Nukilan Buku Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu Halaman 99: Soal Manifestasi Aksi Pembakaran Buku Oleh : A.Kohar Ibrahim MUSIM Semi 1972. Jiwa-raga terasa begitu ringan, bergerak-anjak bak melonjak memasuki gerbong keretapi Trans Sibera dari Peking menuju Berlin Barat via Moskow, Ibukota Uni Soviet. Begitu ringan rasanya batin-badan seperti naik mengangkasa tinggi tinggi. Terbang bebas merdeka mengarungi luasnya angkasa tanpa batas. Saya memang merasa girang, lantaran penuh harapan menjalani kehidupan yang wajar – hidup yang bermakna perjuangan untuk menjadi manusia yang manusiawi. Dengan gerak dinamikanya, dan bukannya dalam ke-tidak-berdaya- * Menyusul Guntur Aku lari lari sendiri melompat mencuat cepat cepat secepat kilat di jelujur jalur jalur sang bayu menyusul guntur yang mendahului ku di Kerajaan Waktu. Aku bertahta. Bersama sama. Senantiasa. Setia. Awal maupun hingga Akhir. Nanti. * Di Berlin, di balik Tembok Memalukan, saya observasi situasi dan kondisi alam sekitar. Dengan cara observasi dan diskusi dengan para pemuda dan mahasiswa bukan saja asal lokal melainkan juga internasional. Di Berlin, di balik Tembok Memalukan dalam lembaran sejarah peradaban ummat manusia itu, saya ungkap tangkap lebih erat akan makna Cahaya dan Nilai Kejujuran serta Kebebas Merdekaan. Masing-masing dalam bentuk-bentuk prosa dan puisi serta esai yang mengungkap-soroti kejahatan Perang – terutama sekali yang aktual-faktual masa itu: Perang Dingin. Juga kejahatan-kejahatan manusia dalam suasana peperangan yang mendahuluinya. Bagaimana sudah sejak begitu Perang Dunia Kedua usai, kaum nekolim merencana strategi dan taktik globalnya untuk menghegemoni Dunia. Demi mengangkangi sebagian besar kekayaan dan perekonomian Dunia. Untuk itu: Perang peperangan dilancarkan sebagai kelanjutan dari hasrat keinginan ideologi-politik atau politiko-ideologi di bawah kibaran panji masing-masing pihak. Korban manusia yang tewas atau luka-luka di sepanjang Tembok Berlin hanyalah simbol dari berjuta-juta korban manusia di Selatan atau di Dunia Ketiga, terutama di Vietnam dan Nusantara. Dan dalam perang ideologi, aliran dan kepercayaan serta ke-adi-kuasa- Pada suatu malam musim panas, jelasnya 10 Mei 1933, kaum fasis Nazi dengan para pemuda pelajarnya merazia perpustakaan dan toko-toko buku di seluruh Jerman. Hanya dalam waktu semalaman saja 25.000 buku dibakar. Dari sejumlah hasil karya para penulis, antara lain Bertolt Brecht, Albert Einstein, Karl Marx, Sigmund Freud, Alfred Doblin, Erich Kastner, Anne Seghers, Willi Bredel, Klaus Mann, Thomas Mann, Heinrich Mann dan yang lainnya lagi. Pembakaran buku di Opernplatz pada 10 Mei malam itu dipimpin oleh Joeph Goebels. Salah satu helai foto yang mengabadikan manifestasi aksi kebiadaban itu terpajang di United States Holocaust Museum. Foto dokumentasi yang sama itu juga – oh, surprise ! – saya temukan terpasang di ruang Art-Culture Indonesia Blogspot dewasa ini. Dengan teks komentar di bawahnya berbunyi: „Jauhi kelompok fasis yang anti demokrasi dari kehidupan kita, siapa pun mereka, serta apa pun kedoknya. Kalau dibiarkan merajalela, Indonesia akan terancam mara bahaya..." Batinku: S-7, Cak! Tapi manifestasi ke-fasis-an itu bukan belum pernah, bukan akan terjadi, tapi telah pernah terjadi – sejak awal mulanya dilancarkan Teror Putih di bawah pimpinan kaum militer fasis OrBa Jendral. Bukankah para gerombolan pemuda sudah mulai melakukan penyerbuan dan pengrusakan serta pembakaran gedung Comite Central PKI 7 Oktober 1965 di Jalan Keramat Raya? (Simak buku Taufik Ismail „Tirani dan Benteng"). Pun kemudian, manifestasi vandalisme yang biadab juga terjadi yang menyasar Pramoedya Ananta Toer pada tanggal 13 Oktober 1965 jam 23 malam. Kemudian, sejak awal Oktober 1965 itu, manifestasi aksi pengrusakan dan pembakaran serta perampokan pun terjadi di mana-mana. Tragisnya, sangat dramatis dan tragisnya, manifestasi aksi pembinasaan itu bukan hanya terhadap buku-buku dan harta benda, melainkan juga yang menjadi sasarannya adalah manusia dengan miliknya yang tak ternilaikan: jiwa dan raganya. Seperti halnya juga yang terjadi di Jerman! Dalam hal manifestasi aksi kebiadaban itu, sungguh tepatlah baris kata-kata penyair Jerman, Henrich Heine: „Where books are burned, in the end men will burn as well." Begitulah adanya! Persinggahanku selama sebulan di Sprengelstrasse, Berlin, telah menambah pemahamanku yang kian jelas akan makna memakna perang, teristimewa sekali Perang Dingin, perang ideologi dan kebudayaan, khususnya dalam hal sikap kekuasaan tiranika terhadap buku-buku dan pembakarannya. Pengalaman itu pun, ketika aku sudah berdomisili di Brussel, menjadi penambah gairah untuk lebih jauh mempelajari makna manusia dan perikemanusiaan. Dengan menyimak kembali teks lengkah Hak Hak Azasi Manusia. Dan dengan disinari cahya opini Multatuli, yang juga pernah jadi eksilan di Brussel dan melahirkan romannya yang masyhur: "Max Havelaar". Oleh karena itu pula, ketika kami memulai mengelola penerbitan yang tergolong pers alternatif, seperti penerbitan majalah-majalah seperti KREASI N° 1 dan 2, kulit mukanya masing-masing berupa kulit-muka buku-buku dan ilustrasi komposisi gambar: "Pembakar Terbakar". Yang sarat asa dan keyakinan, bahwa penguasa di * Oleh: Agam Wispi pram, pernah heinrich heine berkata: mereka yang membakar buku-buku, di sana pada akhirnya mereka membakar manusia – tak perduli di mana saja kapan saja ketika api menjilat-jilat di opernplatza, membakar buku mulai marx sampai heinrich mann dan kastner mereka sedang membakar peradapan jadi kebiadapan dan dalam krematori manusia dijadikan abu dan arang pram, kata bulgakow naskah tak bisa dihancurkan dan bagimu manusia tak bisa dimusnahkan karena itu menjulang bagai tugu-peringatan kau tegak membela manusia dan kemanusiaan dan ketika di jakarta buku-buku (mu) masuk penjara mereka memenjarakan manusia jadi umpan zamantengah bagai ombak indonesia berdeburan, jantung manusia berdeburan wahai pemuda, masih tidur kalian? di mana kalian? Amsterdam, 1 September 1988. * Dan selama di Brussel juga, aku ketemu pelukis Edouardo, eksilan asal Chilie, pengagum penyair besar Pablo Neruda. Penyair realisme romantis sekaligus diplomat dan penulis di bawah rezim Allende. Tapi begitu rezim militer fasis Jenderal Pinochet berkuasa, nasib Pablo Neruda pada hakikatnya pun tidak beda dengan Pramoedya Ananta Toer. Rumah dan perpustakaan serta harta-benda milik pribadinya jadi sasaran aksi vandalisme gerombolan fasis. Dan juga, di Brussel, aku „mengenal" Multatuli dan kaum eksilan kondang lainnya, seperti Baudelaire, Hugo, Rimbaud dan yang lainnya, istimewa sekali mencengkam opini cendekiawan Perancis Voltaire yang begitu pas bagiku: „Sungguh pun aku membenci pandangan mu, tapi akan ku bela dengan jiwa ku sendiri hak mu untuk mengutarakannya." Baris kata bernas bagai azas itu tercantum dalam makalah berjudul „Masalah Sosialisme Dewasa Ini" oleh Asnan, yang ku kenal sebagai ahli teori. In Majalah MIMBAR N° 1 Th 1990, ISSN 0925-5176, Stichting Indonesia Media, Amsterdam, yang di-editori oleh D. Tanaera alias A.Kohar Ibrahim. Atas dasar penerimaan dan penghormatan saya akan Hak-Hak Azasi Manusia yang di terbitkan oleh PBB 10 Desember 1948 dan penerimaan saya akan Panca Sila serta pengadopsian saya akan opini Voltaire – sebagai konsekwensinya saya menentang pemberangusan yang sewenang-wenang pun pembakaran buku-buku yang adalah merupakan kekayaan ummat manusia. Dalam pada itu, saya setuju adanya pembredelan penerbitan atau buku-buku, jika memang terbukti, atas dasar penelitian yang cermat dan ditemukan bukti-bukti kesalahan melalui keputusan Pengadilan resmi, bahwa hasil terbitan atau buku-buku tersebut memang bertentangan dengan HAM dan merusak peradaban manusia. Sebagai saksi sekaligus pelaku sejarah gerakan kebudayaan Indonesia dan pekerja pers, saya menolak tuduhan sekaligus cap baik terhadap Pramoedya Ananta Toer maupun Lekra, termasuk saya sendiri, telah pernah melakukan pembakaran buku-buku. Dalam pada itu, saya mengutuk kaum pendusta sekaligus pemfitnah yang sejak dulu sampai detik ini, menerapkan garis politik OrBa atau sikap-tindakan OrBais. Seiring dengan itu, menuntut dipulihkannya hak-hak azasi manusia kami. Dalam kaitan ini, khususnya kepada kaum Manikebuis yang telah dengan aktip turut menegakkan rezim diktatorial OrBa Jenderal, yang selama berpuluh-puluh tahun ataukah membiarkan ataupun malah turut melakukan penindasan dan pemberangusan atas hak-hak azasi kami, saya tuntut pertanggungan- Catata: Nukilan ini disiar ulang Facebook 13 Maret 2010. Indonesian Community http://indonesianco Buku: Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu, Penerbit: Titik Cahaya Elka, Anggreksari Blok F-6 N°12-B, Batam Center, Indonesia. E-mail: bukutitikcahayaelka |
Attachment(s) from abdul kohar ibrahim
1 of 1 Photo(s)
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment