RELEASE "MALAIKAT KAKUS" Produksi ke- 77 Teater Klosed Solo Lakon : "Malaikat Kakus" Karya : Sosiawan Leak (diadaptasi dari cerpen karya Triyanto Triwikromo) Sutradara : Sosiawan Leak Pemain : Apris, Echak, Nana, Titis, Leak Penata Artistik : Dilla Penata Musik : Adit Tempat : Gedung Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta Waktu : Kamis, 26 Nopember 2009, Pukul 19.30 WIB TENTANG TEATER KLOSED SOLO Sejarah & Konsep Klompok Tonil Klosed (Kloearga Sedjahtra) Surakarta berdiri pada tanggal 20 April 1998. Diawali dengan berkumpulnya beberapa aktifis teater kampus dari beberapa kelompok, diantaranya adalah Max Baihaqi, Sintha Damayanti, SS Subagyo, Joko SCT, Tri Setyawan, dan Sosiawan Leak. Sifat keanggotaan pada Klompok Tonil Klosed Surakarta sangat terbuka. Keterlibatan anggota pada proses-prosesnya juga diupayakan seproporsional mungkin, berdasarkan kebutuhan kelompok dan aktifitas masing-masing anggota. Sampai sekarang telah banyak personil yang sempat tercatat sebagai anggota kelompok ini. Dengan pendekatan yang berpihak dan menilik sifat masyarakat, Klosed tidak memperumit diri dengan simbol, justru seringkali bermain telanjang. Jadilah mulai di awal pembentukannya Klosed pentas di tempat-tempat umum seperti terminal, panti asuhan, kantor kalurahan, lapangan kampung, stasiun, tempat pelelangan ikan, lembaga pemasyarakatan dan pondok pesantren. Tetapi sebagai kelompok kesenian yang juga serius dalam menjalani proses kreatifnya, Klosedpun bisa diterima di kalangan lain. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan Klosed yang kerap diundang pentas di festival-festial, taman budaya, gedung kesenian, kampus-kampus dan stasiun televisi. Hingga kini, Klosed telah menghasilkan 76 pertunjukan dari 16 naskah lakon dan 1 album indie berisi lagu dan puisi soal lingkungan hidup. Pementasan Klosed 1. "Wek-wek", karya Djayakusumah, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 1998 di Konfercab HMI Solo. Tahun 1999 di Terminal Bus Tirtonadi Solo, Panti Asuhan Pamardi Yoga Solo, Lembaga Pemasyarakatan Solo, Kantor Kalurahan Semanggi Solo, Stasiun Kereta Balapan Solo. 2. "Photo Keluarga", karya & sutradara Sosiawan Leak. Tahun 1999 di Pendapa Wisma Seni Taman Budaya Surakarta. 3. "Pilihan Lurah", karya AM Trajutisna, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 1999 di Kantor Kalurahan Jebres Solo, Terminal Bus Tirtonadi Solo, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu Semarang, TVRI Stasiun Semarang, Pasar Debegan Mojosongo Solo, Posko Persatuan Pesantren Jember. Tahun 2000 di auditorium Undip Semarang, Lapangan Desa Sriwulan Kendal, Tempat Pelelangan Ikan Teluk Awur Jepara, Sanggar Teater Ruang Solo. 4. "Orang Kasar", karya Anton Chekov, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2000 di Sanggar Teater Gidag Gidig Solo, Kantor Kawedanan Kaliwungu Kendal, Gedung Pemuda Kudus, Gedung Puspenmas Jepara. 5. "Gendhon", adaptasi "Charlie" karya Slavomir Mrozek, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2000 di FKIP UNS Solo, TVRI Stasiun Semarang, Kecamatan Sukorejo Kendal. 6. "BOM", adaptasi "Perang" karya Puntung CM Pudjadi, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2000 di Auditorium UMS Solo, Festival Cak Durasim Surabaya. Tahun 2001 di Taman Budaya Surakarta, Terminal Bus Tirtonadi Solo, Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta, Festival Mimpi Eksotika Karmawibangga Indonesia di Megamendung Bogor. Tahun 2003 di Gedung KNPI Sragen, Auditorium STAIN Walisongo Salatiga, Gedung C Unisma Malang. 7. "Raja Terjungkal", adaptasi "Raja yang Tergelincir" Wilfrit Grotte, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2001 di Taman Budaya Surakarta, Stasiun Kereta Sangkrah Solo, Auditorium Unwiku Purwokerto, STAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 8. "Laplip", karya Klosed, sutradara Sosiawan Leak Tahun 2002 di Taman Budaya Surakarta, Sanggar Paramesthi Semarang. Tahun 2003 di Taman Budaya Lampung, Auditorium Unika Soegrijopranoto Semarang. 9. "Stalitigaoeang", karya Klosed, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2002 di Taman Budaya Surakarta, Fak Hukum Undip Semarang. 10. "Anak-anak Mengasah Pisau", karya Triyanto Triwikromo, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2004 di Taman Budaya Surakarta. 11. "Asu Gedhe Menang Kerahe", karya Udin & Sosiawan Leak, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2005 di Taman Budaya Surakarta. 12. "Wajah Sebuah Vagina", karya Naning Pranoto, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2005 di Taman Budaya Surakarta, Gedung Pemuda Tegal, Sanggar Paramesthi Semarang. 13. "Ronggeng Dukuh Paruk", karya Ahmad Tohari, sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2006 di Taman Budaya Surakarta. 14. "Overdosis", karya & sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2007 di Taman Budaya Surakarta, Halaman Parkir Stadion Wijaya Kusuma Pati, Gedung Golkar Brebes, Gedung Kesenian Tegal, Taman Budaya Raden Saleh Semarang, Auditorium STAIN Salatiga, Pendapa Sukowati Sragen. 15. "Verboden", karya & sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2007 di Taman Budaya Surakarta Solo (Kampung Sewu, Kampung Semanggi, Kampung Joyotakan). Tahun 2008 di Perumahan Mojosongo, Solo 16. "Bah", karya & sutradara Sosiawan Leak. Tahun 2009 di Desa Banjarsari Kecamatan Gabus, Pati dan di Kantor Kawedanan Juwana, Pati TENTANG SOSIAWAN LEAK Lahir di Solo, 23 September 1967. Menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu & Sosial dan Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (UNS) tahun 1994. Aktivitas Teater Menjadi aktor di Teater Gidag Gidig Solo (1987-1993), Teater TERA Solo (1990-1993) dan Teater Keliling Jakarta (1990-1993). Melatih dan menyutradarai Teater Peron FKIP UNS (1990-1997), Teater Thoekoel Fak Pertanian UNS (1991-1994), Teater Citra Mandiri SMAN 2 Solo (1990-1993), serta sutradara tamu di Teater Poentoeng Kudus (1994). Menulis dan menyutradarai naskah lakon "Restu" th 1990, "Tahta" th 1991, "Suara" th 1992, "Tanda" th 1993 dan "Galib" th 1994, bersama Kelompok Teater Peron FKIP UNS. Serta "Umbu" th 1993 dan "Ode" th 1994, bersama Kelompok Teater Thukul Fak Pertanian UNS. Sejak 1987 menulis dan menyutradarai sejumlah naskah lakon serta mementaskannya bersama Kelompok Teater Klosed di berbagai kota di Indonesia antara lain "BOM" diadaptasi dari "Perang" karya Puntung Pudjadi (2001), "LAS" (2002), "Pisau", diadaptasi dari Cerpen "Anak-anak Mengasah Pisau" karya Triyanto Triwikromo (2004), "Asu Gedhe Menang Kerahe" (2005), "Overdosis" (2006), "Verboden" (2007), "Sikep" (2009), "Bah" (2009). Disamping menyutradarai "Wajah Sebuah Vagina" th 2005 karya Wijang Warek (diadaptasi dari novel karya Naning Pranoto dan "Ronggeng Dukuh Paruk" th 2006 karya Wijang Warek (diadaptasi dari novel Ahmad Tohari). Aktivitas Sastra Menulis puisi sejak 1987 dan dipublikasikan di berbagai media 3 antologi puisinya terbit secara khusus (bersama Gojek JS & KRT Sujonopuro) oleh Yayasan Satya Mitra Solo, yakni "Umpatan" (1995) dan "Cermin Buram" (1996), "Dunia Bogambola" (bersama Thomas Budi Santosa) oleh Indonesiatera, Magelang 2007). Tahun 1994 melakukan "Deklamasi Keliling" di Jawa Tengah, Jawa Timur & Pulau Madura, serta "Deklamasi Keliling Sumatra" (1995). Tahun 2002 (bersama WS Rendra & Brigitte Olenski) baca puisi keliling di sejumlah perguruan tinggi di Jawa Timur & Madura. Tahun 2002 mementaskan Puisi-Musik "Orde Gemblung" di Unibraw- April 2002 diundang dalam "Festival Puisi Internasional Indonesia 2002" yang diselenggarakan di Makassar, Mei 2003 diundang di Festival Puisi Internasional The Road di Bremen (Jerman), membaca puisi di samping memberi workshop. Saat itu pula diundang membaca puisi & narasumber di Universitas Juli 2006 melakukan Baca Puisi & Diskusi "Membaca Indonesia" bersama Martin Janskowski (Berlin, Jerman) Dorothea Rosa Herliany (Magelang) di Madura, Surabaya, Solo dan Kudus. Sejak Nopember 2007 mementaskan Puisi-Perkusi "Dunia Bogambola" (bersama Temperente Percusion) di Festival Cak Durasim Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, TBS Solo, Pendapa Kabupaten Demak, IKIP PGRI Semarang. Sejak Juni 2008 mementaskan Puisi-Perkusi "Layang Demonstran" dimulai dari Festival Seni Surabaya, disamping diundang membaca puisi/ narasumber di berbagai event sastra nasional, seperti "Konggres Sastra Indonesia" di Kudus, "Temu Sastrawan Indonesia" di Jambi, "Revitalisasi Budaya Melayu" di Tanjung Pinang, "Festival Kebudayaan Aceh", "Surabaya Juang" dll. Nopember 2008 melakukan Baca Puisi & Diskusi "Membaca Kota-kota" bersama Martin Janskowski ( Aktivitas Lain Sejak 1999 aktif berkolaborasi dengan seniman lain dan turut membidani lahirnya pertunjukan teater wayang seperti; "Wayang Nggremeng", "Wayang Suket", "Wayang Kampung Sebelah" & "Wayang Nglindur", "Wayang Dongeng" disamping terlibat aktif sebagai pemusik di Kelompok Musik "Golden Water" dan vokalis di OPM (Orkes Plasu Minimal). Tahun 2004 sempat menjadi Astrada Sinetron "Komedi Putar" Produksi TVRI Jakarta (13 epiosode), disamping memproduksi program di Stasiun PRO TV Semarang antara lain "Suka Suka (Suara Kita Suara Kebenaran)", "Pojok Kampung", "Wayang Dongeng", "Gus Mus Menjawab". TENTANG TRIYANTO TRIWIKROMO Triyanto Triwikromo Lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964; umur 45 tahun, adalah sastrawan Indonesia. Redaktur sastra Harian Umum Suara Merdeka dan dosen Penulisan Kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, ini kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater-teater Indonesia di Yogyakarta (1988) dan Kongres Cerpen Indonesia di Lampung (2003). Ia juga mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang (1997), Festival Sastra Internasional di Solo, Pesta Prosa Mutakhir di Jakarta (2003), dan Wordstorm 2005: Nothern Territory Festival di Darwin, Australia. Cerpennya Anak-anak Mengasah Pisau direspon pelukis Yuswantoro Adi menjadi lukisan, AS Kurnia menjadi karya trimatra, pemusik Seno menjadi lagu, Sosiawan Leak menjadi pertujukan teater, dan sutradara Dedi Setiadi menjadi sinetron (skenario ditulis Triyanto sendiri). Penyair terbaik Indonesia versi Majalah Gadis (1989) ini juga menerbitkan puisi dan cerpennya di beberapa buku antologi bersama. Karya-karya · Rezim Seks (kumpulan cerpen, 1987) · Ragaula (kumpulan cerpen, 2002) · Sayap Anjing (kumpulan cerpen, 2003) · Anak-anak Mengasah Pisau-Children Sharpening the Knives (kumpulan cerpen dwibahasa Indonesia-Inggris, 2003)
MALAIKAT KAKUS (cerpen karya Triyanto Triwikromo) Mendadak penjara ini sepert baru saja melahirkan putra terkasih. Waktu itu malam belum lengkap, angin busuk menusuk tengkuk, dan sipir berkali-kali menatap arloji sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. Namun sungguh di luar dugaan terlihat dari ceruk kakus menyembul bocah kecil dengan sayap bertulang ranum. Tak berani kukatakan kepada teman-teman satu sel betapa pada malam asin dan anyir itu sesosok malaikat kecil telah tersesat. Dan karena menyembul dari lubang gelap, tentu sayap-sayapnya menguncup, belepotan tinja, lumpur, oli, dan segala kotoran yang tak pernah kaubayangkan baunya. Meski demikian, kau tak boleh menyebut bocah kencur 14 tahun itu sebagai malaikat yang senantiasa menebarkan parfum terwangi. Sebab, kali pertama kulihat ia lebih menyerupai anjing yang selalu mendengus-dengus. Matanya menatap jeruji dengan liar dan ganas. Dari mulutnya yang penuh ludah sesekali menyalak keras-keras suara srigala dan berbagai hewan purba. "Jangan kau sakiti dia," tiba-tiba sipir menghardikku sambil menggandeng laki-laki kecil rupawan itu ke sel paling ujung. "Aku tak akan pernah menyakiti dia," kataku sambil membuncahkan desis tak karuan yang mingkin belum pernah didengar oleh sipir atau kepala penjara sekalipun. Ya, aku tak akan pernah menyakiti malaikat kecil itu. Tak akan kubiarkan dia tidur bersama tikus-tikus bui. Tak kubiarkan siapapun di penjara ini mencumbu dia semalam suntuk. Akan aku ajak berkelahi lelaki perkasa yang akan menggasak anus ranumnya itu. "Kau tahu siapa bocah tengik ini?" sipir bertanya padaku. Jemarinya yang lentik membelai rambut malaikat kecil itu. Aku menggeleng. Namun dalam hati aku berkata, "Dia mesias kami. Dialah yang akan memerdekakan kami dari penjara busuk ini." Suatu hari --saat kami mencabuti rumput liar di lapangan—aku menyapa malaikat kecil itu. "Masih ingat aku, bocah rembulan?" "Assssssb Assssssb Assssssb Assssssb," jawab bocah harum itu sambil menggelang. "Apakah ganja juga yang menerbangkan dirimu ke surga busuk ini?" "Assssssb Assssssb Assssssb Assssssb." "Apakah kau juga telah melihat Kristus disalib di Ujung Dunia?" "Assssssb Assssssb Assssssb Assssssb," ia terus menggeleng sambil menatapku curga. "Baiklah... sudah 30 hari kau di penjara gila ini. Tak takut disodomi?" Dia menggeleng lagi. Meski demikian, tiba-tiba mata dalam wajah yang menghijau itu melotot. Berpaling dariku, dia melenguh, "Oto-san! Oto-san! "Assssssb Assssssb Assssssb." Waktu itu aku sama sekali tak tahu siapa yang dimaksud dengan Oto-san. Aku juga tak tahu mengapa dia selalu melenguhkan bunyi "Asssssssssbbb" yang sama sekali tak kuketahui maknanya. Semula aku menduga malaikat tentu memiliki bahasa lain, sehingga kubiarkan saja dia mencerocos dengan sabda-sabda purba semacam itu. Namun aku juga ingat pada bahasa lidah yang dimiliki Lucifer, malaikat pengkhianat surga yang kukaribi selama ini. Karena itu, kadang-kadang aku menyimpulkan, bocah tengik yang tiba-tiba nongol dari ceruk kakus itu tak lebih dari iblis kecil yang tersesat saja. Aku berkesimpulan seperti itu, karena segala tanda yang dimiliki iblis juga melekat di wajahnya. Selain memiliki sayap kokoh --kalau dipandang terlalu lama justru tiba-tiba menghilang-- Tak butu waktu lama untuk mengetahui segala hal yang berkait dengan Oto-san. Aku tahu siapa dia ketika pada siang yang berdebu, lelaki itu menjenguk malaikat kecil itu di ruang bezuk. Lelaki itu tak tampak sebagai pria perkasa yang layak memiliki anak manis seranum malaikay kecilku itu. Datang bersama perempuan bermata sipit berkulit kuning gading, dia justru nampak seperti anjing mabuk. Matanya cekung. Mulutnya penuh kata-kata dan selalu tampak menceracau saat bicara. "Kau kian kagum pada para penjahat ketimbang sipir dan kepala penjara bukan?" Pria anjing mulai membelai malaikat kecil yang kelak kuketahui bernama Sakram itu. "Oto-san! Oto-san! Aku kangen sinar matahari. Namun mereka hanya memberiku Assssssssb! Assssssssb! Assssssssb!" Pria anjing tak mendengar desus malaikat. Meski demikian, berlagak sebagai ayah yang memiliki segala alasan untuk merasa lebih benar dari anak-anaknya, dia menggonggong tak keruan, "Kau mulai dendam pada keadilan bukan?" Malaikat kecilku menggeleng. Namun, mendadak dalam bahasa yang kumengerti, dia mendesis pelan, "Januari aku selalu ingin melihat penjara, April aku tato tubuhku dan mulai minum ciu di belakang kantor polisi, dan Mei aku bertemu Andi lalu ngganja urun seribu. Setelah itu aku ditangkap polisi, Oto-san. Setelah itu aku menunggumu." "Menungguku? Untuk apa?" "Aku berharap kau mau menemaniku, Oto-san. Aku ingin kau melihat tikus sebesar anjing menggerogoti kaki saat kita terlelap tidur atau pusing menghitung kapan disidang kapan dibebaskan. O, di tempat ini, aku juga melihat anjing sebesar Oto-san. Anjing itu hanya muncul saat aku kangen Oto-san. Kadang-kadang ia memiliki sayap sehingga bisa terbang, keluar dari penjara brengsek ini." Pria anjing tergagap mendengar permintaan yang sangat tak terduga itu. "Apakah polisi mendengar dengus-desisku, Oto-san? Apakah polisi melarang aku bertemu denganmu, Oto-san? Apakah aku tidak boleh jadi kecoa pujaanmu?" Pria anjing tetap bungkam. Tidak. Tidak. Rupa-rupanya dia berusaha meledakkan kata-kata, tetapi tak seletup pun bunyi membuncah dari mulutnya yang sangat dipenuhi bau nikotin itu. "Sudahlah, Oto-san. Siapapun memang tak bisa kuandalkan di tempat ini. Aku harus melawan siapapun sendiri. Aku harus memilih kawan dan lawan sendiri. Aku harus bertahan dan melawan ketakutan sendiri." Edan. Hampir saja, aku, Darbol, lelaki yang didewakan di tempat yang memungkinkan aku meminang siapapun yang ingin kucumbu, memekik kegirangan karena mendapatkan juru selamat sejati yang kelak tak akan bisa ditaklukkan oleh kekerasan atau siksaan paling keji itu. "Sekarang pulanglah Oto-san." Pria anjing tak berani menggonggong. Di aberanjak dari ruang tunggu dan sesegera mungkin meninggalkan tempat itu. Pada saat semacam itu, aku baru tahu di kedua bahunya juga tumbuh sayap tua rapuh yang mungkin tak lagi berguna. Tentu aku tak perlu terkejut melihat pemandangan semacam itu. Di kota ini siapapun bisa berpenampilan seperti malaikat atau iblis. Iblis dan malaikat hanyalah atribut yang bisa dipilih saat seseorang hendak pergi ke pesta, ke kantor dewan, bahkan ke penjara busuk. Karena itu pula, aku tak terkejut sama sekali ketika Sakram tiba-tiba menyembul dari kakus. Menyembul dari lubang gelap atau pintu resmi yang dijaga para sipir bukanlah persoalan penting. Kami, para pria iblis, hanya peduli pada anus dan keganasan mereka saat mencium atau mencumbu pejantan-pejantan perkasa di sel ini. Aku tak sempat menyaksikan pria anjing keluar dari jeruji yang membatasi penjara dengan dunia luar. Mataku lebih tertarik menatap Sakram yang asyik membaca kitab besi bersama ibunya. "Apa saja yang telah kau pelajari di sini, Sakram?" sang ibu bertanya sambil menunjuk gambar iblis di kitab tua, "Kau mendapatkan pelajaran mencium kawan-kawanmu dari Iblis lembut seperti ini?" Sakram mengangguk. Sambil melirik ke arahku, dia memperkenalkan siapapun yang ditemui di penjara kepada sang ibu. "Iblis pertama yang kutemui bernama Darbol, Mam. Dia mengajariku memukul pria-pria ranum yang lebih kecil. Dia juga membelai dan meraba-raba pantatku setiap malam." Merasa Sakram bakal terancam sepanjang malam, wajah perempuan bermata senja itu menghijau. Segala yang bersekutu dengan kegelapan menghunjam ke mata dan jiwa. "Darbol juga mengajariku melawan sipir, menipu jaksa, dan hakim. Kata Darbol, percuma jujur di hadapan mereka. Malaikat paling perkasa pun kalau tak punya duit, bisa mereka jebloskan ke penjara." "Aha! Hanya dengan memahami segala bunyi "Assssbbbbb" yang selalu meletup dari mulut malaikat kecil itu, aku memang mengajari Sakram agar lebih sadis memukul atau menempeleng penghuni penjara lain. Aku juga mengajari bagaimana menyundutkan rokok ke wajah atau leher penghuni baru. "kalau tak sadistis dan kejam, mereka akan membunuh atau menghajarmu dengan cara yang lebih ganas dan menyakitkan." Sebagaimana biasa, Sarkam hanya membisu. Di hadapanku, selain hanya meletupkan bebunyian aneh, dia memang lebih suka memoncong-moncongka Sebenarnya tanpa kuajari, malaikat ranum itu bisa mencangkok tabiat apapun yang dilakukan oleh para penghuni penjara. Lambat laun Sakram akan mahir melakukan tindakan yang tak pernah dia kerjakan di luar sel. "Iblis kedua bernama Kirik, Mam. Kirik, kau tahu, karena ingin libur sekolah sepanjang hari, dia membakar sekolah di desanya. Dan kini, secara sembunyi-sembunyi bersamaku dia merencanakan membakar penjara ini." "Membakar penjara? Bukankah dengan membakar tempat ini kalian akan turut terbakar?" kata perempuan bermata senja itu mengingatkan. Sayang sebelum Sakram merespons kata-kata sang ibu, waktu kunjung telah berakhir. Semua pembezuk, siapa pun mereka, malaikat atau iblis, harus meninggalkan ruangan ini. Itu berarti jam kekuasaan para sipir –yang kerap terima sogokan dari para pembezuk yang ingin menambah waktu berkunjung—juga berakhir. Pada saat-saat semacam itu, ganti aku yang berkuasa. Ganti aku merampas atau meminta paksa makanan, mainan, pil koplo, atau apa pun yang bisa disusupkan secara legal atau tak legal. Meski demikian, sedikitpun tak kusentuh segala yang dimiliki oleh Sakram dan Kirik. Mendekati sel dua bocah ranum itu, aku seperti berhadapan dengan medan api yang siap melahap wajahku. Kadang-kadang sel mereka dililit naga bermulut gua. Kalau sudah begitu, aku hanya berani meneriakkan kata-kata jorok agar mereka terangsang dan segera bercumbu dengan ganas di hadapanku. Sayang sekali Sakram bukan malaikat bloon. Merasa sepanjang hari sepanjang malam tak bisa melepaskan diri dari kebuasan mataku, suatu hari dia mengajak Kirik membakar selku. "Aku sudah mencegah, tetapi dia tetap akan mewujudkan rencananya. Dia akan membakar sel dan kalau perlu wajah Sampeyan," kata Kirik membocorkan rencana busuk Sakram kepadaku. Saat itu aku tak bisa menahan tawa yang meledak. Meski demikian, aku tak meremehkan rencana Sakram. Aku yakin, bukan tak mungkin dia membakar sel dan merontokkan keberanianku. Karena itu, malam itu aku menunggu aksi Sakram. Aku menunggu dia menyemburkan api ke sel. Aku menunggu dia menjilatkan panas neraka ke wajah ganjilku. "Ayo malaikat kakus, bakarlah wajahku. Hanya dengan cara ini, kau bisa menjadi mesias bagi segala iblis laknat di penjara ini. Hanya dengan membakar aku, kau akan jadi gali sejati," pekikku dengan syahwat yang merindu mati. Sebagaimana biasa, Sakram tak mau membuncahkan kata-kata. Sebagaiamana biasa dia hanya memandangku dengan sinis dan meletupkan mantera malaikat purba. "Kalau kau tak mau membakarku, aku yang akan membakarmu. Kau kira mulutku tak bisa menyemburkan api neraka? Kau kira aku hanya iblis biasa. Kau kira aku tak bisa menciptakan seratus Lucifer dan memerintahkan mereka berjubel di selmu?" Malaikat kakus itu tetap diam. "Camkan, Sakram, aku juga bisa membakar diriku sendiri. Namun, krematorium semacam itu, tak akan melahirkan jagoan masa depan. Krematorium seperti itu hanya hanya akan melahirkan iblis pengecut sepertimu." Kini, wajah malaikat kakus itu tampak menegang. Meski demikian rupa-rupanya Sakram tak bisa kujebak dengan kata-kata bodohku. Matanya malah tampak menghardikku. Tidak! Tidak! Mata itu menatapku dengan pandangan kasihan yang melenakan. Mata itu seperti menjadi telaga yang memungkinkan aku bercermin dan menatap coreng-moreng perjalanan hidupku sebagai iblis. Lihatlah! Lihatlah di telaga itu wajah 14 tahunku saat kali pertama mengganja begitu manis dan bercahaya. Dan itu tak terlalu berbeda dari wajah 16 tahunku ketika menyundutkan rokok ke mata pelacur tua yang mengolok-olokku sebagai coro. Ah, wajahku juga tak berubah ketika pada 17 tahun aku membunuh Toar, bromocorah terkuat di kampungku. "Wajahmu tak akan pernah beruibah, Darbol. Sekalipun kau membakar penjara ini, garis-garis iblis akan menggurat di pipi. Jadi, bunuhlah keinginanmu menjadikan siapa pun di penjara ini sebagai iblis. Jangan sampai aku mengatakan tiga kali kutukan ini, Darbol. Jangan sampai wajahmu menyerupai ceruk kakus. Jangan sampai kau cuma jadi coro yang tiba-tiba menyembul dari lubang penuh tinja itu!" Mula-mula aku berani menatap mata Sakram. Mata kami bahkan beradu sehingga menimbulkan bunyi dentang pedang yang saling bersentuhan. Namun, akhirnya aku tertunduk lemas ketika hardikan Sakram tak bisa kubendung dan tiba-tiba sudah menyusup ke telinga dan menghunjam dadaku. Tanpa harus melihat gerak mulut bocah brengsek itu, aku yakin Sakramlah yang yang mengasah dan menghunuskan kata-kata busuk. "Kau jangan pernah berpikir berhasil mengubahku menjadi iblis, Darbol. Hari ini juga aku akan meninggalkan sel busuk ini. Kau mungkin bisa mengubah Kirik menjadi anjing, tetapi kau tak akan bisa mendidik iblis yang lebih iblis, malaikat yang lebih malaikat darimu menjadi boneka mainan. Kau..." Aku tak mau mendengarkan lagi kata-kata dia. Mendengarkan hardikan Sakram sama saja dengan menyorongkan dan menghanguskan wajah dalam nyala api yang menjilat-jilat. Yang paling mungkin kulakukan adalah membayangkan malaikat kakus itu berjalan pelan-pelan ke pusat lapangan, membentangkan tangan seperti padri tersalib, menjejakkan kaki –yang kemungkinan telah bersayap— tujuh kali, lalu terbang meninggalkan penjara anyir ini. Tidak! Tidak! Mungkin dia memang terbang. Namun, sangat mungkin melesat ke ceruk kakus. Kembali ke asal. Ke lubang gelap yang menguncupkan sayap. Ke lubang gelap yang menguncupkan harapan. Ah, apakah dalam hidupmu kau juga pernah melihat malaikat kecil menyembul dari ceruk kakus? Kalau pernah menatap makhluk menjijikan itu, kupastikan dia bukan Sakram. Aku telah menggelontorkan berember-ember air di ceruk kakus. Aku yakin dia telah hanyut ke sungai amis yang melintasi rumah sakit jiwa di kotamu. Atau kalau sayapnya tak menguncup, dia pasti tak mau hidup di Aku sama sekali tak mengharapkan dia menjadi bangau bodoh yang selalu merindukan sarang hanya karena terlalu karib pada dengus pria anjing dan wanita peri yang melenakan. Dia harus selalu pergi dan tak perlu memikirkan jalan pulang yang sewaktu-waktu bisa membunuh secara perlahan-lahan. Pergi, wahai bajingan kecil, pergi ke neraka pujaan. Magelang-Semarang, Juni-November 2005 |
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment