Akankah Terjadi Benturan? Jumat, 27 Agustus 2004 Oleh: KH. Abdurrahman Wahid Beberapa hari yang lalu, saat perjalanan pulang ke Ciganjur setelah tiba di Cengkareng dari Surabaya, penulis mendengarkan sebuah percakapan sangat menarik dalam sebuah siaran radio swasta, antara penyiar dengan Bambang Sulistomo. Ia adalah "orang berani" yang menyatakan pendapat secara terbuka. Ia tentu terkait dengan asal usul biologisnya, sebagai anak pejuang tak kenal kompromi, Bung Tomo. Sejak jaman pemerintahan Orde Baru ia melancarkan kritik terbuka ke alamat para penguasa yang tidak memperhatikan keadilan. Kali ini, ia berbuat demikian pula dengan mengkritik segala hal salah dalam cara kerja pemerintah kita. Tetapi kritik utamanya dialamatkan kepada pelaksanaan pemilihan umum kita tahun ini dari Undang-Undangnya, hingga sikap berbagai pihak terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) disorotinya dengan tajam.
Sistem pemilu kita tahun ini, di matanya tidak lain adalah upaya mempertahankan status quo, di antara para aktor yang ingin melestarikan kekuasaan. Jadi bukannya untuk menciptakan sistem politik baru, yang bersemangat demokratis. Bahkan ada ucapanya yang benar-benar menimbulkan keprihatinan, karena pihak calon Presiden Megawati Soekarnoputri didukung oleh Polri, ia memperkirakan TNI yang aktif akan membela Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mati-matian. Kalau pemihakan ini berujung pada pertentangan fisik secara horizontal, maka apa jadinya negeri kita dalam suasana seperti itu? Kesimpulan logis dari Bambang Sulistomo, sebagai peringatan dini yang disampaikan secara terbuka itu, mau tidak mau tentu menggelisahkan kita. Bagaimana kita akan menjaga integritas negara kita, baik secara fisik maupun secara spritual.
Tidak hanya penulis, sang penyiar yang bernama Hendro, juga merasakan kekhawatirkan seperti itu. Pandangan di atas tidak hanya dapat dinilai sebagai argumentasi psikologis belaka, melainkan juga oleh kaitannya yang kuat dengan kenyataan yang kita lihat sehari-hari. Apalagi sesampai di rumah, penulis mendapatkan cerita bahwa semalam sebelumnya, layar televisi menayangkan bagaimana Mendagri Hari Sabarno mengingatkan para kepala desa dan lurah di seluruh negara, agar jangan lupa "membela" Presiden Megawati dalam pemilu putaran kedua tanggal 20 September 2004 kelak. Ini jelas merupakan pelanggaran Undang-Undang (UU) yang dilakukan oleh seorang Menteri. Kalau memang ini tidak ditindak, jelas bahwa pelanggaran itu disetujui oleh Presiden.
Tetapi itu tidak aneh, karena keseluruhan proses pemilu tahun ini penuh dengan kecerobohan, kecurangan, manipulasi yang menguntungkan pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo. Kalau terjadi perbenturan antara pihak-pihak yang akan mendukung para calon tertentu, bisa saja terjadi adanya revolusi sosial yang kita takuti itu. Inilah yang ditakuti Bambang Sulistomo, dan juga oleh umunya para warga negara kita. Persoalannya dapatkah kita benar-benar menghindarkan hal itu? Penulis tidak merasa optimis dengan jawaban yang dapat dikemukakan. Bukankah KPU sendiri melanggar UU dan dibiarkan saja oleh semua pihak? UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, No.4/1997 tentang Penyandang Cacat, No. 12/2003 tentang Pemilu Legislatif dan No.23/2003 tentang Pemilu Presiden, semuanya dilanggar oleh KPU, tanpa ada tindakan apa-apa dari seluruh negara.
Mendengar kegelisahan Bambang Sulistomo itu, penulis hanya dapat mengajukan sebuah pertanyaan: seriuskah ia dengan pernyataannya itu, ketika ia "melupakan berbagai pelanggaran atas UU yang dikemukakan di atas? Dengan kata lain, reaksi sporadis terhadap apa yang dilakukan. Karenanya, konsentrasi perlawanan haruslah ditekankan pada penolakan tindakan –tindakan pelanggaran hukum. Walaupun elit politik dan DPR sebagai alat mereka yang selalu diperalat untuk membuat UU pemilu yang ada, bagaimanapun juga berpegang pada UU masih lebih baik dari berbagai pelanggaran yang dilakukan terhadapnya.
Itulah esensi dan permulaan dari berbagai jenis penolakan atas UU pemilu yang ada. Decorum menghasilkan pemilihan umum yang demokratis, bagaimanapun juga tidak dapat ditinggalkan oleh berbagai Undang-Undang itu. Jika kita bersatu menghadapinya atas dasar hal-hal minimum yang dapat dicapai, tentu akan memberikan hasil demi hasil awal yang kita ingini. Dalam hal itu berlaku kesediaan saling mengalah antara berbagai pihak menjadi sangat menentukan. Kita justru tidak harus meniru langkah-langkah yang diambil oleh mereka yang ingin menjaga status politik dan kekuasaan yang ada. Semua memiliki ambisi politik pribadi masing-masing, tapi hal itu dilakukan dengan cara "memperhatikan kepentingan bersama".
Ada sesuatu yang sangat ironis, ketika pemelihara status quo kekuasaan dapat bersatu, padahal kepentingan mereka sangat bertengangan satu sama lain. Sedangkan pihak yang ingin membawa sistem politik yang baru justru tidak pernah bersatu dalam hal apapun. Bukankah mereka lalu akan dikalahkan terus menerus oleh pihak-pihak yang ingin melestarikan sistem politik yang ada saat ini. Hal ini tidaklah aneh, karena sepanjang sejarah manusia selalu terjadi demikian. Karena itu bangsa kita harus sadar betul akan "kenyataan sejarah" ini, kalau kita memang ingin benar-benar merubah sistem politik yang ada, dan menggantikannya dengan sistim politik baru yang demokratis, tentulah "cara berjuang' yang dipergunakan selama ini harus dirubah.
Pada waktu Bung Tomo dkk melawan bala tentara Sekutu di Surabaya, mereka tidak pernah meninggalkan peranan para ulama yang bergabung dalam Markas Besar Oelama Djawa-Timur, yang bertugas mengatur lini logistik dari para pemuda pejuang itu. Komandan dan Kepala Staff markas besar, KH. A. Wahab Chasbullah dan KH.M. Bisri Syansuri, tiap hari mengumpulkan logistik berupa makanan, alat-alat perang, selimut dan tikar untuk para pejuang itu. Dengan kerjasama yang rapi itu, mereka berhasil membendung pendaratan tentara sekutu. Setelah itu, mereka semua kembali ke tugas masing-masing. Bahwa ada yang meneruskan karier pribadi di bidang politik, tentu saja dapat dimengerti, atau yang meneruskan karier di bidang semula seperti para kyai itu, juga dapat dimengerti.
Jadi, antara pengabdian dan upaya menuntut karier haruslah dipisahkan dan jangan dicampur-adukan. Inilah pesan terpenting yang dapat diambil dari dialog antara Hendro dan Bambang Sulistomo tersebut. Kesimpulan itu memang tidak dikemukakan oleh kedua orang itu, tetapi penulis memberanikan diri untuk merumuskannya. Kalau penyimpulan penulis itu ada gunanya, penulis sudah merasa sangat bersyukur. Kalau tidak itu adalah bagian dari upaya terus menerus untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini" Benarkah akan terjadi perbenturan? Bukan itu yang harus dijawab melainkan, apa yang harus diperbuat menghadapi perbenturan kepentingan antara pihak Kepolisian dan pihak TNI itu? Tentunya kita tidak ingin terjadi, tapi bukankah itu hal yang mudah dikatakan, namun sulit dilakukan?
Jakarta, 20 Agustus 2004
|
No comments:
Post a Comment