Saturday, October 2, 2010

[ac-i] apa yang salah dengan silogisme? perbincangan tentang puisi cepi sabre

 

Konsep 1

 Apa yang salah dengan silogisme? 

 premisnya datang dari proposisi yang berangkat dari kenyataan: pengetahuan kita bahwa semua orang meninggal. Premis yang tak terbantahkan, karena hingga hari ini kita belum berpengalaman akan orang hidup tapi tak mati-mati. Sangat mungkin ada orang seperti ini, orang yang tidak kita kenal, mungkin adanya di puncak gunung yang tak pernah didatangi. Dia hidup dan hidupnya dimulai sejak zaman awal. Dia adalah anak adam tapi hingga saat ini belum mati-mati juga. Suatu ekspedisi harus dikerahkan untuk melakukan verifikasi atas imajinasi akan kemungkinan ada orang yang tak mati-mati ini. tapi informasi dari dunia kaum sufi, yang datang dari dunia agama, setidaknya membisikkan kepada kita, sayup-sayup, bahwa ada orang yang kita bayangkan itu, orang yang tak mati-mati. Setidaknya belum mati, konon karena mengemban, atau berfungsi, menjadi jangkar tuhan kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh hendak mencarinya. Karena niatan seperti ini, tuhan sang maha tahu dan maha kuasa, melepaskan orang-nya yakni nabi khidir, untuk kiranya kamu jangan mati dulu, kamu akan mati, tapi kelak, bila waktunya tiba. Sekarang kamu mengembara di atas duniaku, kulepas sebagai lidahku, pengganti nabi-nabi yang telah mati.

Tapi baiklah kita menahan diri dari kegemaran berpikir spekulatif, toh yang hendak kita ayun adalah logika aristoteles melalui deduktifnya, yang konon bisa menjadi cara menarik suatu kesimpulan yang sah, karena jalan pikirannya benar, maka sah itu bisalah kita katakan sebagai kesimpulan yang benar pula. Mungkin bukan kesimpulan yang pasti benar. Tapi memiliki kecenderungan benar yang besar karena tangga-tangga berpikirnya masuk di akal – logika itu, suatu nama untuk jalan pikiran yang masuk di akal. Maka kita sebutkan ia dalam kelipatannya: logika logis. Logika deduktif adalah salah satu bentuk logika logis itu.

Premis mayor : semua manusia mati.

Premis minor : aristoteles manusia.

Kesimpulan : maka Socrates mati.

Kini saya mulai membuat contoh baru, memperbarui contoh yang sudah diolah orang sejak totels. Demi penyegaran. Demi agar hidup tidak jadi hambar. Saya mulai dengan dua proposisi, dua pernyataan yang menjadi premis saya untuk menarik kesimpulan.

Anggapan utama : semua manusia tinggal di dunia.

Anggapan turunan: penyair cepi sabre adalah manusia.

hasilnya : maka penyair cepi sabre tinggal di dunia.

Di manakah letak persisnya domisi kawan kita itu? untuk menjawabnya kita akan membalik logika deduksi. Kita mencoba suatu ketidaklaziman. "Semua manusia", itu adalah suatu kelaziman dalam memainkan logika silogisme - semua manusia, yang datang dari pengetahuan kita akan kenyataan hidup: banyak orang, ada orang sengsara dan ada orang bahagia, ada orang timur dan ada orang barat, kita satukan saja dengan representasi: semua. Maka semua manusia, menjadi premis pertama seperti yang dilakukan aristoteles, yang telah saya tawar dengan bukan "mati", tapi "hidup". lihatlah kita telah menebarkan optimisme dengan jalan lawannya: bukan soal mati lagi yang kita bicarakan tapi soal hidup, karena  kita memang sedang hidup belum sedang mati. Maka gerakan pindah dari mati ke hidup yang menjadi alternatif bagi contoh silogisme, saya kira mendapatkan konteks kekinian bagi bumi yang konon sedang sekarat karena semua manusia sudah tidak perduli lagi padanya. Karena itu bumi yang diacuhkan itu kini seolah membalik dengan teguran, demi dan untuk, terus berkasih sayang, tak hendak kehilangan warganya, tak melepasnya sebagai mati. Untuk itu ia jadikan dirinya sebagai hamparan kehidupan, seperti yang terbaca dalam silogisme kita. bumi itu mengundang kita untuk menjadikan dirinya sebagai bentangangan silogisme. Melompati yang umum ke yang khusus, yakni dirinya. sehingga kata semua – semua orang, kini bergerak ke arah hanya satu – satu bumi. atas dasar satu, bukan banyak (umum), kita mencoba menggerakkan silogisme deduktif – bukan dalam pola berpikir induktif, dari satu-satuan ke umum-umuman. Sebenarnya tidak juga, kalau kita menarik ke pengertian baru, yakni dari semua – semua manusia, menjadi semua – semua tempat. Sehingga semua manusia kini bergerak menjadi semua tempat, yakni nama nama tempat di bumi.

Premis mayor :  semua tempat di bumi adalah tempat berdiam.

Premis minor : penyair cepi sabre berdiam di malang.

Kesimpulan : maka malang adalah bumi tempat berdiam.

Bumi memang tempat berdiam manusia. tapi silogisme itu belumlah mengatakan segalanya. Ia terbuka untuk kemungkinan lain. yang realistik atau yang imajinatif. Saat aristoteles bermain silogisme, orang belum mengenal pesawat udara kecuali dalam imajinasinya – dewi dewa yunani yang bisa terbang serta tak berdiam di bumi. kelak imajinasi dari logika mitis semacam itu, menjadi kenyataan setelah "dewa Apollo" benar benar terbang melawan gravitasi bumi, menjauh dan makin menjauh, melesat melebihi kecepatan anak panah manapun. Terbang ke bulan. Orang pergi ke bulan, atau ke planet yang permukaannya nyaris adalah biji biji besi. 2010. Tahun 3000, mungkinkah kita memerlukan konsep baru untuk pindah, bukan transmigrasi atau migrasi lagi, karena gerakan pindah kita kini adalah gerakan mematahkan "silogisme bumi" yang baru kita peragakan. Karena kita telah menetap seolah di bumi, di bulan. Tapi bagaimana kalau saya hendak memakaikan silogisme dalam membuktikan keberadaan tuhan? setidaknya jalur pikiran saya sah walau mungkin kesimpulannya tak benar – atau sekurang kurangnya masihlah akan ditolak orang. Karena yang hendak kita verifikasi setelah kesimpulan yang memakaikan deduksi, atau dalam logika modern memakaikan symbol, bukanlah barang ada seolah kita manusia yang ada. tapi hal yang tiada bernama tuhan. sebuah humor diayunkan orang akan soal ini. tuhan mencipa dunia, tapi kita tak melihatnya. Tapi memang tuhan mencipta dunia kok. ya, tapi tolong buktikan ya.  

Kita mencobakan silogisme yang lain.

Anggapan utama : semua pikiran bisa berpikir.

Anggapan turunan : hudan berpikir.

Hasilnya : maka hudan adalah pikiran.

Kini marilah kita buat persamaan premis ini, masih soal manusia. tepatnya: bagian yang lain dari manusia.

Anggapan utama: semua tubuh tak bisa berpikir.

Anggapan turunan : hudan adalah tubuh.

Hasilnya : maka tubuh ronall j warsa tak bisa berpikir.

Tubuh yang tak bisa berpikir, adalah tubuh yang tak memiliki kelengkapan untuk mengolah demi menumbuhkan dan menghidupkan. Tubuh seperti ini kita buatkan persamaannya sebagai tiga benda yang memiliki syarat untuk sebuah kelengkapan, yakni kopi – air kopi. Tapi karena tak ada pikiran di ketiganya, sehingga ketiganya tak bisa saling berkehendak untuk mendekatkan diri, kopi menyendokkan dirinya sendiri ke dalam gelas, gula menyendokkan dirinya sendiri ke dalam gelas. Lalu air panas yang kita jerang melompat membasahi isi gelas yang sudah ada kopi dan gula. Hingga tersuguhlah air kopi atau kopi itu.

do you want coffe? Yes. This is coffe. Thank you very much. Your welcome.

Your welcome tinggal ucapan dalam hati, karena masing masing elemen itu tak bisa berpikir, bagaimana caranya saling mendekatkan diri untuk menciptakan kopi. Tapi seperti yang dikatakan oleh silogisme tadi: pikiran bisa berpikir, dan andai pikiran itu mengerahkan pikirannya untuk membuat kopi, maka tentulah kopi akan terhidang sepanjang komponen komponen kopi tersedia.

Pikiran membutuhkan medium sehingga dirinya bisa menampakkan wujudnya, membentuk dan menumbuhkan kehidupan. Tuhan membutuhkan medium agar dirinya bisa memperagakan pikirannya. seperti dalam humor ironik tadi: tolong buktikan dia ada. maka beban silogisme kita kali ini adalah menghadirkan terlebih dahulu premis yang mengatakan bahwa yang tiada itu bisa membuat yang ada. atau sekurangnya yang tiada itu memang berdiam di dalam yang ada. premis tadi telah mengatakan bahwa tubuh "berdiam" dalam pikiran yang tiada. Atau dalam bahasa: makna berdiam dalam aksaranya. Dan seperti dalam bahasa pula: yang tiada bisa membuat yang ada. a sama dengan b, b sama dengan c, maka a sama dengan c. itulah dia yang tiada: c, dibuat dari yang ada, a dan b. c sama dengan dunia. A sama dengan tuhan. lalu bagimana dengan b-nya? B adalah turunan dari a. tanpa a tiada b. sebaliknya: ada b pastilah pula ada a. a membentuk c. tuhan membentuk dunia. Sah dan logis dalam logika. Tapi kembali: bagaimana memverifikasi dia yang bersifat tiada itu?

Ada yang salah dengan silogisme?

Pembuktian ini kita sedang terus cari. Kita tidak akan pernah berhenti sebelum menemukan cara memverifikasi akan ada-nya tuhan yang berwatak tiada itu.

Malangkah bumi kita ini didiami oleh manusia yang sejatinya adalah warganya: kita yang tamu, tadinya tak ada, atau adanya kita dalam keadaan tiada. Tapi lalu mendadak ada, ada di bumi. dan bumi menerima kita dengan bentangan tangannya: sini sayangku, tidurlah di pangkuan hutan dan gunungku. tapi kita membalasanya dengan air tuba: hutan dan gunung itu kita cambuk, kita tebas lehernya, sehingga ilmu ekologi berkata kepada kita sambil berbisik: lihatlah bumi itu, kini ia marah kepada, dengan mendatangkan banjir dari air hujan yang bersorak kegirangan: aku datang, lihat aku datang. Nantikan dan jangan halangi ya kedatanganku ini. dan meletuslah air air itu menari narikan kedatangannya dengan riang. Dalam bentuk banjir bandang. Aku datang. Aku datang. Duhai aku datang! katanya.

Seseorang merutuk di sana: datanglah lebih besar lagi, duhai alam, hancurkan kami yang tak tahu diri ini. seseorang menahan rutukan di sini: jangan, kalau kami tersalah, jangan siksa kami. Beri maaf kami. Ampuni kami. Dan mari kita bermain tali, menariknya dengan gembira.

Saya akan mencobakan silogisme ini, sebagai metode kritik sastra, dengan melihat sebuah puisi cepi sabre dalam bayang-bayang logika logis demi untuk suatu kesimpulan yang hendak kita katakana: tuhan. (nantikan di episode teori turunan hudanian berikutnya. Teori turunan hudanian. Tiada ke ada. ada ke tiada kembali. Dengan memakaikan metode kelengkapan dan persamaan)

 

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment