Teman-teman, Sangat memuakkan sekali kelakuan Kejaksaan Agung RI yg melarang peredaran buku-buku ini. Menurut saya hal itu justru akan menyebabkan buku-buku ini memperoleh nama, dan tercatat dalam sejarah. Tentu saja pelarangan beginian akan dicabut. Cepat atau lambat akan dicabut karena banyak protes dan karena jaman pelarangan buku sudah lewat. Indonesia sudah ratifikasi Konvensi HAM PBB, tetapi Kejaksaan Agung masih hidup di abad jahilliyah. Mereka belum mengerti apa itu HAM, yg termasuk HAM Kebebasan Berbicara dan HAM Kebebasan Memperoleh Informasi bagi seluruh warganegara. Harus ada LSM terkait yg menggugat Kejaksaan Agung RI yg kurang kerjaan ini. Haree geenee ??? Untuk penulis buku 'Enam Jalan Menujur Tuhan', Rekan Darmawan <hikdun@yahoo. com>, please be assured that many of us are with you in spirit.
Leo @ Komunitas Spiritual Indonesia <http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia>.
+
<http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/26/02370322/buku-buku.ini.dilarang>
Kompas: Buku-buku Ini Dilarang! Sabtu, 26 Desember 2009 | 02:37 WIB
Setelah berbulan-bulan membahas, Kejaksaan Agung akhirnya resmi melarang lima buku.
Lima buku itu adalah Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).
Pelarangan buku itu termasuk dalam kinerja Bidang Intelijen Kejaksaan Agung selama tahun 2009. Jaksa Agung Muda Pembinaan Iskamto—yang sebelumnya menjabat Jaksa Agung Muda Intelijen—memaparkan hal itu dalam jumpa pers di Sasana Pradana Kejaksaan Agung, Rabu lalu. Jaksa Agung Hendarman Supandji hadir dalam jumpa pers itu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto yang dihubungi pada hari Kamis (24/12) menjelaskan, larangan terbit atas lima judul buku tersebut ditujukan kepada penerbit. Penerbit tidak boleh lagi menerbitkan dan mengedarkan buku-buku itu. "Kalau yang sudah beredar, kami minta kepada penerbit agar ditarik," katanya.
Menurut Didiek, buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum. Substansi buku dinilai tidak sesuai dengan aturan. Namun, ketertiban umum yang mana yang dilanggar buku-buku itu, Didiek tidak menjelaskan.
Bukankah masyarakat berhak memperoleh informasi yang luas dan bebas? "Bebas, tetapi tidak sebebas-bebasnya. Bebas, tetapi terkendali. Ada aturan menjaga ketertiban," katanya.
Buku-buku itu sudah diteliti dalam tim penyeleksian (clearing house) Kejaksaan Agung sejak Mei 2009. Hal itu disebutkan pada rapat kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR pada 11 Mei 2009.
Pelarangan itu menimbulkan pertanyaan, bahkan kritik. Di antaranya dari Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid. Dia berpendapat, model pelarangan buku semacam itu mestinya dihindari. Informasi bagi publik mestinya dibuka seluas-luasnya.
Edy, yang juga rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, menambahkan, pelarangan justru bisa berdampak kontraproduktif, apalagi bila berkaitan dengan sejarah masa lalu. Masyarakat, yang saat ini sudah mengerti haknya memperoleh informasi, bisa mencurigai bahwa ada fakta sejarah yang sengaja disembunyikan.
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, yang bukunya dilarang, berpendapat, sejarah adalah multitafsir, tidak tunggal. Terhadap alternatif kebenaran lain, masyarakat harus toleran.
Mengenai bukunya yang dinyatakan dilarang oleh Kejaksaan Agung, Rhoma mengaku belum tahu substansi pelarangan. Bahkan, ia juga belum diberi tahu hal-hal apa di bukunya yang membuat menjadi terlarang. Yang pasti, melarang buku —sebagai karya intelektual—merupakan pelanggaran atas hak berkreasi.
"Saya ini, kan, latar belakangnya sejarah. Ketika ada fakta, saya menuliskannya. Dengan beragam versi sejarah, pembaca menjadi kaya dan terbuka dengan beragam versi. Kalau hanya satu versi, rasanya menjadi dipaksakan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, kejaksaan sudah beberapa kali melarang peredaran buku. Tahun 2006, kejaksaan memeriksa dan mengawasi buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, Atlas Lengkap Indonesia (33 provinsi) dan Dunia, serta Aku Melawan Teroris (Kompas, 3/1/2006).
Tahun 2007, kejaksaan melarang sejumlah buku pelajaran sejarah untuk sekolah beredar. Al |
No comments:
Post a Comment