menggunakan emosi tak terkendali meskipun belum main bakar(karena tidak mampu melakukan hal itu) tapi lalu mendiskriditkan penulis buku yang tidak disukainya, atau dianggap musuhnya, atau dirasakannya sebagai menyinggung pribadinya, lalu melontarkan kata-kata seperti : BOHONG! NGIBUL! MEREKAYASA CERITA! MENG-ADA-ADA! dsb, dsb... yang isi dan semangatnya sama saja dengan yang dilakukan sang Prof. Dr. dengan para gerombolannya si pembakar buku dan bila diajak berdialog, selalu menutup kran dialpg sambil merendahkan dan meremehkan lawannya dengan tuduhan: "debat kusir", "pelontar kata-kata kotor", "penyerang pribadi" dsb,dsb... sambil menutup diri dengan menutup kran diskusi atau membungkam adu argumentasi secara jantan hingga ahir yang paling pahit sekalipun.
Ironi yang demikian membuktikan bahwa pengertian demokrasi di pihak di luar lawan masih sangat menjadi tanda tanya meskipun dalam kesehariannya tidak kurang semangat meneriakkan perlunya ditegakkan demokrasi. Bahkan ada sekelompok orang-orang yang masih merasa mewakili generasi muda( juga dengan campuran yang tua-tua), yang juga merasa "progressif" yang juga termasuk tukang bikin buku(sungguh ironis!) tapi bila ada orang-orang bekas segolongaannya yang juga bikin buku tapi isi bukunya tidak sesuai dengan pendirian mereka, maka tidak segan-segan merekapun main jegal, main boikot dengan berbagai cara. Bukankah ini pada hakekatnya adalah juga pembakaran buku tanpa api tapi dengan sabotase gelap atau sabotase senyap terhadap buku-buku karya bekas golongan sendiri? dan apakah ini bukan bentuk kemunafikan yang berbicara"menolak"
Kenyataan ini juga justru perlu dilihat dan diketahui karena disamping kita harus berhadapan dengah musuh yang di depan mata kita, kita juga harus mengkonfrontir musuh yang ada dalam diri kita sendiri demi untuk menelanjangi setiap kemunafikan yang kita tolak bersama.
asahan.
----- Original Message -----
From: ChanCT
To: HKSIS ; Wahana
Sent: Monday, September 07, 2009 3:45 PM
Subject: #sastra-pembebasan# Fw: PETISI: KAMI MENOLAK PEMBAKARAN BUKU!!
Bung Boni yb,
Isi pernyataan sepenuhnya saya setuju. Tidak seharusnya buku dibakar, apalagi isi buku itu sebagai usaha mengungkap fakta sejarah dari sisi lain. Pelajari dan ajukanlah fakta-fakta lain untuk coba menyangkal bahwa apa yang diajukan Soemarsono itu tidak benar. Dari fakta-fakta yang sepotong-potong dan diajukan oleh peserta peristiwa itu, dianalisa secara ilmiah bagaimana jalan peristiwa itu sesungguhnya yang lebih mendekati kenyataan. Itulah tugas ahli sejarah, ... Jangan karena berbeda dengan suara penguasa yang menang, lalu buku dibakar.
Tapi, kenapa judul PETISI "Kami Menolak Pembakaran Buku", ya? Apa karena diajak Front Anti Komunis untuk ikut bakar buku? Kenapa tidak Mengutuk atau Mengecam Pembakaran Buku?
Maaf, mungkin hanya karena keterbatasan pengetahuan bahasa Indonesia saya, jadi ada salah pengertian? Namun demikian tolong cantumkan nama saya, Chan Chung Tak, Pemerhati Indonesia di HK, mendukung PETISI dibawah.
Salam,
ChanCT
----- Original Message -----
From: Boni Triyana
To: wahana-news@
Sent: Monday, September 07, 2009 7:26 PM
Subject: [wahana-news] PETISI: KAMI MENOLAK PEMBAKARAN BUKU!!
Dear all,
Yang ingin mendukung petisi ini silahkan sebutkan nama dan institusi.
Thanks,
Bonnnie Triyana
-------
PERNYATAAN SIKAP
KAMI MENOLAK PEMBAKARAN BUKU!!
Pekan lalu Front Anti Komunis di Surabaya membakar buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono. Guru Besar Ilmu Sejarah Prof. Dr. Aminuddin Kasdi ikut dalam pembakaran dan mengatakan bahwa sejarah adalah milik pemenang. Mereka membakar buku sebagai reaksi terhadap kolom serial wartawan Jawa Pos Dahlan Iskan tentang Soemarsono, Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya.
Pembakaran buku kali ini bukan yang pertama. Pada Juli 2007 ribuan buku pelajaran sejarah dibakar Kejaksaan Negeri Depok. Pembakaran-pembakar
Kami prihatin dengan pembakaran buku itu kendati kami belum tentu sepenuhnya setuju dengan isi buku tersebut. Tapi kebebasan berpendapat, baik lisan maupun tulisan, dijamin oleh UUD 1945. Pembakaran buku Soemarsono mengulang kembali aksi fasisme Nazi yang juga membakar buku-buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai cendekiawan lain. Nazi menganggap buku sebagai musuh mereka.
Kami prihatin aksi ini dilakukan oleh sekelompok orang, yang memakai nama Islam namun melakukan tindakan tercela pada bulan Ramadhan, bulan di mana Allah pertama kali menurunkan perintah membaca kepada Nabi Muhammad SAW. Buku semestinya dibaca, bukan untuk dibakar.
Kami menyayangkan pernyataan Aminuddin Kasdi. Pernyataan sejarah hanya milik pemenang tak sepantasnya dikatakan oleh seorang guru besar ilmu sejarah. Penulisan sejarah semestinya mengedepankan keberimbangan fakta dan keberagaman versi, bukan monopoli satu versi praktik Orde rezim Baru.
Oleh karena itu, atas dasar akal sehat dan kepercayaan pada demokrasi, kami menyatakan:
PERTAMA, mengecam para pelaku pembakaran buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono, dan menganggapnya sebagai tindakan fasistis, yang bertentangan dengan kemanusiaan dan upaya mencerdaskan masyarakat.
KEDUA, menuntut kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjamin kebebasan berpendapat dan menindak tegas mereka yang menciderai kebebasan sipil di Surabaya.
KETIGA, menuntut dihentikannya tindakan pelarangan buku atas alasan apapun. Bila terdapat perbedaan pandangan, yang diwakili sebuah buku, hendaknya dijawab dengan menerbitkan buku baru, yang mencerminkan pandangan yang berbeda --bukan dengan larangan.
Semoga demokrasi di Indonesia, yang baru ditanam benihnya, bisa berkembang sehat.
Kami yang mendukung:
1. Andreas Harsono (wartawan)
2. Bonnie Triyana (sejarawan-cum-
3. Goenawan Mohamad (wartawan senior)
4. Wilson (sejarawan)
5. Patra M Zen (Direktur YLBHI)
6. M Abduh Aziz (Dewan Kesenian Jakarta)
7. Sapariah Saturi (wartawan)
(yang ingin turut serta silahkan kirim nama dan institusi kepada saya.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment