ASAHAN:
in memoriam IRVAN AIDIT
( Sebuah renungan keluarga)
Di pagi buta jam 4 parak siang saya mendengar dering HP saya dan bangkit dari tidur pulas membaca berita sms dengan berita duka: Irvan sudah tiada. Tidak ada nama pengirim . Tapi saya menduga adalah istri Iwan yang kalau saya tidak salah ingat bernama Rina. Istri Iwan inilah yang biasanya menjadi penghubung antara saya dengan para keponakan lainnya dan Rina inilah yang paling menonjol rasa kekeluargaannya meskipun dia hanyalah seorang istri keponakan saya yang bernama Iwan. Abang sulung saya yang pernah menjadi Ketua PKI hanya meninggalkan warisan satu satunya kepada anak-anaknya dan juga pada adik-adiknya: kata SIBUK.
Mungkin hanya saya sorang yang tidak menerima warisan itu karena saya dibekali hidup dengan suasana SANTAI karena saya tidak mempunyai bakat aktivis sosial apalagi politik seperti yang diwariskan oleh abang sulung saya kepada anak-anaknya dan adik-adiknya yang lain. Karena itu sia-sialah bila orang lain mengharapkan dari saya atau menuntut dari saya sebagaimana yang sering saya dengar di balik pintu: "Kok, nggak seperti abang sulungnya? ".Saya lahir membawa sifat-sifat saya sendiri, pikiran saya sendiri dan juga nasib saya sendiri. Tapi bila ditanyai apakah saya mencintai abang sulung saya, maka saya jawab dengan jujur:"Ya, saya sangat mencintainya karena dia banyak memberikan pendidikan pada saya meskipun terkadang pahit, namun juga saya merasakan rasa sayang dia terhadap saya dari proses berkumpul yang lama dan juga bekerja sama di dalam rumahnya. Sesudah saya dipensiun setelah saya bekerja selam 15 tahun ketika usia saya mencapai 65, maka hingga sekarang ini saya masih aktif di belakang komputer menulis macam-macam yang barangkali sedikit gunanya ataupun sama sekali tidak berguna, namun saya lakukan kadang-kadang sampai 12 jam sehari di luar pekerjaan rumah dan dapur memasak-masak karena istri saya sudah setengah invalid oleh penyakit dan saya tidak pernah merasa sibuk, rasanya santai santai saja, kebanyakan waktu meskipun sudah saya buang habis-habisan dengan mengerjakan apa saja dan masih saja kelebihan waktu.
Saya berkumpul dengan Irvan yang saudara kembar Ilham hanya beberepra tahun ketika usia Irvan 2 tahun atau mungkin lebih kurang karena pada tahun 1961 saya telah meninggalkan Indonesia untuk belajar ke Moskow. Tapi ingatan saya terhadap dua keponakan kembar bersaudara ini, masih cukup banyak. Mereka kecil mungil dan sangat sama rupanya seperti wajah ayah mereka. Tapi kesamaan muka dua bersaudara kembar Irvan dan Ilham ini sunguh sangat menakjubkan. Saya sangat sukar membedakan yang mana yang Irvan dan yang mana yang Iham. Hanya seorang bekas kekasih saya yang pernah sangat dekat dengan keluarga kami ketika itu yang bisa membedakannya dengan cepat karena liukan mata salah seorang dari mereka sangart sama dengan liukan mata ayahnya yang saya tidak ingat lagi apakah yang dipunyai Irvan atau Ilham. Namun keduanya sangat peka bila mendengar musik. Setiap saya berlatih dengan viool saya di kamar kerja ayah mereka ( kamar kerja itu adalah juga kamar kerja saya sebagi pegawai bibliotik yang sangat jarang digunakan oleh abang sulung saya karena SIBUK di luar rumah mengurusi Partai dan politik tanah airnya ketika itu.), maka dua saudara kembar ini cepat membuka pintu dan berebutan ingin memegang biola yang sedang saya mainkan dan saya tidak bisa lain dari menghentikan latihan sambil memperkenankan mereka menjamah biola saya(tentu saja dengan pengawasan ketat dari saya) dan mereka tampak sangat tertarik melihat benda yang bisa bernyanyi itu. Tapi kalau sering-sering terjadi, biasanya istrri abang sulung saya lalu mengunci pintu agar si kembar tidak mengganggu latihan saya hingga sayalah yang terkurung di kamar karena dikunci dari luar dan si kembar brontak sambil menggedor-gedor pintu dengan tangannya yang kecil mungil disertai tangisan dan begitu uletnya tanpa berhenti selama pintu tidak dibuka. Hal itu biasanya diselesaikan oleh mbah kami yang merangkap pengasuh dan pengurus rumah tangga. Pintu kamar dibuka mbah dan saya bebas dengan biola yang sudah dalam kotaknya yang saya sembunyikan di atas rak buku yang tak mungkin dijengkau oleh si kembar.
Sepeninggal saya sejak tahun 1961, saya tidak pernah bertemu dengan Irvan dan hanya dengan Ilham pada tahun 2000 ketika saya mengunjungi Bali dan menginap di rumah keluarga Ilham. Dari Ilham saya mendapat sedikit cerita tentang saudaranya Irvan yang katanya punya persoalan kesehatan termasuk kejiwaannya akibat trauma besar yang dialaminya sejak kecil oleh polah kaki tangan suharto yang langsung menteror jiwa mereka dan rupanya Irvan merasakan terror itu lebih berat dari Ilham hingga penyakit lain yang memang juga sudah dipunyainya menjadi komplex dan memberat dari sehari ke sehari. Saya tidak memperoleh lebih banyak keterangan tentang kesehatan Ivan selanjutnya dan terkadang Istri Iwan, Rina menceritakannya kepada saya liwat HP dari Indonesia.
Satu hal, memang hubungan antara saya dengan para keponakan saya tidak manis, tidak ideal. Ketika abang saya yang di Paris masih hidup(Sobron Aidit) , dia banyak berusaha mendekatkan para keponakan kami dengan saya termasuk mendekatkan hubungan keluarga dari anak-anaknya sendiri dengan keluarga kami. Tapi rupanya selalu gagal (jadi hal ini bisa disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bersahabat). Saya tidak tahu apa sebabnya disamping hanya menduga-duga tanpa kepastian. Mungkin sebab pandangan politik yang berbeda. Mungkin saja. Atau mungkin oleh sebab lain. Tapi rasa simpati atau cinta memang tidak bisa dipaksakan termasuk dalam lingkungan keluarga sendiri dan saya tidak banyak ambil peduli terhadap persoalan begini. Saya tidak mewajibkan seorang manusiapun agar bersimpati atau suka atau ambil peduli terhadap saya. Tapi patutkah dalam suasana berkabung sekarang ini saya menyuarakan perasaan yang mungkin bagi orang lain dianggap sumbang. Biasanya yang meninggal, di antar dengan kata-kata pujian, jasa-jasanya dibesar-besarkan, kekuarangannya sama sekali tak disebutkan lagi dan hanya kepiluan dan kata-kata penghibur bagi yang ditinggalkan. Saya sedikitpun tidak merasa menyuarakan kata-kata sumbang di saat-saat suasana berkabung keluarga sekarang. Namun saya ingin berterus terang terhadap seseorang selama dia masih hidup maupun ketika sudah meninggal. Memang keterus terangan sering-sering terasa tidak enak. Ketua Ho chi Minh atau bekas Presiden negara Vietnam sering mengatakan: "Noi that mat long"= berkata jujur, menyinggung perasaan. Tapi yang dimaksudkan oleh Ketua Ho adalah bahwa seseorang harus jujur dalam berkata meskipun hal itu bisa menimbulkan tersinggungnya perasaan orang lain.
Irvan telah tiada tadi pagi. Ia berangkat meninggalkan penderitaan jiwa maupun penderitaan fisik. Ada yang dibuat oleh suharto, ada yang memang kesehatan pribadinya yang tidak ideal. Dan sekarang dia telah terbebas secara total dari semua penderitaannya. Saya sebagai pamannya sangat mengerti dan merasakan apa yang dialami Irvan selama hidupnya karena anak saya sendiri tidak sanggup mengemban penderitaannya sendiri dan harus memutus sendiri hidupnya di permulaan jalan dengan sedar, perkasa dan tenang, jauh dari kedua orang tua mereka menurut rencana yang terperinci dan tak mungkin digagalkan orang lain. Saya harus menghadapinya dan menyikapinya dengan realitas kehidupan dan meneruskan kehidupan ini hingga waktu yang tak bisa saya ketahui. Beberapa jam lagi akan muncul tahun 2010. Saya telah kehilangan Irvan yang tidak pernah saya lihat sejak dia berusia 2 thun. Tapi saya tidak menyesali abang sulung saya yang telah menempuh jalan revolusioner demi cita-citanya membebaskan rakyat Indonesia meskipun saya beserta keluarganya yang lain turut menerima imbas pahit akibat risiko perjuangan yang ditempuh oleh abang sulung saya itu.
ASAHAN,
Hoofddorp, 31 Desember 2009 jam14.50.
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment