Nasionalisme dalam Novel Negeri Van Oranje
:yons achmad
Nasionalisme (paham kebangsaan) bisa diartikan secara umum dengan rasa cinta tanah air. Dalam kurikulum pendidikan kita, paham kebangsaan tersebut sering diajarkan melalui pelajaran (mata kuliah) kewarganegaraan. Lazimnya dalam proses pembelajaran, oleh guru (dosen), sering dipaparkan tentang sejarah tokoh-tokoh nasional yang telah berjuang mewujudkan Indonesia merdeka. Dari tokoh-tokoh tersebut kita belajar tentang nasionalisme. Begitulah proses penanaman nilai nasionalisme berlangsung lewat pendidikan formal kita. Proses yang saya kira dengan metode terlampau klasik dan miskin kreatifitas.
Lantas, bagaimana jadinya kalau nasionalisme itu diajarkan melalui media novel? Tentu saja ini menarik. Dalam novel berjudul Negeri Van Oranje karya Wakyuningrat dkk, selain kita bisa menikmati petualangan kisahnya, tak luput nilai tentang nasionalisme juga bisa kita dapatkan. Nilai ini muncul (sengaja dimunculkan para penulisnya) melalui dialog (diskusi) tokoh-tokoh dalam novel ini. Saya kira fenomena semacam ini sayang kalau kita lewatkan begitu saja.
Saya menemukan pendedahan nilai ini mulai dari Bab "Indische Vereeninging"
. Berawal dari salah satu tokoh perempuan dalam novel ini yaitu Lintang dengan keterlibatannya dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda. Organisasi ini terbentuk setelah melewati proses yang cukup panjang. Sejarah Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda dimulai sejak Oktober 1908, ketika R. Soetan Cansanjangan Soripada atas dukungan J.H Abendanon membentuk sebuah perkumpulan yang dikenal dengan nama Indische Vereeniging.
Namun, barulah pada saat Bung Hatta terlibat pada 1922 bersama Sutan Syahrir, Sutomo, Ali Sastroamindjoyo dan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya, mereka mengubah nama perkumpulan itu. Indonesische Vereniging menjelma menjadi Perhimpunan Indonesia. Selanjutnya, perkembangan organisasi tersebut mengalami dinamisasi. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) tercetus di Delft untuk pertama kalinya pada 1953. Namun, organisasi ini jalan di tempat. Pada tahun 1970, perhimpunan ini dihidupkan kembali di Amsterdam namun masih terseok-seok. Baru pada tahun 2004 PPI Belanda kembali terbentuk dan bertahan hingga hari ini.
Pemunculan isu nasionalisme yang mula-mula dari keterlibatan Lintang dalam kepengurusan PPI mendapatkan tanggapan beragam dari teman-temannya. Tak terkecuali juga kritikan yang menganggap organisasi tersebut hanya buang-buang waktu saja. Sampai berujung pada debat soal kontribusi (peran) mahasiswa yang sudah lulus S2 setelah berhasil menempuh studinya. Pulang, atau bekerja di luar negeri. Nah, pada Bab ini "Voor Indonesie (Untuk Indonesia), diskusi mengenai nasionalisme menguat. Soal sumbangsih apa yang bisa diberikan oleh mahasiswa Indonesia setelah sekian lama merantau, belajar di negeri orang.
Misalnya dalam sebuah adegan seminar (pertemuan PPI). Bang Acil, salah satu orang Indonesia di Belanda yang diangap sesepuh mengecam para mahasiswa yang memilih untuk menyumbangkan isi kepala dan pengetahuannya di luar negeri. Namun, pandangan yang dinilai terlampau normatif ini banyak ditentang. Misalnya oleh Banjar, salah satu tokoh yang berperan sebagai mahasiswa Manajemen Pemasaran. Argumennya yang lumayan bernas mematahkan logika Bang Acil. Ia mencontohkan negara India. Banyak mahasiswa India alumnus luar negeri yang tak langsung kembali ke negaranya. Mereka bekerja mengembangkan ilmu pengetahuan atau membangun bisnis di luar India. Setelah mereka sukses bermukim dan bekerja di luar nasionalisme mereka tak luntur.
Para mahasiswa India yang sukses bekerja di luar negeri tersebut ternyata mereka kembali untuk menginvestasikan uang dan teknologi yang dikuasainya di berbagai kota di India. Hasilnya, transfer teknologi berjalan dengan tingkat yang sangat mengagumkan, industri mereka garap, jutaan kesempatan kerja dibuka, ekspor meningkat, devisa mengalir. Kata-kata Banjar terus mengalir, sampai ditutup dengan pertanyaan, "Apa itu tidak dihitung sebagai bentuk sumbangsih bagi tanah air? Saya kini balik bertanya, apakah pembangunan di India bisa secepat sekarang, tanpa sokongan putra-putrinya yang berjuang di luar negeri?"
Membaca novel ini, walaupun oleh Penerbit Bentang dikategorikan novel bergenre populer namun tak melulu berisi soal remeh-temeh. Lihat saja paparan diatas, ternyata mengandung muatan (nilai) yang agak berat juga. Soal nasionalisme, walaupun isu yang cukup berat tapi saya kira masih perlu dan memang perlu dan selalu terus untuk diangkat. Memang tak perlu kita memutuskan mana yang benar dan mana yang salah dalam kasus diatas. Justru, adegan dalam cerita tersebut seolah mempertanyakan kembali kepada pembaca mengenai kontribusi apa yang sudah kita berikan kepada bangsa ini?.
Dengan demikian, saya kira novel ini perlu diapresiasi. Setidaknya, oleh komunitas-komunitas sastra, gerakan mahasiswa atau aktivis pers kampus dimana perlu mendiskusikan lebih lanjut mengenai isi novel ini. Tentu beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Terutama dalam soal nasionalisme. Apalagi seperti yang diungkapkan Prof Sartono Kartodirdjo dalam sebuah artikel yang berjudul "Kebangkitan Nasional dan Nasionalisme Indonesia" bahwa nasionalisme pertama-tama adalah muda setidaknya bisa sebagai pemantik dalam mempertanyakan kembali identitas diri, khususnya kaum muda tentang eksistensinya. Serta, menggugah semangat generasi muda dalam peran strategisnya memajukan bangsa. Apa boleh buat, harapannya begitu. []
--
==========
yons achmad
penulis | publisis| konsultan media
founder http://komunikata.net
talk with me about
media | online marketing | writerpreneurship
blog : http://penakayu.blogspot. com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment