Transkrip wawancara dengan radio Elshinta tanggal 28 Maret 2010 - Selamat Pagi, bu Soe Tjen. Selamat Pagi. - Terkait dengan kegagalan kongres Gay & Lesbian di Surabaya ini, sebenarnya bagaimana menurut bu Soe Tjen Masyarakat seharusnya menyikapi hal tersebut. Yang saya herankan dari masyarakat Indonesia adalah bila mereka bilang kalau LGBT (Lesbian gay biseksual transseksual) ini bukan bagian budaya Indonesia. Orientasi seksual ini harus ditolak karena merupakan kebudayaan asing. Ini hal yang salah kaprah bagi saya. Misalnya, di Ponorogo. Di situ ada warok, yang mempunyai gemblak yaitu lelaki muda yang biasanya cakap parasnya. Dan ini amat diterima di Ponorogo. Bahkan warok itu amat dihormati. Dan di Sulawesi, ada Bissu. Dia adalah lelaki yang mirip perempuan dan berpakaian perempuan. Dan dia adalah pendeta di sana. Mereka juga mengenal Calalai dan Calabai, yaitu gender-gender yang lain. Tidak hanya lelaki dan perempuan saja. Bahkan pada abad 17, 18 bahkan sampai awal abad ke-19, ada catatan-catatan dari misionaris Eropa tentang keberagaman orientasi seksual di Nusantara ini. Dan justru mereka ini yang mengecam bahwa orang-orang di Nusantara ini tidak bermoral. Padahal di Asia Tenggara sendiri orientasi seksual seperti itu diterima pada jaman dulu. Sekarang malah kebalikannya. Banyak orang Indonesia yang bilang kalau LGBT itu dari Barat dan tidak bermoral. Gimana ini sekarang? Jadi yang namanya moral itu sangat rancu. - Bu Soe Tjen, tapi apakah karena kebudayaan itu sudah mengakar dan sudah menjadi sebuah kultur dari masyarakat. Jadi, kalau ada LGBT yang come out atau menampilkan diri, justru ini yang dirasa mengganggu bagi mereka. Apa benar begitu, ibu Soe Tjen? Sebenarnya banyak budaya yang bukan merupakan akar dari masyarakat itu. Tidak ada budaya yang asli sama sekali – biasanya budaya sekarang sudah merupakan campuran di sana-sini dan dipengaruhi oleh berbagai budaya lain. Bahkan suatu budaya seringkali adalah comotan dari budaya lain dan Negara lain. Jadi, kalau ada yang bilang hal ini budaya asli Indonesia, aduh, ini pernyataan yang tidak masuk akal sama sekali dan bahkan bodoh sekali. Ini adalah pernyataan orang yang jarang membaca. Akhirnya inilah yang menyudutkan para LGBT ketika mereka come out, mereka akhirnya ditolak karena anggapan tidak sesuai dengan akar budaya Indonesia. Bahkan beberapa orang juga sempat bertanya apa saya ini lesbian. Saya biasanya tidak menolak dianggap lesbian. Karena menurut saya, orientasi seksual itu tidak sepatutnya dipermasalahkan. Itu hak pribadi seseorang. Kalau ada orang yang bilang saya lesbian, ya terserah. Tapi saya sekarang mau menyatakan bahwa saya adalah heteroseks yang pro-LGBT. Mengapa? Karena saat ini, saya merasa malu menjadi heteroseks, kalau heteroseks hanyalah dibuat sebagai tanda kenormalan dan bisa mengintimidasi LGBT. Karena itu sekali lagi saya menyatakan bahwa saya malu menjadi heteroseks, kalau mereka merasa mempunyai hak melecehkan para LGBT. Saya benar-benar malu. - Ibu Soe Tjen, golongan LGBT ini juga sering menerima hambatan dari golongan agama. Menurut ibu Soe Tjen ini bagaimana? Sekarang mari kita bicara tentang agama Islam dulu. Di Alquran, tidak ada pengutukan terhadap lesbian. Sama sekali tidak. Baca deh, kalau nggak percaya. Yang dipakai sebagai referensi pengutukan gay lelaki selalu Sodom dan Gomorah, dan Nabi Lut. Tapi Alquran itu ayatnya banyak sekali. Jadi tidak saja Sodom dan Gomorah saja yang seharusnya menjadi referensi. Tapi kisah Sodom dan Gomorah itu sebenarnya dipengaruhi oleh budaya saat itu dan juga interpretasi manusia yang menuliskannya juga. Dan ada beberapa hal yang aneh pada kisah itu: Pertama, kalau memang gay lelaki yang dikutuk, kenapa istri-istri mereka juga dikutuk oleh Allah? Ini mengherankan sekali. Dan dalam Islam itu ada ijtihad. Yaitu, kita berpikir sesuai dengan hati nurani dan konteks. Jadi, konteks Sodom dan Gomorah ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi. - Baik, tapi ini bukan cuma dari satu agama saja, ya bu Soe Tjen. Bukan hanya agama Islam tapi beberapa golongan lain juga menolak keberadaan LGBT ini dengan mengatasnamakan agama mereka. Memang, dari golongan Kristen juga banyak sekali. Sama juga, referensinya itu juga Sodom dan Gomorah itu. Jawaban saya sebenarnya hampir sama dengan di Alquran itu dan yang . . . (diputus) - Baik, bu Soe Tjen. Apakah menurut bu Soe Tjen kebudayaan LGBT ini diimpor dari luar Negeri atau dasarnya itu sudah ada di Indonesia aslinya? Seperti yang sudah saya katakan: Masalah kebudayaan itu amat rancu. Jadi kebudayaan itu tidak ada yang asli, tidak ada yang bisa disebut hal ini kebudayaan Indonesia saja. Kebudayaan itu tidak pernah dari satu sisi. Tapi, LGBT itu ada, dan sempat diterima dalam kebudayaan kita, bahkan sempat dikecam oleh pihak luar. - Bu Soe Tjen, sekarang saatnya kita terima komentar dan pertanyaan dari pendengar. Pertanyaan dan komentar: 1. Begini, mbak, saya melihat di Indonesia ini sudah keblinger. Anda mengatasnamakan budaya, dan dengan ini mereka bisa menentang agama. Justru lelaki perempuan ini sudah ditakdirkan oleh Allah untuk para mahluknya. Kita melihat binatang saja tidak ada yang begitu kok. Apalagi manusia yang sudah mempunyai aturan-aturan agama. Ketika anda berbicara agama dan budaya, semua disalahkan untuk membenarkan suatu hal. 2. Menurut saya, ini harus dipahami dulu oleh ibu. Keberadaan lesbian dan gay ini apakah hasil kebudayaan, kebiasaan, atau apa saja, ini harus kita tolak. Ini merupakan penyakit. Seperti yang telah dinyatakan oleh Profesor Naya Sujana di radio ini. Penyakit ini real, penyakit ini ada di masyarakat. Jadi, hal ini penyakit. Masyarakat harus menyembuhkannya. Jadi ibu jangan hanya hantam kromo begitu. Ini masalah real. Ini memang betul-betul penyakit. 3. Saya menolak homo dan lesbian. Coba buka Alquran dan Hadis. Itu ada di ALquran dan Hadis. INi penyakit social. Ini adalah penyakit yang berbahaya. Oleh Rasul Allah kita dianjurkan untuk menikah. Ini sudah diatur oleh agama dan moral itu sangat penting. Sampai kapan pun saya tolak ini. 4. Allah sudah menciptakan manusia berpasang-pasangan, jadi jangan merakayasa Alquran dan membuatnya mengikuti aturan manusia. Karena hanya manusia aneh yang berbuat demikian. Jawaban saya: OK, sekarang tentang Alquran dan Islam dulu. Tapi dalam Islam itu ada yang namanya Khuntsa. Ini munculnya pada abad-8, saat ada reformasi pengetahuan dalam dunia Islam. Dan ini tertulis dalam Fikh. Khuntsa itu artinya lelaki yang keperempuanan. Jadi ada gender-gender yang lain, ada yang berkelamin ganda juga. Jadi, Quran itu tidak bisa dibaca satu ayat saja, lalu dicuplik dan dilepaskan dari keseluruhan Alquran. Ini yang menyebabkan kekerasan dan kebencian. Padahal saya yakin, Islam itu agama yang penuh cinta kasih. Sekarang tentang kebudayaan, kalau ada pemirsa yang bilang budaya kita tidak bisa diterima. Aduh, saya sudah berkali-kali berkata bahwa kebudayaan itu tidak ada yang asli. Budaya selalu berubah. Seperti yang saya sebut, dulu orientasi seksual yang berbeda itu cukup diterima di Nusantara dan bahkan sempat dikecam oleh orang-orang Eropa. - Baik, ibu Soe Tjen. Jadi, kesimpulannya LGBT belum diterima secara bebas di Indonesia ya. Kalau sembunyi-sembunyi mungkin tidak apa-apa ya. Tapi kalau come out, di Indonesia ini mungkin masih belum bisa. Baik, ibu Soe Tjen Makasih atas waktunya yang diberikan untuk radio Elshinta. |
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment