[HALAMAN GANJIL]
Doa dan Masalah dengan Tuhan
---Anwar Holid
Ilalang (10 tahun) baru saja melihat aku selesai berdoa di atas sajadah. Mungkin dia memperhatikan aku sejak shalat beberapa menit lalu. Sambil melipat sajadah, kami bertatapan.
"Yah, apa aja yang ayah doakan kalau habis shalat?"
"Banyak Lang. Ayah bersyukur, mohon ampun, berusaha biar lebih tabah, tambah sabar, dan kuat, juga berdoa biar tambah rezeki, diberi kecukupan, dan lain-lain."
"Apa ayah mau tambah kaya?"
"Ya iya dong!"
"Tapi bukannya banyak orang yang setelah kaya jadi lupa diri?"
Ha ha ha... aku ngakak, terus bilang, "Wah, banyak juga kok orang kaya yang bersyukur. Banyak teman ayah yang kaya, dan menurut ayah mereka baik. Suka menyumbang atau memberi sebagian rezekinya ke orang lain, bahkan ngasih ke kita juga."
Percakapan itu entah kenapa secara acak segera membuatku memikirkan betapa kisah tentang para nabi memperlihatkan karakter manusia yang amat beragam, baik secara fisikal maupun psikologi. Aku sudah beberapa lama mencari-cari tahu dari bacaan mengenai hal itu. Sebagian nabi ada yang sangat miskin, misalnya Isa dan Ayub (kala dia jatuh miskin), namun ada juga yang jumlah kekayaannya terlalu sulit kita bayangkan wujudnya, seperti dalam kehidupan Sulaiman dan Daud. Aku pernah baca kisah Isa yang tidur berbantalkan batu. Ini mencengangkan bila dibandingkan bahwa aku yang kerap merasa nelangsa ini sudah punya rumah, kasur, dan bantal empuk. Sebagian nabi hidup membujang, misalnya Isa dan Yahya, banyak istri (Muhammad, Sulaiman), merantau ke negeri jauh dan mengalami fase hidup yang drastik (Yusuf, Ibrahim, dan Musa), dan berbagai karakter lain. Bahkan kalau aku baca dari literatur Katolik maupun Kristen (Nasrani) ada nabi yang peragu, pemarah, pernah
berselingkuh. Ini hebat. Mereka semua punya sifat yang sangat manusiawi.
Aku ingin suatu saat bisa merefleksikan kondisi fisik dan mental orang-orang hebat itu ke dalam kepribadian manusia kontemporer. Kualitas mereka kan macam-macam. Aku sendiri belum tahu muaranya akan ke mana pikiran seperti itu. Cuma aku agak yakin ada sesuatu yang istimewa dari sana, entah karena mereka punya kualitas nabi---yaitu mulia & bersifat ilahiah---atau karena itu akan memperlihatkan sejumlah sifat manusia yang fluktuatif, yakni membuktikan ada sifat profan (bersifat duniawi) yang berpadu dengan bagaimana mereka berusaha tabah, tobat, bangkit lagi, termasuk beriman (sangat yakin) pada sesuatu yang dinilai orang lain tampak absurd.
Aku bukan orang yang punya koneksi langsung dengan Tuhan. Maksudku, aku belum pernah menatap cahayanya, bercakap-cakap dengan dia, langsung menerima wahyu dari dia, atau bahkan menerima sms dari dia. Aku enggak punya nomor hp dia bila terdesak butuh sesuatu. Aku juga sadar bahwa Tuhan juga kayaknya enggak akan mengubah isi rekening bankku jadi trilyunan rupiah, kecuali ada seorang koruptor atau makelar kasus salah melakukan cuci uang. Aku hanya mengandalkan keyakinan halus dan purba pada Tuhan yang ada di dalam hatiku. Aku bukan Fahri bin Abdullah Shiddiq. Aku bahkan kadang-kadang dengan ketus dicap tidak beriman oleh orang tertentu. Tapi semua itu tidak membuat aku jadi punya masalah dengan Tuhan. Aku hanya punya masalah tertentu dengan sesama manusia dan kehidupan di dunia ini. Karena itulah aku masih berdoa. Aku pada dasarnya juga enggak punya masalah dengan keyakinan menjalani hidup, tapi aku punya masalah dengan uang dan biaya. Karena itulah aku
masih berdoa. Terus, apa aku berdoa minta uang? Tidak. Aku hanya minta rasa cukup, kewarasan, dan ketabahan menjalani kehidupan. Aku ingin berani menghadapi orang yang intoleran, karena tahu mereka suka melakukan kekerasan secara sembarangan dan mencederai orang lain. Benih-benih sejenis itulah yang aku minta.
Dalam renungan mengenai Tuhan dan kebahagiaan di buku You Are Not Alone (Elex Media, 2010, 252 hal.), Arvan Pradiansyah menulis tiga hal tentang salah berdoa, yaitu doa yang bakal ditolak Tuhan. Pertama, bila kita berdoa justru untuk meminta buah, bukan benih. Buah adalah akibat, sementara benih adalah sebab. Kedua, bila orang berdoa tanpa punya tujuan lain selain untuk kepentingan diri sendiri. Sebuah doa tanpa rencana akan gagal meyakinkan Tuhan untuk apa manfaat dari permintaan itu. Ketiga, doa tidak terkabul karena kita sering salah meminta. Misal ketika menghadapi sesuatu yang ingin kita ubah, kita malah berdoa meminta "ketenangan", bukannya "keberanian."
Kalau tahu persis dan benar-benar yakin, sebenarnya apa yang dilarang diminta pada Tuhan? Kalau Tuhan berkehendak, kita mau apa? Kalau dia mau kocok-kocok dunia untuk bikin gempa bumi atau kiamat, bukankah alam semesta ini miliknya? Bukankah dia Mahakuasa? Jangankan jodoh, ingin tambah kaya, minta keselamatan dunia-akhirat, atau rekening jadi lokasi tempat cuci uang, minta kerajaan saja akan Tuhan kasih. Sulaiman, seorang manusia di zaman dulu yang darah dan dagingnya sama-sama punya nafsu, hasrat, dan kuasa seperti kita sekarang ini, pernah berdoa: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahilah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seseorang pun sesudahku." Apa tidak sangat fisikal permintaan itu? Mau tahu, setelah menimbang kualitas pribadi dan permintaan Sulaiman, Tuhan mengabulkan permintaan itu. Hebat!
Manusia mudah sekali keberatan dengan kehidupan orang lain, padahal Tuhan tampaknya baik-baik saja. Dia membiarkan itu terjadi. Manusia suka sekali rewel terhadap keputusan hidup yang diyakini orang lain, dan selalu berhasrat untuk menggantikan sesuai keinginannya, seolah-olah pilihan itu salah. Tuhan membiarkan semua berkembang sesuai tabiat, tapi manusia suka mengatur-atur seakan punya sifat absolut. Tuhanlah yang absolut, tapi manusia suka sekali membeda-bedakan. Karena itu, kenapa kita tidak mendukung saja sesuatu yang jelas-jelas baik bagi orang lain?[]
Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment