Ruang Putih ARIF B. Prasetya -penyair, cerpenis, dan kurator kelahiran Madiun itu- merintis karir kepenulisan di Bengkel Muda, Surabaya, ketika berkuliah di ITS. Dia lantas menikah dan bermukim di Bali. Relatif tenang, tanpa gegar budaya yang menyeruak ke permukaan sebagai teks sastra, tidak seperti Oka Rusmini yang gerah dimarjinalkan oleh lingkungan padahal dirinya hanya mengutamakan cinta.
Sebagai esais Bengkel Muda, Surabaya, pemikirannya tidak berada di lingkaran fisik Bengkel. Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika Latin lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya. Bahkan, dia sering mampir untuk mendiskusikan terjemahan puisi Amerika Latin. Ajaibnya, tidak ada jejak kiri Neruda dalam puisi Arif B. Prasetya, meski ilusi surealisme dan puitika diksi berkonotasi magistik Amerika Latin berpecototan dalam puisinya. Mungkin itu dampak kepekaan, akibat kecondongan terlalu intens membaca teks bergenre sama, karena menandai puisi terbaik sebagai ''yang melampaui apa yang sering dibaca (baca: cakrawala harapan) dan berbeda dari yang telah diketahui''.
Resepsi Jaussian menyebut itu sebagai jarak estetik. Dan, yang mengeksiskan satu teks yang memiliki jarak estetik itu adalah bacaan di satu sisi dan (di sisi lain) komunitas yang membaca teks yang relatif sama. Sebab, itu tiba di konsensus identik. Dan, kalau kritis dan objektif, kita akan menemukan perbedaan ketimbang apriori menekankan kesamaan teks. Meski, perbedaan itu merupakan konsekuensi dari multipersepsi tanpa bersepakat menentukan titik netral sebelum menyebut kiri dan kanan, sehingga yang kanan bisa dianggap codong kiri ketika diapresiasi dengan penolakan. Kenapa saya bilang begitu? Karena Arif B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek Suroboyo lagi. Aneh!
***
MUNGKIN karena Arif B. Prasetya (kini) di Bali. Yang lebih lucu, amarah kepada Mashuri yang pernah sekampus, sekomunitas diskusi, dan bahkan (kini) sekantor -meski berbeda aplikasi ijazah- yang dianggap amat bersekongkol dengan Jakarta cuma sukses karena mempublikasikan puisi dan novel di Jakarta. Padahal, W yang kuasa menembus Kalam lebih dulu, lalu Mashuri, makin sering tampil di Kalam, Koran Tempo, Kompas, dan Media Indonesia. Kalau konstelasinya begitu, bukan Mashuri, Arif B. Prasetya, Ribut Wiyoto, atau Mardiluhung yang salah. Yang salah itu Jakarta, bahkan kegagalan memuaskan tuntutan cakrawala harapan dan jarak estetik Jaussian Jakarta.
Agus R. Sarjono dan Horison punya lingkaran berbeda dari TUK (Teater Utan Kayu). Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) dan Kalam dianggap antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang juga mendapatkan dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama. Apa memang ada kemarahan pada lobi dan kucuran dana asing atau hanya karena kemarahan personal cq individu yang tidak disukai yang lalu disasar dengan alasan antek (dana) asing?
Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puisi, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata.
Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal Malna sering bilang: jangan membuat puisi (liris) dalam perbincangan, esei, prosa, dan puisi, sambil dengan gagah mencemooh mantra SCB (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa Orba dengan merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan. Nyatanya, dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda dalam ruang dan kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta, tapi tetap gelap. Bukan lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika teror benda-benda faktual. Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada suasana yang dominan dalam puisi itu justru menghasilkan surealisme benda-benda faktual yang menghadirkan traumatika.
Penolakan lirisme (puisi) menghasilkan puisi prosaik, fantasi yang meliuk bebas, dan panorama surealistik dan magis. Kenapa bisa begitu?
***
MUSUH dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku yang membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan seterusnya itu harus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan, tidak ada batasan. Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan tenggelam di zenith, apa ada siang dan malam, apa ada timur dan barat? Ada dekonstruksi besar. Dan ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada lagi acuan di satu sisi. Hanya ada aku dan komunitasku yang menentukan aturan dan nilai eksklusif.
Ini yang terjadi, tapi banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh kecondongan bacaan yang sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi jarak estetik Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat acuan hancur. Padahal, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu bagus, sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan bikin teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.
Persis seperti sebuah cerpen populer gender, yang bercerita tentang si wanita karir tapi jomblo dan selalu diramal tidak akan dapat jodoh sehingga dipaksa pergi dari satu dukun ke dukun lain, sebelum sadar bahwa buku acuan ramalan tangan yang sama dengan yang dibacanya akan menghasilkan kesimpulan yang sama bagi gurat tangan yang sama. Padahal, jodoh itu rahasia Illahi. Arif B. Prasetyo, Mashuri, Ribut Wiyoto, Mardiluhung, dan yang lain berpikiran serta berbicara identik karena bacaannya sama sehingga cakrawala harapan dan obsesi jarak estetika Jaussiannya sama.
Karena itu, cari buku referensial alternatif dan bikin kelompok diskusi yang cerdas sehingga lahir estetika alternatif. Atau, pelajari tren dan jadi penulis yang sesuai tren dengan keunikan orisinal. Dalam tradisi eliotian, Subagyo Sastrowardojo pernah bilang tentang bakat alam yang hanya mengenal tren puisi dan intelektualisme yang mengatasi yang tampak sehingga bisa menulis puisi yang lebih unik dari yang pernah diciptakan si trendsetter. Bacaan membuat penyair yang belakangan, para pengikut, mampu menulis lebih bagus karena leluasa mempelajari semua ciri dan kemungkinan lebih optimal.
Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni merampok puisi penyair lain. Penyair jelek cuma mampu meniru plagiatistik. Saini K. M. bilang, kalau tidak bisa total menerapkan konsepsi objective correlative, berhenti saja berpuisi. Sebab, menjadi penjaja roti pun harus total, tak sekadar sambilan.
***
TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme. Harus pintar menambah wawasan, memahami hakikat teks yang dibaca, dan cerdas merampok yang bisa diadopsi sebagai kekayaan pribadi. Dengan begitu, meski menulis dalam gaya serupa, dihasilkan ekspresi personal dan apresiator yang orisinal. Selama masih mentahiah hanya ada plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan. Dengan itu kita sadar bahwa teks puisi Mashuri itu unik, Mardiluhung lain dari Mutaqien, bahkan Tjahjono Widijanto itu berbeda dari Tjahjono Widarmanto. Saestu, setidaknya bila mau objektif mencari perbedaan. Sebab, mengutip Mark Twain, jangan menjadi anti-Christ fanatik yang agresif menghancurkan semua pagar di jalan, yang tampak bagai sederetan salib ketimbang hanya jejeran kayu tegak melekat di kayu mendatar.
Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif. (*)
*) Beni Setia Tirtawinata, pengarang, tinggal di Madiun
[ JAWA POS Minggu, 15 Agustus 2010 ]
Belajar Sentosa dengan Arif
Sebagai esais Bengkel Muda, Surabaya, pemikirannya tidak berada di lingkaran fisik Bengkel. Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika Latin lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya. Bahkan, dia sering mampir untuk mendiskusikan terjemahan puisi Amerika Latin. Ajaibnya, tidak ada jejak kiri Neruda dalam puisi Arif B. Prasetya, meski ilusi surealisme dan puitika diksi berkonotasi magistik Amerika Latin berpecototan dalam puisinya. Mungkin itu dampak kepekaan, akibat kecondongan terlalu intens membaca teks bergenre sama, karena menandai puisi terbaik sebagai ''yang melampaui apa yang sering dibaca (baca: cakrawala harapan) dan berbeda dari yang telah diketahui''.
Resepsi Jaussian menyebut itu sebagai jarak estetik. Dan, yang mengeksiskan satu teks yang memiliki jarak estetik itu adalah bacaan di satu sisi dan (di sisi lain) komunitas yang membaca teks yang relatif sama. Sebab, itu tiba di konsensus identik. Dan, kalau kritis dan objektif, kita akan menemukan perbedaan ketimbang apriori menekankan kesamaan teks. Meski, perbedaan itu merupakan konsekuensi dari multipersepsi tanpa bersepakat menentukan titik netral sebelum menyebut kiri dan kanan, sehingga yang kanan bisa dianggap codong kiri ketika diapresiasi dengan penolakan. Kenapa saya bilang begitu? Karena Arif B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek Suroboyo lagi. Aneh!
***
MUNGKIN karena Arif B. Prasetya (kini) di Bali. Yang lebih lucu, amarah kepada Mashuri yang pernah sekampus, sekomunitas diskusi, dan bahkan (kini) sekantor -meski berbeda aplikasi ijazah- yang dianggap amat bersekongkol dengan Jakarta cuma sukses karena mempublikasikan puisi dan novel di Jakarta. Padahal, W yang kuasa menembus Kalam lebih dulu, lalu Mashuri, makin sering tampil di Kalam, Koran Tempo, Kompas, dan Media Indonesia. Kalau konstelasinya begitu, bukan Mashuri, Arif B. Prasetya, Ribut Wiyoto, atau Mardiluhung yang salah. Yang salah itu Jakarta, bahkan kegagalan memuaskan tuntutan cakrawala harapan dan jarak estetik Jaussian Jakarta.
Agus R. Sarjono dan Horison punya lingkaran berbeda dari TUK (Teater Utan Kayu). Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) dan Kalam dianggap antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang juga mendapatkan dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama. Apa memang ada kemarahan pada lobi dan kucuran dana asing atau hanya karena kemarahan personal cq individu yang tidak disukai yang lalu disasar dengan alasan antek (dana) asing?
Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puisi, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata.
Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal Malna sering bilang: jangan membuat puisi (liris) dalam perbincangan, esei, prosa, dan puisi, sambil dengan gagah mencemooh mantra SCB (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa Orba dengan merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan. Nyatanya, dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda dalam ruang dan kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta, tapi tetap gelap. Bukan lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika teror benda-benda faktual. Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada suasana yang dominan dalam puisi itu justru menghasilkan surealisme benda-benda faktual yang menghadirkan traumatika.
Penolakan lirisme (puisi) menghasilkan puisi prosaik, fantasi yang meliuk bebas, dan panorama surealistik dan magis. Kenapa bisa begitu?
***
MUSUH dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku yang membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan seterusnya itu harus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan, tidak ada batasan. Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan tenggelam di zenith, apa ada siang dan malam, apa ada timur dan barat? Ada dekonstruksi besar. Dan ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada lagi acuan di satu sisi. Hanya ada aku dan komunitasku yang menentukan aturan dan nilai eksklusif.
Ini yang terjadi, tapi banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh kecondongan bacaan yang sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi jarak estetik Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat acuan hancur. Padahal, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu bagus, sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan bikin teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.
Persis seperti sebuah cerpen populer gender, yang bercerita tentang si wanita karir tapi jomblo dan selalu diramal tidak akan dapat jodoh sehingga dipaksa pergi dari satu dukun ke dukun lain, sebelum sadar bahwa buku acuan ramalan tangan yang sama dengan yang dibacanya akan menghasilkan kesimpulan yang sama bagi gurat tangan yang sama. Padahal, jodoh itu rahasia Illahi. Arif B. Prasetyo, Mashuri, Ribut Wiyoto, Mardiluhung, dan yang lain berpikiran serta berbicara identik karena bacaannya sama sehingga cakrawala harapan dan obsesi jarak estetika Jaussiannya sama.
Karena itu, cari buku referensial alternatif dan bikin kelompok diskusi yang cerdas sehingga lahir estetika alternatif. Atau, pelajari tren dan jadi penulis yang sesuai tren dengan keunikan orisinal. Dalam tradisi eliotian, Subagyo Sastrowardojo pernah bilang tentang bakat alam yang hanya mengenal tren puisi dan intelektualisme yang mengatasi yang tampak sehingga bisa menulis puisi yang lebih unik dari yang pernah diciptakan si trendsetter. Bacaan membuat penyair yang belakangan, para pengikut, mampu menulis lebih bagus karena leluasa mempelajari semua ciri dan kemungkinan lebih optimal.
Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni merampok puisi penyair lain. Penyair jelek cuma mampu meniru plagiatistik. Saini K. M. bilang, kalau tidak bisa total menerapkan konsepsi objective correlative, berhenti saja berpuisi. Sebab, menjadi penjaja roti pun harus total, tak sekadar sambilan.
***
TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme. Harus pintar menambah wawasan, memahami hakikat teks yang dibaca, dan cerdas merampok yang bisa diadopsi sebagai kekayaan pribadi. Dengan begitu, meski menulis dalam gaya serupa, dihasilkan ekspresi personal dan apresiator yang orisinal. Selama masih mentahiah hanya ada plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan. Dengan itu kita sadar bahwa teks puisi Mashuri itu unik, Mardiluhung lain dari Mutaqien, bahkan Tjahjono Widijanto itu berbeda dari Tjahjono Widarmanto. Saestu, setidaknya bila mau objektif mencari perbedaan. Sebab, mengutip Mark Twain, jangan menjadi anti-Christ fanatik yang agresif menghancurkan semua pagar di jalan, yang tampak bagai sederetan salib ketimbang hanya jejeran kayu tegak melekat di kayu mendatar.
Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif. (*)
*) Beni Setia Tirtawinata, pengarang, tinggal di Madiun
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment