ASAHAN:
KEKRITISAN RAKYAT SEMAKIN TAJAM
Perlawanan rakyat Indonesia melawan Orba suharto dan para penerusnya meskipun belum dalam bentuk perlawanan fisik berskala besar namun juga selalu diikuti dengan perlawanan kultural yang semakin meninggi yang juga menjalar ke bidang kebudayaan. Di mulai dengan para penulis asing yang membikin buku-buku tentang peristiwa G30S dengan bermacam pandangan dan metode bahkan hingga intrig. Dan inti serta makna buku-buku mereka pada ahir-ahirnya adalah anti Komunis, anti rakyat meskipun terkadang diselubungi dengan kritik-kritik terhadap suharto dan rezimnya. Pendekatan demikian memang tidak bisa dihindari karena kalau tidak, akan tidak diperhatikan orang atau pembaca karena kritik terhadap suharto sudah menjadi kata pembukaan atau kata pengantar untuk semua buku yang menyangkut peristiwa G30S. Tanpa basa-basi demikian, semua buku yang ditulis penulis asing maupun penulis Indonesia sendiri, akan dicampakkan orang sebagai benda sampah tak punya harga. Bahkan tidak sedikit para pengikut atau pengagum suharto di masa lalu telah berpaling tidak lagi sudi menjadi buntutnya seumur hidup dan bahkan hingga melawan dengan berbagai cara dan kesempatan menjadi pengeritik suharto dan Orba. Para penulis asing yang anti Komunis harus pula menyesuaikan diri dan menyamarkan diri agar belang anti komunisnya tidak tampak terlalu kasar dengan cara turut pula mengkritik suharto. Tapi di pihak lain mereka membenarkan fitnah yang dititimpakan suharto terhadap PKI bahwa PKI dalang G30s atau ada pula penulis lain yang mengatakan hanya segelintir pimpinan tertinggi PKI yang terlibat langsung dan mendalam pada peristiwa G30S sedangkan PKI sebagai Partai dan seluruh anggota-anggotanya tidak terlibat. Pemisahan dan pembagian kesalahan ini adalah dimaksudkan untuk mengadu domba intern PKI, membenarkan fitnah suharto bahwa PKI memang terlibat bahkan pencipta G30S. Ini sebuah kejahatan yang tidak kurang kejamnya dari suhato sebagai pemfitnah langsung terhadap PKI. Politik "memancing di air keruh" yang dilakukan oleh sementara penulis asing yang menyamarkan diri sebagai "anti suharto" dengan derajat yang berbeda -beda sesuai dengan keperluannya, bisa membuat rakyat Indonesia terkecoh dan tertipu bila tanpa kekritisan dan kewaspadaan. Sayangnya metode halus dan berbisa ini juga diikuti oleh sementara penulis"kiri"Indonesia yang turut-tuturt memisahkan antara PKI sebagai Partai dengan Pimpinan tertingginya sebagai individu yang mereka gambarkan sebagai "Stalin", penempuh jalan avonturime politik, lalu mereka pura-pura ingin membersihkan PKI dari tuduhan terlibat atau menjadi dalang G30S. Dan yang lebih sungguh disayangkan lagi, turut juga tertular sementara penulis atau sejarawan muda (sekarang sudah berangkat tua) yang masih ingusan atau bahkan belum lahir ketika terjadi G30S yang pengetahuan mereka tentang PKI adalah 0,0 selain dari buku-buku yang sempat mereka baca atau cerita-cerita lisan yang sudah menggunung seperti Himalaya tanpa kontrol, tanpa bukti, tanpa pembenaran. Dan para penulis asing menggunakan cerita-cerita mengambang yang bak memenuhi samudra itu untuk memalsu kebenaran menjadi yang mereka katakan sebagai bukti-bukti hidup, berlandaskan fakta-fakta dengan metode ilmiah yang mereka kombinasikan dengan titel-titel akademis yang memang sudah mereka punyai sebagai merek dagang untuk mempropagandakan dagangan buku-buku mereka. Tapi rakyat bersikap lain. Mereka mungkin tidak menulis sebagai bantahan tapi juga mungkin tidak memberikan reaksi lisan. Mereka diam tapi bukan berarti mereka tidak tahu masaalahnya, tidak tahu apa yang harus dibantah dan yang harus disetujui. Dan mereka yang tidak pandai membaca reaksi rakyat, akan mudah terpencil dan terpisah dari rakyat.
Tindakan Kejaksaan Agung (Kejagung) Indonsia yang melarang atau membredel lima buah buku, juga harus disikapi dengan sikap kritis. Namun pertama-tama harus pula ditegaskan bahwa tindakan Kejagung itu adalah tidakan yang anti demokrasi, anti kebebasan memberikan pendapat dan juga tidakan otoriter diktator yang harus ditentang. Ini sebuah sikap taktis dan strategis yang harus diberikan kepada Kejagung, tanpa kompromi tanpa basa-basi. Tapi di mana letak sifat kekritisan yang harus kita tempatkan. Kita berusaha memahami masaalahnya secara kongkrit, satu persatu dan tidak main otomatis`atau umum-umum begitu saja. Umpamanya kita tidak perlu turut menangisi sebuah buku yang kena cekal yang bermuatan anti komunis yang terselubung rapi yang mengeruhkan ideologi rakyat Indonesia , yang memecah belah persatuan Intern PKI, yang membenarkan fitnah suharto. Buku itu secara kebetulan telah menjadi korban akibat ketololan dan kebodohan Kejagung sendiri yang sebenarnya sangat menguntungkan secara politis dan ideologis pihak Orba suharto dan para penerusnya dan tidak menguntungkan rakyat Indonesia. Biarkan mereka berjuang sendiri menyelamatkan kebohongan dan intrignya. Biarkan orang lain yang suka mengikutinya dan bersimpati kepadanya secara bebas melakukannya. Rakyat Indonesia melawan segala tindakan Kejagung yang memperkosa demokrasi tapi juga bukan berarti kita harus turut menyelamatkan dan memberikan simpati pada intrig musuh yang turut terjaring oleh pukat pusuh itu. Itu urusan mereka, urusan para simpatisannya, urusan para Oporkaki PKI (Oportunis kanan-kiri) untuk memberikan simpati mereka.
Namun sebuah hikmah positip bisa dipetik dari kesimpangsiuran dan penyesatan sejarah yang dilakukan oleh musuh rakyat Indonesia dan para pengikut serta agen-agennya. Semua pemikiran yang sering dilontarkan oleh para penulis asing maupun sementara penulis Indonesia sendiri, bila terdapat dualisme di dalammya, yaitu di satu pihak mereka juga mengkritik suharto bahkan hingga mengutuknya, tapi di lain pihak mereka membenarkan fitnah suharto yang menuduh PKI dalang dan terlibat G30S yang bertujuan untuk memecah belah Intern PKI dan memojokkan PKI seumur hidup, adalah pemikiran yang jahat, kotor dan harus dicampakkan. Dan di sinilah yang saya maksudkan bahwa kekritisan rakyat Indonesia semakin tajam. Mereka sedang mencampakkan pemikiran jahat dan kotor itu dan tidak mudah tertipu serta sedar dan tahu bagaimana harus bersikap.
ASAHAN.
Hoofddorp, 26 Desember 2009.
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment