Sumber: <http://groups. Lagi, Aturan Pelarangan Buku Digugat ke Mahkamah Konstitusi [Rabu, 24 February 2010] Bila sebelumnya UU Kejaksaan yang sedang diperiksa Mahkamah Konstitusi (MK), kali ini UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Janji para aktivis hak asasi manusia (HAM) untuk menguji aturan pelarangan buku ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya terpenuhi. Para aktivis HAM itu ‘rame-rame’ bertindak sebagai kuasa hukum pengujian UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Mereka tergabung dalam Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku.
Permohonan ini diajukan oleh Insititut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dan penulis buku Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Pemohon meminta agar MK menyatakan UU No.4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, ujar Pengacara Publik LBH Jakarta, Kiagus Ahmad dalam berkas permohonannya. Permohonan resmi didaftarkan pada Selasa (23/2).
Dalam permohonan, pemohon menguraikan secara jelas kerugian yang dialaminya. ISSI adalah sebuah lembaga non-pemerintah yang memiliki jasa penerbitan buku. Pada, 22 Desember 2009 lalu, buku terbitan ISSI yang berjudul 'Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto' karya John Roosa dibredel oleh Kejaksaan Agung. Sedangkan, Rhoma setali tiga uang. Bukunya, ditulis bersama Muhidin M Dahlan, 'Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan, harian Rakjat 1950-1965' juga dilarang untuk terbit.
Tak hanya itu. Bila mengacu pada UU No. 4/PNPS/1963 ini, pada periode 2006 sampai 2009, Kejagung telah melarang 22 buku. Kebanyakan diantaranya adalah buku akademis. Padahal, menurut pemohon, sejak masa reformasi yang diawali pada Mei 1998 hingga 2005 tidak pernah terjadi pelarangan buku.
Pelarangan buku justru kembali terjadi setelah disahkannya perubahan Kedua UUD 1945 yang mencantumkan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi, dimajukan, dan ditegakan oleh negara, terutama oleh pemerintah, ujar pemohon.
Pasal 28 UUD 1945 memang telah memberikan kemerdekaan 'mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan', sehingga penerbitan buku menjadi hak yang dijamin oleh konstitusi. Secara tegas Pasal 28E ayat (3) menyatakan setiap warga negara berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat. Sedangkan, Pasal 28I ayat (4) memberi jaminan perlindungan pemerintah dalam pemenuhan hak tersebut.
Sebagai informasi, selain Kiagus, para aktivis HAM di Indonesia memang ada dibalik permohonan ini. Mereka, yang juga bertindak sebagai kuasa hukum, adalah Direktur LBH Masyarakat Taufik Basari, Mantan Anggota DPR Nursyahbani Katjasungkana, Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat, Indriaswati Dyah dari Elsam.
Permohonan pengujian aturan pelarangan buku ke MK ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, penulis buku 'Enam Jalan Menuju Tuhan', Darmawan juga menggugat pelarangan buku ke MK. Darmawan menguji Pasal 30 ayat (3) huruf c UU No.16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan. Pasal itu mencantumkan kewenangan kejaksaan dalam urusan 'bredel-membredel' buku atau barang cetakan. Ketentuan itu berbunyi 'Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: pengawasan peredaran barang cetakan'.
Permohonan Darmawan ini sedang diperiksa oleh MK. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mempertanyakan langkah pemohon yang hanya menguji UU Kejaksaan. Padahal, sumber kewenangan kejaksaan dalam mengawasi barang cetakan bukan berasal dari UU itu saja. Ia menunjuk UU No.4/PNPS/1963.
Hamdan juga mengingatkan dalil hak asasi manusia yang digunakan pemohon perlu diperkuat. Pasalnya, pemerintah tentu mempunyai dalil sendiri untuk membatasi hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang. Yakni, dengan menggunakan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang membolehkan negara melakukan pembatasan hak asasi manusia.
Pihak Kejaksaan Agung pun, sejak lama menyatakan kesiapannya dalam menghadapi 'gugatanan' kewenangan kejaksaan dalam mengawasi peredaran barang cetakan, terutama buku. Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) M. Amari mempersilahkan para aktivis untuk menempuh judicial review ke MK. 'Kalau mau mengajukan, ya boleh saja. Itu hak warga negara. Jadi, kami persilahkan saja', tegas Amari, pada pertengahan bulan lalu. |
New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does!
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment