PANEN RAYA [LAGI] DI RUMAH DUNIA [Dari Taman Budaya Rumah Dunia hingga Riwayat Block Grant] Oleh Gol A Gong Ketika Rumah Dunia menggelinding terus bagai bola salju, pada 2008 – 2009, saya mencoba peruntungan dengan menggalang dana di akun facebook saya; Gol A Gong. Ada tanah hampir seluas 1000 m2 di depan Rumah Dunia hendak dijual. Tanpa diduga, selama hampir setahun, tanah itu berhasil dibebaskan. Ada yang menyumbang semeter (@Rp. 250.000,-/m2), 2 meter, bahkan 50 meter persegi. Subhanalllah. Tanah itu pun berhasil kita bebaskan. Bahkan tanah di sebelahnya seluas 225 m2 seharaga Rp. 55 jt pun berhasil dibebaskan. Kini kami tertarik mengincar tanah seluas 1800 m2, persis di sebelahnya, agar pas membentuk huruf "L". CSR - DONATUR Kami berangan-angan, jika tanah itu berhasil dibebaskan, maka di atasnya akan kami bangun gedung seperti auditorium untuk kegiatan pameran lukisan, pertunjukan seni, diskusi (launching dan bedah buku), kios-kios jajanan untuk warga kampung (ekonomi kerakyatan), WC umum (karena masih ada warga yang berak di sungai dan kebun), dan kelas-kelas kursus bagi warga belajar. Lantas tempat itu kami namakan "Taman Budaya Rumah Dunia". Persoalan dana kemudian muncul. Ahmad Mukhlis Yusuf (direktur LKBN Antara yang mengabdi jadi Penasehat Rumah Dunia) sudah membawa Eka Tjipta Foundations dan Humas Krakatau Steel ke Rumah Dunia. Tapi hingga sekarang belum ada realisasinya. "Saya juga heran, kenapa. Tapi yang jelas, mereka tidak bisa menggelontorkan uang cash," kata Emye, begitu dia disapa. Di lain hari, Humas Krakatau Steel datang lagi. Terjawab sudah, CSR Krakatau Steel peruntukkannya bukan untuk kegiatan seperti yang Rumah Dunia lakukan. Mereka lebih men-support kegiatan-kegiatan kewirausahaan di sekitar Cilegon, bukan tempat seperti Rumah Dunia. Saat Daenul Hay jadi Direkturnya pun, saya sudah coba mendekati lewat H. Embay Mulya Syarief. Tapi minatnya memang tidak ke perpustakaan. Sepeserpun CSR dari Krakatau Steel belum berhasil kami peroleh. Sebetulnya ini agak mengganjal kami. Hmm, ternyata kegiatan seperti Rumah Dunia tidak populer di Krakatau Steel. Tidak apa. Tak jadi soal. Hilang mereka, Belsoap, Marqueen, Tupperware dan XL pun tiba menggelontorkan CSR-nya. Para donatur tetap seperti Antara, Gramedia, Suhud Mediapromo, Aneka Swalayan, Gagasmedia, Mizan, Zikrul Hakim, Yayasan Tunas Cendekia (solidaritas kebersamaan), Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian Jakarta, Jay "Teroris" Abidin dengan Institute Mandiri, dan Ariful Amir yang memboyong Imam B. Prasojo dengan Yayasan Nurani Dunia dan XL Care, memberi kami hadiah "bajay library" dan "motor perpustakaan". Berkat bantuan itu, Rumah Dunia memiliki program "Perpustakaan Keliling", mengunjungi pelosok-pelosok di Banten. Juga para donatur perorangan yang berderet panjang; @das albantani, Jaya Komarudin Cholic, Iip Rifai, Herdy Prihanto, Ganis Supriyadi, U. Saefudin Noor, Dr. H. Zulkieflimansyah, SE. M.Sc, Elvy Zuhailina, Dedy Mulyadi Sugih, Fauzan Mukrim, Ade Anita, Hikmat Kurnia, Ahmad Mukhlis Yusuf, Nurhayati, Dodi Nandika, Yulia Eka, Fuad Hasyim, Silvia Galikano, rekan-rekan di RCTI dan mantan majalah HAI, dan yang tak bisa saya sebutkan. Mereka terus menemani kami. Jalan panjang berliku terus kami lewati dengan gembira... BLOCK GRANT Pada 22 Februari 2010 di Yogyakarta, saya pun dipilih jadi Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM). Banyak orang menanyakan kepada saya, "Kenapa Gong sekarang dekat-dekat dengan pemerintah." Bahkan yang nyinyir pun ada. Label "seniman pemerintah" atau "seniman elit" pun disematkan kepada saya. Tidak apa. Santai saja. Untuk literasi, saya akan lakukan apa saja yang menurut saya baik. Ada juga yang menyindir saya, "Kenapa tidak dari dulu saja?" Sebagai pemimpin di Rumah Dunia, tentu saya punya alasannya. Sepuluh tahun di luar sistem, kualitas para relawan Rumah Dunia sudah terjaga kini. Secara moral mereka sudah siap mengelola amanah dalam bentuk uang (block grant). Saya meyakini, tidak akan kisruh atau saling rebutan jatah. Maka merapatlah saya ke sistem. Sekarang saya mencoba mendekatkan diri ke sistem, karena Rumah Dunia sudah siap. Saya ingat pada saat-saat awal Rumah Dunia berjalan, banyak yang menyarankan kepada saya untuk membuat proposal dan mencari block grant ke dinas-dinas. Saya menolak melakukan itu. Bagi saya, Rumah Dunia tidak sekedar sanggar seni, tapi juga sebagai tempat pendidikan karakter. Saya bertanggung jawab secara moral terhadap setiap anak yang datang belajar ke Rumah Dunia. Saya tidak boleh mengajarkan mereka menadahkan tangan. Mereka harus paham, bahwa jika melakukan sesuatu tidak melulu harus dengan uang. Mereka harus sadar betul, bahwa melakukan sesuatu harus dimulai dari diri sendiri. Apalagi jika itu berkaitan dengan ibadah. Kita tidak boleh mengambil keuntungan dari itu. Justru kita harus paham, bahwa di dalam diri kita ada hak sebanyak 2,5% untuk orang lain. Apakah itu harta, pikiran, dan tenaga. Saya harus memberi contoh, bahwa tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah. Dan tangan di bawah juga tidaklah hina. Ini pilihan. "Persoalannya, Rumah Dunia belum saatnya menerima block grant. Uang ibarat api. Jika tidak paham menggunakannya, bisa membawa petaka," begitu selalu saya ingatkan kepada relawan. Apalagi para relawan Rumah Dunia saat itu berasal dari pelosok-pelosok Banten, yang rata-rata berasal dari ekonomi lemah. "Nanti saya akan memberi tahu, kapan kita boleh menerima block grant," tegas saya. Bahkan saya tambahkan, 'Percayalah sama Allah, suatu saat, jika Allah berkehendak, akan datang masanya pada Rumah Dunia, rezeki itu datang. Dan saat itu insya Allah kita sudah kuat dan mampu menjalankan amanah itu." Beberapa kali saya ditawari block grant sekitar tahun 2002 – 2005. Saya menolak dengan halus. Saya bilang, "Kami belum mampu." Saat itu, mohon maaf, saya belum bisa kalau harus memberi "komisi" atau "pelicin" kepada beberapa oknum. Pernah beberapa kali menerima telepon, jika Rumah Dunia bisa memberi komisi sekian persen, dana akan dicairkan. Saya sarankan, agar dana itu diberikan kepada yang membutuhkan saja. Saya tahu, banyak block grant untuk TBM (taman bacaan masyarakat) yang sia-sia. Kadangkala TBM itu fiktif, kongkalikong dari oknum di Dinas Pendidikan setempat dengan masyarakat (bahkan bisa saja antara ayah dan anak), yang hanya membuat TBM di kala block grant tersedia. Bukannya saya tidak butuh uang. Tentu butuh. Tapi, banyak cara mendapatkan uang untuk operasional Rumah Dunia. Saya harus menanamkan jiwa mandiri kepada para relawan. Saya memberi mereka pelajaran, bahwa untuk mendapatkan uang adalah dengan bekerja. Saya contohkan, dengan bekerja (saat itu saya masih sebagai senior creative di RCTI) kita bisa berzakat atau bersedekah. Para relawan pun menulis cerita pendek dan esai di koran serta menulis novel. Dari honorarium yang diperoleh, kami sepakati menyetor ke kas Rumah Dunia.Kadang 10% hingga 50%. Hal itu masih berlanjut hingga sekarang. Bahkan para donatur pun berdatangan, tak ada henti; datang dan pergi. Sebagai bentuk transparansi, semuanya kami dokumentasikan di www.rumahdunia.net Saya betul-betul merancang keberlangsungan Rumah Dunia sejak lama bersama Tias Tatanka. Pelan-pelan saya sosialisasikan isi kepala saya kepada para relawan. Saat itu saya langsung memagari, "Jika Anda bermaksud mencari keuntungan materil di Rumah Dunia, sebaiknya dari sekarang pergi saja." Rumah Dunia adalah tempat kita berpesta-pora melakukan ibadah lewat pendidikan, bukan keuntungan. Tapi, saya meyakinkan para relawan, bahwa Allah tidak tidur. Allah dan malaikat bersama kita. Pada 2004, Rumah Dunia saya resmikan keberadaannya setelah organisasinya berjalan dengan baik. (Alm) Djoko Moenandar, selaku Gubernur Banten pada masa itu meresmikan. Rumah Dunia makin dikenal dan hampir semua media massa mendukung; Radar Banten, Banten Raya Post, KOMPAS, Republika, Koran Tempo, Ummi, Annida, MataBaca, HOT FM, Radio TOP, bahkan Trans TV, Metro TV, Trans 7, DaaiTV, Tve, TPI, TV One dan RCTI. Rumah Dunia makin mendunia. Apalagi pada Desember 2004, Andre Birowo dan Noval Y. Ramsis menghadiahi kami situs www.rumahdunia.net. Kami serasa seperti sedang menjelajahi dunia; menyebarkan virus Rumah Dunia ke mana-mana. FORUM TBM Dampaknya, jam terbang ceramah saya meningkat. Saya mulai kelelahan. Ini tidak bagus. Saya juga harus memberi contoh, bahwa jika terlalu lama duduk di kursi kepemimpinan itu tidak baik. Cukup 1 periode saja. Pada 2005 saya menyerahkan posisi Presiden Rumah Dunia kepada Tias Tatanka, yang setahun kemudian dialihkan ke Firman Venayaksa. Saya ingat betul, selulus S1 dari UPI Bandung pada 2004, Firman dari Waringinkurung, Rangkasbitung datang melamar jadi relawan. Sambil kuliah S2 Sastra di UI Depok dan menyanyi ke sana-sini bersama kelompok musik Hajar Aswad, Firman menjadi relawan Rumah Dunia. Sirkulasi Firman sangat luar biasa; Rumah Dunia – Rangkasbitung - Depok – Bandung. Spirit kerelawanannya tinggi. Saya menawarkan Firman menggantikan posisi saya. Apalagi jam terbang saya sedang tinggi pada tahun itu. Selain pekerjaan yang menumpuk di RCTI, menulis novel, skenario pesanan, ceramah ke sana-sana sini tentang pengelolaan TBM. Saat itulah saya mulai berdekatan dengan Depdiknas lewat Wien Muldian (Penasehat Rumah Dunia dari Forum Indonesia Membaca), yang resmi jadi PNS dan dipercaya mengelola Library@Senayan. Saya bergabung di Pokja TBM. Saat itu Kasubdit Baca dipegang Ridwan Arsyad. Mulailah saya mengenal, bahwa ternyata ada pekerjaan yang maha berat dari Pemerintah (Depdiknas). Mereka menyusun program ini-itu, tapi saat implementasinya terhambat di daerah. Saya tergerak ingin terlibat. Itu saya buktikan. Jika saya memberi pelatihan tentang pengelolaan TBM, selalu saya ingatkan kepada para peserta, agar jangan tergantung pada block grant. Boleh saja menerima block grant, tapi harus dipikirkan pula cara kreatif dan inovatif untuk keberlangsungan hidup TBM. Cara-cara kreatif dan inovatif di Rumah Dunia dalam menggalang dana saya paparkan. Banyak yang bertanya, bagaimana cara melakukannya? Saya jawab, "Membangun kepercayaan itu harus melewati proses terus menerus, bukan dadakan. Dan itu harus lewat tindakan." Saya merasa, ada yang pro tapi ada juga yang kontra dengan sikap saya terhadap block grant ini. Lantas Ridwan Arsyad menawari saya block grant Rp. 25 juta untuk Program TBM pada saat rapat-rapat Pokja. Saya masih belum tertarik, karena harus membuat proposal. Wien dan Firman memberi saya wawasan, bahwa sekaranglah saatnya Rumah Dunia menerima block grant. Saya konsultasikan dengan Tias Tatanka, Toto ST Radik, dan orang tua. Saya juga bicarakan dengan para relawan. Jumlahnya sangat besar. Kemudian di Hotel Maharani, Jakarta, saya menjadi narsum di depan para pengelola TBM. Saat itu sudah santer terdengar rencana pembentukan Forum TBM. Saya ingat, ada Zul dari Bandung yang digadang-gadang jadi Ketua Forum. Saya tergoda. "Kayaknya untuk membereskan TBM yang berorientasi block grant harus jadi Ketua Umum!" Sayang, saat pembentukan Forum TBM dan pemilihan Ketua Umumnya, saya sedang berada di Kairo, Mesir, memenuhi undangan Forum Lingkar Pena (FLP) Perwakilan Mesir bersama Pipit Senja dan Ustad Faudzil Adhiem. Firman sebagai Presiden Rumah Dunia terpilih jdi Ketua 1. Kesaksian Firman, "Ketuanya udah dipilih sejak awal oleh Depdiknas. Ya, Zul itulah!" Maka keputusan menerima block grant sebesar Rp. 25 jt saya serahkan kepada Firman sebagai Presiden Rumah Dunia. Saat rapat dengan para relawan Rumah Dunia, saya mengamininya. Inilah saatnya. Ya, saat yang pernah saya katakan dulu, sekaranglah saatnya. Bahkan saya masih mewanti-wanti ke Ridwan Arsyad, bahwa Rumah Dunia ditawari bukan meminta. Maka terjadilah "barter" setelah saya yakin akan mendapatkan block grant. Program setahun Rumah Dunia kami berikan, maka block grant pun cair pada 2006. Setelah itu Rumah Dunia panen raya. Diawali Endang Rukmana yang menyabet juara I dalam ajang "UNICEF Award for Indonesia Young Writer" (2004), tradisi itu dilanjutkan Yunita Utami setahun kemudian pada ajang yang sama (2005), dan Ibnu Adam Aviciena mendapat beasiswa S2 ke Leiden, Belanda. Masih berlanjut, Firman Venayaksa resmi jadi dosen Untirta Serang. Beberapa relawan Rumah Dunia yang aktif di Kelas Menulis direkrut Radar Banten dan Banten Raya Post. Saya secara pribadi mendapat anugrah pemennag XL IBA 2008 dengan ukuran integritas, inovasi, kreativtas, dan dampak social kepada masyarakat. Saat Islamic Book Fair, April 2007, aku mendapat penghargaan sebagai "Tokoh Perbukuan". Menyusul Mei 2007, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, memberi penghargaan "Nugra Jasadarma Pustaloka". Terakhir "Anugrah Literasi World Book Day 2008" dari Komunitas Literasi Indonesia, pada hari Buku Internasional, 3 April 2008 lalu. Tias Tatanka juga tidak ketinggalan; mendapat "Perempuan Inspirasi Banten" (2008) dan "The Real Woman" dari Antara Foto dan Plaza Semanggi (2010). RINTISAAN RB3 Penunjukkan Rumah Dunia sebagai penerima block grant langsung dari Depdiknas berdampak baik. Hubungan Rumah Dunia dengan Dinas Pendidikan Provinsi Banten mulai erat. Saya sering dimintai jadi nara sumber oleh Eko Koswara, Kadisdik Prov. Banten di pelatihan TBM se-Banten. Perkembangan Forum TBM juga memperlihatkan tanda-tanda sehat. Firman dilibatkan sebagai tim verifikasi. Firman sering bercerita, tentang adanya TBM-TBM fiktif. "Langsung saya coret saja, Kang!" kisah Firman. Pada 2008 Rumah Dunia mendapat block grant lagi dari Dindik Provinsi Banten sebesar Rp. 25 jt. Alhamdulillah, semuanya kami kelola dengan baik. Para donatur makin banyak bergabung. Program-program dan kegiatan di Rumah Dunia berjalan lancar. Beasiswa kepada anak-anak dan relawan Rumah Dunia terus berlangsung. Satu hingga 7 anak berhasil melanjutkan pendidikannya ke jenjang SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi seperti Untirta Serang, IAIN SMH Banten dan Unsera. Para pejabat teras sekelas gubernur, wakil gubernr, bupati, kepala dinas di Banten bertandatangan. Inilah yang saya sebut "Panen Raya Rumah Dunia". Allah tidak pernah ingkar dengan janji-Nya. Hingga tibalah Januari 2010. Firman menyerahkan kursi kepresidenan kepada Ibnu Adam Aviciena yang baru pulang dari Leiden, Belanda. Kemudian kegiatan "Change with Reading" digelar. HM. Masduki, selaku wakil gubernur 2007 – 2012 datang meresmikan. Ella Yulaelawati, Ph.D, Direktur Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, Kementerian Pendidikan Nasional tanpa kami duga hadir menjadi nara sumber. Secara pribadi saya tidak begitu memahami struktural. Tapi Firman memberi informasi, bahwa kedatangan Ella Yulaelawati sebagai Direktur Dikmas akan berdampak baik pada Rumah Dunia. Ternyata omongan Firman itu betul. Saya dipilih jadi Ketua PP Forum TBM di Yogyakarta pada 22 Februari 2010. Saya mulai mengenal Drs. Muh. Ngasmawi sebagai Kasubdit Peningkatan Budaya Baca yang menaungi Forum TBM. Tiga bulan kemudian, Rumah Dunia ditunjuk Kemendiknas mengelola TBM@Mall di Carrefour Serang. Gubernur Banten Rt. Atut Chosiyah meresmikannya pada 2 Mei 2010, berbarengan dengan Mendiknas, Moh. Nuh, yang meresmikan TBM@Mall Plaza Semanggi. "TBM@Mall Banten Membaca" boleh berbangga, karena mendapat porsi pemberitaan yang istimewa di koran KOMPAS. Rumah Dunia mendapat amanah lagi; yaitu block grant sebesar Rp. 200 jt untuk Program Rintisan Balai Belajar Bersama (RB3) 2010, Sub Direktorat Pendidikan Keaksaraan. Saya pun mendapatkan sahabat baru lagi; Dr. Elih Sudiapermana sebagai Kasubditnya. Dana Rp. 200 juta itu diperuntukan untuk keorganisasian, gedung sekretariat dan kegiatan belajar bagi warga di sekitart Rumah Dunia, mulai dari AKRAB 9Aksara agar Berdaya), Keaksaraan Usaha Mandiri (wirausaha), pelatihan, diskusi, kelengkapan Taman Bacaan Masyarakat, pengembangan minat baca, pendidikan karakter, publikasi dan dokumentasi. Peresmian RB3 akan dilakukan pada awal Oktober 2010, karena sekarang sedang memulai pembangunan panggung, cafe baca, gazebo, gedung seluas 7 x 10 m. Kegiatan RB3 ini dipusatkan di Taman Budaya Rumah Dunia, sumbangan dari para facebooker akun Gol A Gong pada 2009 lalu. "Di gedung itu nanti akan ada sekretariat RB3 dan kegiatan belajar warga." Misalnya pelatihan jurnalisme warga berupa komputer, disain grafis, keredaksian, dan jurnalisme on line. "Hasilnya nanti akan ada penerbitan buku cerita rakyat, koran warga, dan majalah on line," tambah Gong. Diperkirakan pembangunan gedung itu akan selesai akhir September. Warga sangat antusias dan menyambut gembira program RB3 ini. Dulu kami sering kesulitan mencari donatur untuk kegiatan. Sekarang, alhamdulillah, dimudahkan. Selain tingkat kepercayaan masyarakat semakin tinggi pada Rumah Dunia, ini juga berkah Ramadhan 1431 H. Semoga ini terus berlanjut. Jika tahun depan tidak, kami harus jatuh-bangun lagi mencari donatur. Kami mohon didoakan mengemban amanah ini. Semoga tetap di jalan Allah SWT, amanah dunia dan akherat, segala urusan dimudahkan. Insya Allah, kami tidak akan numpang hidup dari block grant. Kami memiliki pekerjaan. Ada yang jadi dosen seperti Ibnu (IAIN SMH Banten), Firman (Untirta) dan istrinya, Pramita Gayatri jadi konsultan psikologi di Primagama Serang dan Cilegon. Guru di SMA (Al-Azhar) seperti Indra Kesuma dan Rahmat Heldy HS (Al-Irsyad). Pegawai negteri seperti Toto ST Radik. Beberapa relawan seperti Qaizink La Aziva, Hilal Ahmad, Gading Tirta jadi wartawan di Radar Banten dan Baraya Post. Piter Tamba dan Ferry Setiawan di BR TV. Bahkan Aji Setiakarya kini mendirikan PH, Sultan Film. Beberapa relawan lagi seperti Ahmad Wayang, Nadrotul Ain dan Roy sedang kuliah, Muhzen Den menyusun skripsi dan Abdul Salam masih sekolah di SMA PGRI 1. Rimba Alangalng baru merayakan kelulusannya dari IAIN SMH Banten. Langlang Randhawa dan RG Kedungkaban serius menekui penulisan novel dan skenario. Siti Sauni menungu tahun depan untuk bisa kuliah sambil jaga TBM@Mall di Carrefour. Sedangkan saya dan Tias mengelola Gong Publishing, editor sebuah penerbitan, menulis novel dan skenario. Kami sudah niatkan block grant itu untuk masyarakat. Kami hanya mengelolanya saja atau sebagai fasilitator. Insya Allah. Akhir kalam, terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu Rumah Dunia secara moril dan materil, sehingga "Panen Raya di Rumah Dunia" berlangsung. (*) |
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment