INFORMASI KREASI DARI BATAM KEPRI : Novel Oleh A.Kohar Ibrahim SITOYEN SAINT-JEAN : ANTARA HIDUP DAN MATI Penerbit : Titik Cahaya Elka. Alamat : Anggrek Sari Blok F-6 N°12 B Batam Center, Pulau Batam, Kepri Diterbitkan pertamakali : November 2008 ISBN 987-979-25-8704- Ukuran : 10x18 cm Tebal : 172 halaman. Editing : Lisya Anggraini Desain kulit & isi buku : Mahfut Azhari dan Wahyu Hudaya * ISI Pengantar Penerbit Sepatah Kata Hudan Hidayat * I SITOYEN : Sabtu 29 Maret Pasalnya Se-Juni Hidup Apa Lagi Selain Itu II SERVIS URGEN : Rabu Sore Darah Malam Panjang Servis Urgen III BIDADARI BIDADARA : Makan Sakit Obat Pengobat IV TEROWONGAN MAUT: Kemenangan Hidup Harapan Terowongan Maut Keharmonisan * Catkas tentang Penulis Catkas: Keterangan * Dari Penerbit : Novel Sitoyen Saint-Jean : Antara Hidup Dan Mati ini berkisahkan seorang anak manusia, salah seorang putera kelahiran Jakarta 1942 yang mencintai tanah tumpah darahnya, bangsanya, kebudayaannya dan tentu saja Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Namun setelah keberangkatannya pada 27 September 1965 ke Tiongkok kemudian terjadi Tragedi Nasional 1965, anak tunggal pasangan Ibrahim & Maemunah yang memiliki cita-cita dan ragam impian ini terpaksa menjadi salah seorang yang oleh mantan Presiden R.I. Gus Dur sebagai « kaum kelayaban » di Mancanegara alias kaum eksilan. Bagaimanakah jejak langkah dan warna-warni jalur jelujur kehidupan anak bangsa yang lahir dan dibesarkan serta kiprah dalam perjuangan hidup sampai usia 23 tahun tapi lantas harus terpaksa jadi pengelana buana selama lebih dari empat dasa warsa ? Bagaimana dia menjaga cita dan cinta serta impiannya sejak masa bocah ? Bagaimanakah dia menjawab pertanyaan dan memaknai Hidup dan Kehidupan bahkan Kematian ? Kiranya pembaca bisalah memahaminya dengan menyimak novel pendek ini – sebuah karya prosa yang tergolong bergaya realisme romantis malah biografis – dari awal sampai akhirnya. Novel ini terdiri dari serangkum kisah dengan masing-masing judulnya sendiri dan sebagian besar bisa disajikan atau dibaca secara tersendiri seperti cerita pendek. Salah sebuah dari padanya berjudul « Terowongan » ; pernah dipasang di beberapa blog, seperti Abekreasi Multiply.com. Salah seorang pembaca yang mengapresiasinya tak lain adalah sastrawan Hudan Hidayat, yang atas seizinnya kami sertakan dalam buku ini. Kepada Hudan Hidayat, atas kemurahan hatinya kami ucapkan banyak terima kasih. Sedangkan kepada pembaca yang berkenan kami persilakan. *** (Penerbit) * Hudan Hidayat : Terowongan Kehidupan cerita pendek ini menyapa hampir-maut dengan lembut sekali – nyaris sebuah kepasrahan dari seseorang yang telah sabar mengalami derita panjang, derita yang nampaknya bukan sekedar dalam makna pikiran, tapi derita pikiran dan derita fisik dari sebuah perjalanan hidupnya yang panjang. Saya adalah anak sejarah yang masa-masa lalu itu seolah sejarah itu sendiri. Sejarah pahit yang gelap. Hingga saat ini pun masih gelap. Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ada pernah saya diberitahukan, bahwa karya sastra orang-orang lekra adalah tak lebih dari pamplet belaka. Semua kata yang mengungkap peristiwa dan makna memuara ke satu arah : politik revolusi. Sehingga cerita-cerita mereka, demikian sejarah itu memberitahukan, tak ada yang bermakna. Tapi waktu membaca pram, semua kesimpulan semacam itu pupus. Apalagikah makna kalau kita berhadapan dengan cerita besar seperti bumi manusia itu misalnya. Lalu kini saya tertumbuk dengan sebuah cerita kecil hidup seseorang, yang dilambangkannya dengan terowongan. Terowongannya, aduh, alangkah pas tanda ini untuk mengatakan hidup itu sendiri. Hidup adalah terowongan panjang yang kita tak tahu ujungnya. Sehingga berteriaklah orang seperti albert camus : absurd. Dan karena absurd, aku memilih tak bertuhan saja. Tapi lihatlah cerita kohar ibrahim ini. Tiap katanya adalah sapaan lembut kepada tuhannya. Kata yang berlapis membentuk dan mencampur dari jenis kata yang sama, seolah menganya labirin, seolah memasuki dan terowongan kata itu sendiri. Seakan ia hendak berkata : sudah kulalui macam-macam terowongan fisik dan terowongan makna – seperti yang disebutkannya dengan mengutip beberapa cerita fiksi dari awal karangannya ini. Lalu apa lagi yang harus kutakuti ? Tentu saja takut bukanlah kata yang tepat. Yang lebih tepat lagi asing. Perasaan asing yang aneh seperti yang bolak-balik dikaitkannya dengan alat-alat medis agar ia selamat dari terowongan yang bernama operasi itu. Tapi dari cerita ini saya melihat sekali suatu ekspose dari manusia fakta dan manusia fiksi (yang lagi menuliskan ceritanya – seorang narator bernama aku) yang dengan terowongan itu seolah mengajak kita mengenang akan sepenggal kehidupan agar dari sepenggal kehidupan itu kita merenungkan apakah artinya dan apakah kesudahannya. Di ruang yang sangat kecil ini, perasaan itulah yang saya alami. Mungkin kalau saya mengetik di ruang layar yang lebar komputer kelak beberapa denyar yang merasuki hati saya ini bisa saya elaborasi ke dalam detil-detil yang mungkin menjadi hak bagi peristiwa dan makna yang diletakkan, atau yang telah terjadi di Saya kagum dengan cerita anda, bung kohar. Izinkan saya mengambilnya dan memasangkan ke blog saya. Mungkin ala mini juga akan saya perluas untuk tulisan di milis-milis yang saya ikuti. Bagi saya sebuah cerita adalah kebajikan hidup itu sendiri. Saya yang menggemari cerita ingin mengumpulkan sebanyaknya dan kalau bisa, menyuarakannya sebagai suara dari kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang penuh warna-warni dari manusia yang mengalaminya sendiri. (hudan hidayat) * Catatan : Para Peminat Silakan Hubungi Penerbit Atau Toko-Toko Buku : Toko Buku Kharisma – Nagoya Hill, Batam Toko Buku Panbil Mall, Batam Toko Buku Satu Tujuh Satu – Pekanbaru, Dumai, Tanjungpinang * Biodata : http://16j42. |
Attachment(s) from abdul kohar ibrahim
2 of 2 Photo(s)
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment