Sunday, December 6, 2009

[ac-i] [BUKU INCARAN] Titik Balik Dalam Kehidupan Tingka Adiati

 

Titik Balik Dalam Kehidupan Tingka Adiati
--Anwar Holid

Miracle of the Brain
Penulis: Tingka Adiati
Penerbit: GPU, 2009
Tebal: 207 halaman
Ukuran: 13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-4809-8
Harga: Rp.30.000,-

JIKA KITA mengalami kebetulan luar biasa, berarti Tuhan sedang mengedip kepada kita. Kedipan itu ialah pesan cinta yang berbunyi: "Nak, Aku memikirkanmu. Kamu baik-baik saja. Bertahanlah." Demikian tulis Squire Rushnell dalam When God Winks. Kira-kira seperti itulah pengalaman Tingka Adiati, seorang ibu rumah tangga sekaligus jurnalis.

Pada Minggu, 13 Januari 2008 menjelang dini hari dia menerima telepon bahwa suaminya jatuh ketika sedang bekerja di kantor. Suaminya ialah Bambang Wahyu Wahono, seorang wartawan di sebuah harian. Di tengah keheningan dan keseriusan menjelang deadline, rekan wartawan yang sama-sama masih ada di sana tiba-tiba mendengar suara berdebum orang jatuh, dan tak bangun-bangun. Ketika didekati, Bambang tampak muntah-muntah serta kondisinya sudah sangat serius.

Setelah masuk rumah sakit, Tingka tahu suaminya mengalami perdarahan dan menerima vonis bahwa dia terkena stroke. Sakit ini membuat sang suami koma selama sembilan hari, badan bagian kirinya lumpuh total, gagal bicara, dan ingatannya hilang. Setelah bangkit dari koma, suaminya kembali hanya untuk diurus sebagai pasien selama lebih dari satu tahun lamanya. Apa yang bisa dilakukan istri dalam keadaan seperti itu? Tingka segera memutuskan dirinya akan total mendampingi suaminya, menjalani drama amat mengharukan yang bisa dibayangkan oleh pasangan suami-istri atau orang-orang yang merasa siap berkorban nyawa bagi kekasihnya.

Selama bulan-bulan yang mengguncangkan itu Tingka mengalami turning point---suatu titik balik yang menandai perubahan kehidupan seseorang menjadi lebih baik dan baru sama sekali. Saat itulah dia membuktikan makna cinta dan kasih sayang kepada suami, anak-anak, dan keluarga. Dia juga mendapatkan visi baru tentang iman, hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, dan spirit dalam menghadapi kehidupan. Dalam buku memoar inilah semua luapan emosi seorang istri dalam merawat suami yang terkena stroke selama lima belas bulan kemudian terekam secara menggetarkan. Selain menulis cukup detil cara merawat pasien stroke, memenuhi kebutuhan terapi untuk suaminya, Tingka merefleksikan hidup dan perjalanan perkawinannya. Periode itu berlangsung amat drastik dan dramatik.

Sebelumnya, keluarga Tingka ada dalam kondisi ideal. Karir suaminya berjalan normal, sementara dia aktif sebagai wanita karir. Rumah tangganya pantas disebut sempurna: harmonis, kesejahteraan sosial terjamin, anak-anak yang manis. Tapi takdir mendadak menggelincirkan mereka dalam kondisi kritis. Dia harus menerima fakta bahwa hidup bisa begitu tega memperlakukan manusia.

Alih-alih frustrasi, Tingka bersama anak-anaknya dengan tabah dan berani memasuki babak baru kehidupan keluarganya. Dia ikut aktif merawat, memilih dan mengerjakan berbagai terapi yang tepat, terus menyemangati suami dari kondisi koma sampai akhirnya bisa bicara lagi dan pulih sekitar enam puluh persen--kemajuan yang sangat pesat dan luar biasa bagi pasien stroke parah. Buah dari ketelatenan inilah yang dimaksud dengan "miracle of the brain."

Perjuangan tersebut menjadi ungkapan jujur seorang manusia biasa tatkala menghadapi kondisi luar biasa. Emosinya tumpah amat lugas dan apa adanya. Tingka bukan tipe perempuan melankolik. Mereka juga ber-"loe-gue" dalam mengekspresikan rasa sayang. Ketika sudah cukup pulih, suaminya berkata, "Loe baik banget, Ting. Bagaimana gue balasnya?" Jawab Tingka, "Semua ini gue lakukan karena gue cinta loe. Gue enggak minta balasan apa-apa selain loe semangat terus supaya sembuh dan pulih. Gue dan anak-anak kangen banget sama loe yang dulu. Loe mau kan semangat terus?"

Begitu pula saat dia frustrasi karena serba salah menebak-nebak maksud suaminya ketika kondisinya memburuk. "Bang, loe kenapa sih? Gue enggak ngerti loe maunya apa, soalnya loe kan enggak bisa bilang. Gue cuma menebak nih. Gue minta maaf ya kalau tebakan gue salah terus sehingga loe bete."

Tingka sepenuhnya menghayati pemulihan penderita stroke sebagai fase manusia dewasa balik lagi ke tahap bayi, tanpa daya, bergantung orang lain, dan kebutuhannya harus langsung terpenuhi---sebab kalau tidak bisa berakibat fatal. Dia berkali-kali menghadapi situasi amat buruk, namun kekuatannya bisa kembali pulih untuk membuktikan betapa seorang istri bisa begitu setia, sayang, tegar, sekaligus berbakti pada keluarga. Pantas bila Budiarto Shambazy, seorang kolumnis, amat salut kepada Tingka. Katanya, "Tingka telah menjadi manusia ikhlas dengan merawat suaminya, sejak sakit sampai wafat dan membesarkan tiga anak tanpa berkeluh kesah---jauh melebihi kemampuan sebagian dari kita, manusia biasa."

Ketegaran Tingka dalam buku ini memang seolah-olah terasa begitu ilahiah. Betapa tidak, Bambang menghembuskan napas terakhirnya persis dalam pelukan istrinya.

SATU-SATUNYA "lubang" cukup serius dalam memoar ini ialah penulis tampak sengaja menghindari persoalan biaya (finansial). Bisa jadi Tingka menganggap masalah tersebut terlalu sensitif untuk diungkapkan. Atau karena dia telah masuk dalam fase "kebebasan finansial." Lepas dari itu, pembaca pasti penasaran bagaimana dia membiayai semua itu dengan lancar, seakan-akan tak berpengaruh pada kondisi keuangan keluarga? Bagaimana dia membayar seluruh biaya medis kelas satu, menyewa perawat, menebus obat-obatan, dan lain sebagainya. Apa ditanggung perusahaan, dari klaim asuransi, tabungan, dan kekayaan keluarga? Kita tahu, sakit yang parah dan lama selalu menguras emosi, energi, dan uang. Memang sekilas terungkap latar belakang mereka berasal dari keluarga berada.

Karena tak disinggung, tampaknya biaya bukanlah masalah bagi penulis. Berapapun biayanya selalu bisa ditanggung. Padahal kalau sumber biaya disebutkan, misalnya dari asuransi, itu malah akan jadi pembelajaran berharga bagi setiap pembaca, yaitu agar setiap keluarga memiliki asuransi kesehatan (jiwa). Begitu juga bila dari tabungan, biar pembaca tahu manfaat menabung untuk keperluan darurat.

Kisah Tingka ini menghenyakkan, apalagi bila kita lihat betapa memprihatinkan nilai kesetiaan sekarang ini. Kita juga bisa menyaksikan adanya cinta yang lebih baru, tulus, dan kasih sayang yang memberi energi mulia bagi kehidupan. Kasih sayang, keikhlasan, dan pengorbanan seorang istri pada suami dan keluarga, apalagi di saat duka, bisa menginspirasi banyak orang senasib. Miracle of the Brain bisa menyebarkan sikap optimisme kepada pembacanya, terutama keluarga yang sama-sama pernah mengalami musibah serupa. Bisa jadi akan lebih dramatik lagi bila ada sineas yang mampu mengangkatnya ke layar perak.[]

ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Copyright © 2009 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.gramedia.com
____________________________________
Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment