----- Original Message -----
From: GELORA45
To: GELORA
Sent: Thursday, January 07, 2010 3:12 AM
Subject: [GELORA45] Penghormatan Terhadap Gus Dur Bukan Dengan Gelar - Mahfud MD: Gus Dur Tidak Bisa Dibandingkan dengan Soeharto
SURI TAULADAN YANG DITINGGALKAN GUS DUR BUKAN UNTUK JADI PAHLAWAN-PAHLAWANAN
Pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) adalah sebuah pernyataan dan pemikiran yang benar tentang bagaiamana harus menghargai Gus Dur. Ini menunjukkan bahwa beliau sangat peka terhadap situasi politik di Indonesia, memahami, serta mempunyai hati yang lapang bagaimana seharusnya memperlakukan jasa dan pengabdian Gus Dur terhadap bangsa di tengah tengah negara dan bangsa yang sedang terpecah belah politik dan ideologinya yang pada ahir-ahirnya akan cuma menguntungkan suharto dan merugikan nama dan wibawa Gus Dur sendiri bila Gus Dur diangkat jadi pahlawan. Sedangkan GD sudah tiada, tidak mungkin lagi dimintai pendapatnya yang dalam hal ini para keluarga atau pengikut terdekatnya yang pertama-tama harus didengar pendapatnya dan bukan pendapat massa yang keblinger yang sedang super melankolik yang juga sedang disalah gunakan elemen-elemen politik maupun kaum Oportunis lainnya untuk memperdagangkan jenazah Gus Dur demi menggolkan maksud-maksud mereka yang sangat sulit dipaksakan agar juga jenazah favorit mereka mendapat gelar Pahlawan.
Bangsa Indonesia seharusnya menjadi bangsa yang waras dalam segala situasi melankolik dan emosionil dan bukan jadi bangsa spontan dalam segala hal yang justru menunjukkan watak cengeng dan tidak serius serta angin anginan yang mudah dipermainkan emosi dan juga dipermainkan elemen-elemen spekulan politik dan kaum oportunis bahkan hingga agen-agen kapitalis luar negeri. Indonesia adalah juga bangsa RETORIKA, bangsa yang mudah mabok kepayang bila sedikit saja emosinya tergetar seperti anak yang baru gede (ABG). Bila hatinya senang, lalu memuji dan memuja setinggi langit tapi bila hatinya tersinggung lalu memaki sejadi jadinya bahkan hingga melakukan amok yang terkenal dalam sejarah, seperti juga yang pernah dilakukan Pemuda Ansor. Watak semacam ini tidak menguntungkan untuk merevolusi bangsa dan memperbaiki nasib rakyat dan bila diteruskan dan tidak mau sedar serta keras kepala, memang Indonesia akan begini saja menjadi bangsa cengeng, bangsa feminin, bangsa spontan dan selalu menjadi korban dari semua yang rasional dan nuchter, tertipu sepanjang masa dan tidak peka terhadap politik, buta terhadap situasi yang sedang gawat dan cuma hanyut bersama mereka yang lebih pandai menyalahkan gunakan situasi.
Gelar Pahlawan itu bukanlah segala-galanya seperti orang yang mati-matian untuk mendapat gelar Ph.D. atau menjadi pegawai tinggi atau diangkat jadi duta atau mentri oleh Presiden.Tapi memang gelar pahlawaan bisa menodai orang yang diangkat jadi"pahlawan" bila tidak cukup atau cacad sarat saratnya untuk jadi pahlawan. Dalam situasi yang sekarang, permainan dan manipualasi sarat-sarat untuk dijadikan pahlawan itu sangat mudah menjerumuskan seorang"pahlawan" menjadi cuma permainan politik, dagang gelar, dagang sapi yang hanya mencederai keluarga dari "pahlawan"yang ditinggalkan. Tidak menyedari hal ini, berarti juga turut menjerumuskan dan menghina keluarga sang "pahlawan" yang jadi permainan dan korban politik dari mereka-mereka yang masih hidup.
Saya salut terhadap keluarga Gus Dur dan juga semua pengikutnya yang punya sikap yang sama seperti sikap keluarga Gus Dur yang rendah hati dan patut dijadikan contoh itu. Dengarkanlah pendapat keluarga Gus Dur dan bukan musuh-musuh Gus Dur yang munafik dan bermoral palsu serta orang-orang naif lainnya yang buta politik dan buta situasi.
ASAHAN
Penghormatan Terhadap Gus Dur Bukan Dengan Gelar
Magelang (ANTARA News) - Penghormatan terhadap almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bukan harus dengan pemberian suatu gelar atas ketokohannya, kata pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).
"Menghormati Gus Dur bukan dengan gelar tetapi dengan menghidupi semangat Gus Dur," katanya di sela peringatan tujuh hari wafat Gus Dur di kompleks Ponpes API Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Magelang, Rabu malam.
Ia mengaku, pada Selasa (5/1) malam berada di rumah Gus Dur di Ciganjur mengikuti acara serupa bersama keluarga Gus Dur.
Pada tahun 1957 hingga 1959, Gus Dur menjadi santri di Ponpes Salafi API Tegalrejo yang dipimpin ulama karismatis, K.H. Chudlori. Chudlori wafat pada tahun 1977 sedangkan Gus Yusuf adalah salah satu anaknya.
Keluarga Gus Dur, katanya, tidak ingin mempersoalkan pemberian gelar pahlawan terhadap Presiden ke-4 RI itu.
"Apalagi sekarang sudah dipolitisir," katanya.
Ia mengatakan, berbagai ajaran tentang nilai dan ilmu yang disampaikan Gus Dur harus bisa diwariskan kepada generasi penerus bangsa.
Ajaran Gus Dur itu, katanya, antara menyangkut keberaniannya berkata benar meskipun terasa pahit, pentingnya perlindungan terhadap kaum minoritas, dan penghormatan terhadap suatu perbedaan.
Peringatan tujuh hari wafat Gus Dur di Ponpes Tegalrejo antara lain dihadiri para santri, komunitas lintas agama dan golongan, seniman, serta budayawan setempat.
Sejumlah tokoh Magelang yang hadir antara lain Pimpinan Perkumpulan Sinar Kasih Tau Magelang, Tedy Hartanto Tamsil, pimpinan Kelenteng "Liong Hok Bio" Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji, Koordinator Badan Kerja Sama Gereja-Gereja Kristen Kota Magelang, Pendeta Parlaen.
Kemudian dua rohaniwati Gereja Katolik Santo Ignasius Kota Magelang masing-masing Suster Lidwina dan Suster Verona.
Pada kesempatan itu penyair Kota Magelang, Es Wibowo membacakan puisi "Obituari Gus Dur", kolaborasi seniman Teater Fajar Universitas Muhammadiyah Magelang dan Teater Bias SMK 17 Kota Magelang mementaskan performa "Massa Tanpa Ulang".
Sebuah grup musik asal Wonosobo pimpinan Hadiyanto mementaskan musik kreatif "Kiai Langit", dan seniman Magelang, Ardhi Gunawan membacakan geguritan "Slaman Slumun Slamet".
Belasan anggota komunitas Tempat Ibadah Tri Dharma Kota Magelang melakukan doa untuk Gus Dur dan dua budayawan Magelang yakni Sutanto Mendut dan Romo V. Kirjito, secara bergantian menyampaikan testimoni masing-masing tentang sosok Gus Dur.(*)
"Menghormati Gus Dur bukan dengan gelar tetapi dengan menghidupi semangat Gus Dur," katanya di sela peringatan tujuh hari wafat Gus Dur di kompleks Ponpes API Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Magelang, Rabu malam.
Ia mengaku, pada Selasa (5/1) malam berada di rumah Gus Dur di Ciganjur mengikuti acara serupa bersama keluarga Gus Dur.
Pada tahun 1957 hingga 1959, Gus Dur menjadi santri di Ponpes Salafi API Tegalrejo yang dipimpin ulama karismatis, K.H. Chudlori. Chudlori wafat pada tahun 1977 sedangkan Gus Yusuf adalah salah satu anaknya.
Keluarga Gus Dur, katanya, tidak ingin mempersoalkan pemberian gelar pahlawan terhadap Presiden ke-4 RI itu.
"Apalagi sekarang sudah dipolitisir,
Ia mengatakan, berbagai ajaran tentang nilai dan ilmu yang disampaikan Gus Dur harus bisa diwariskan kepada generasi penerus bangsa.
Ajaran Gus Dur itu, katanya, antara menyangkut keberaniannya berkata benar meskipun terasa pahit, pentingnya perlindungan terhadap kaum minoritas, dan penghormatan terhadap suatu perbedaan.
Peringatan tujuh hari wafat Gus Dur di Ponpes Tegalrejo antara lain dihadiri para santri, komunitas lintas agama dan golongan, seniman, serta budayawan setempat.
Sejumlah tokoh Magelang yang hadir antara lain Pimpinan Perkumpulan Sinar Kasih Tau Magelang, Tedy Hartanto Tamsil, pimpinan Kelenteng "Liong Hok Bio" Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji, Koordinator Badan Kerja Sama Gereja-Gereja Kristen Kota Magelang, Pendeta Parlaen.
Kemudian dua rohaniwati Gereja Katolik Santo Ignasius Kota Magelang masing-masing Suster Lidwina dan Suster Verona.
Pada kesempatan itu penyair Kota Magelang, Es Wibowo membacakan puisi "Obituari Gus Dur", kolaborasi seniman Teater Fajar Universitas Muhammadiyah Magelang dan Teater Bias SMK 17 Kota Magelang mementaskan performa "Massa Tanpa Ulang".
Sebuah grup musik asal Wonosobo pimpinan Hadiyanto mementaskan musik kreatif "Kiai Langit", dan seniman Magelang, Ardhi Gunawan membacakan geguritan "Slaman Slumun Slamet".
Belasan anggota komunitas Tempat Ibadah Tri Dharma Kota Magelang melakukan doa untuk Gus Dur dan dua budayawan Magelang yakni Sutanto Mendut dan Romo V. Kirjito, secara bergantian menyampaikan testimoni masing-masing tentang sosok Gus Dur.(*)
[ Rabu, 06 Januari 2010 ]
Mahfud MD: Gus Dur Tidak Bisa Dibandingkan dengan Soeharto
JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. menilai pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid tidak bisa dibandingkan dengan usul untuk mantan Presiden Soeharto. Dia menilai, pemberian gelar pahlawan untuk Gus Dur jauh lebih mudah karena mantan presiden keempat itu tidak terkendala masalah hokum.
"Masalah (skandal Bulog) itu kan tidak pernah menjadi kasus hukum. Itu hanya kasus politik," ujar Mahfud.
"Lagi pula, meski ada kasus politik, memorandum (dari MPR untuk Gus Dur) hanya sampai memorandum kedua. Padahal, seharusnya sampai memorandum ketiga," tambahnya di Jakarta Senin malam (4/1).
Mantan politikus PKB ini menilai kondisi tersebut berbeda dengan usul gelar pahlawan untuk Soeharto yang diperjuangkan Partai Golkar. Hingga akhir hayatnya, presiden kedua itu masih tersangkut kasus dugaan korupsi di sejumlah yayasan sosial yang dipimpinnya. Penuntut umum tidak bisa menghadirkan Soeharto ke persidangan dengan alasan menderita sakit permanen.
Masalah hukum yang belum tuntas itu dapat menjadi kendala pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto. Kejaksaan Agung memang telah mendeponering kasus yang melibatkan Soeharto. Namun, status perkara tersebut tidak menghentikan kasus hukum terhadap Soeharto. "Kasus hukum yang belum terselesaikan itu menghambat prosedur karena memang tidak boleh. Meski demikian, saya kira bisa dipertimbangkan lagi. Sebab, bagaimanapun Soeharto belum dinyatakan bersalah di pengadilan," terangnya.
Pendapat Mahfud ini berbeda dengan pendapat hakim konstitusi Akil Mochtar. Mantan politikus Golkar itu menegaskan, jatuhnya Gus Dur tidak disebabkan kasus Bulog, melainkan Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden tentang pembubaran DPR, MPR, dan Partai Golkar. "Itu kan tindakan inkonstitusional. Sebab, dalam UUD jelas dinyatakan presiden tidak boleh membubarkan MPR/DPR," tegas Akil di gedung MK kemarin.
Mantan anggota pansus kasus Bulog itu mengungkapkan, MPR lantas meminta fatwa Mahkamah Agung yang akhirnya menyatakan bahwa dekrit yang dikeluarkan Gus Dur tidak sah. "Karena waktu itu MK tidak ada, MA menyatakan dekrit itu tidak sah," katanya.
Panitia khusus angket Bulog ketika itu memang menyatakan Gus Dur patut diduga telah menerima aliran dana. Namun, hasil penyelidikan pansus tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung sehingga sampai saat ini kasusnya tidak terbukti. "Jadi, jatuhnya Gus Dur itu bukan karena kasus Bulog, melainkan karena dia mengeluarkan dekrit membubarkan MPR/DPR.
Pejabat hingga Pelawak di Tahlilan Gus Dur
Tahlilan tujuh hari meninggalnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) digelar di kediaman Gus Dur di Ciganjur tadi malam. Acara itu dibanjiri puluhan ribu orang. Selain penduduk sekitar dan dari daerah terdekat, sejumlah pejabat dan politisi ikut bergabung. Saking banyaknya yang hadir, pihak keluarga memasang tiga layar LCD menyebar di sekitar kediaman. Itu dilakukan agar hadirin bisa mengikuti langsung testimoni yang digelar setelah tahlil.
Para tokoh yang hadir tadi malam, antara lain, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama istri, Mufidah Kalla; Ketua DPR Marzuki Ali; Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum; Mendiknas M. Nuh; pelawak Tarzan; ''peniru'' Gus Dur, Gus Tur; dan Sekjen Golkar Idrus Marhan. Selain para pejabat, juga ada pelawak Tarzan.
Tahlil digelar setelah salat Isya di Masjid Al Munawaroh di kompleks pondok pesantren. Mereka yang berdoa tidak hanya berasal dari kalangan muslim. Sejumlah pemeluk agama lain ikut berdoa. Mulai aliran kepercayaan Wiwitan Sunda, Hindu, Buddha, Konghucu, hingga Nasrani. Mereka bergiliran satu per satu berdoa dengan pengeras suara.
Selesai berdoa, beberapa tokoh diberi kesempatan memberikan testimoni tentang Gus Dur. Salah seorang di antaranya adalah Prof Martin van Bruinessen dari International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM). Bruinessen memaparkan tentang Gus Dur yang dia kenal.
''Gus Dur adalah orang yang mampu menjelaskan hak asasi manusia ke dalam bahasa ushul fiqh agar bisa dipahami para kiai. Bahasa yang sulit dia jelaskan dalam bahasa sederhana,'' kata peneliti asal Belanda itu dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Cak Nun: Gus Dur Tak Peduli Pencitraan
Tahlilan tujuh harinya Gus Dur juga dihelat di Kompleks Makam Ponpes Tebuireng, Diwek, Jombang, tadi malam. Ribuan orang memadati areal pondok.
Di tengah gerimis, massa memenuhi Jalan Raya Cukir di depan Ponpes Tebuireng, dalam radius 1 km. Ruas jalan yang menghubungkan Jombang-Kediri dan Malang itu ditutup sejak selepas magrib.
Doa tahlil dipimpin KH Masduqi Abdurrochim dari Jombang. Selanjutnya, secara bergantian, KH Salahudin Wahid selaku pengasuh Ponpes Tebuireng dan Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid sebagai wakil keluarga besar Gus Dur diberi kesempatan menyampaikan pidato singkat.
Yenny Wahid yang berdampingan dengan suaminya, Dhohir Farisi, menyampaikan sejumlah pesan Gus Dur untuk umat. Di antaranya, jangan melakukan sesuatu karena ingin dipuji atau ingin mendapatkan jabatan. ''Lakukan karena ingin mendapat rida Allah,'' kata Yenny.
Setelah Yenny, budayawan Emha Ainun Nadjib diberi kesempatan berbicara. Dengan gayanya yang khas, Cak Nun (panggilan akrab Emha Ainun Nadjib) mengatakan, sebagai pemimpin, Gus Dur bukan seperti pemimpin sekarang yang sibuk dengan pencitraan. "Gus Dur itu handphone-nya. Dia tak peduli dengan casing. Yang penting handphone-nya bisa menyala di setiap dada rakyat. Sedangkan para pemimpin sekarang itu, handphone-nya mati, tapi casing-nya bagus-bagus," katanya. (noe/lal/aga/oki/kum)
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment