Rendra Si Burung Merak Oleh: A.Kohar Ibrahim Rendra Si Burung Merak Oleh : A.Kohar Ibrahim Cavita Jamie, penyair wanita berbakat asal Alzajirah Al Mulk alias Maluku, persisnya asal Haita Namalatu atau Pantai Tempatraja lah yang pertama memnyampaikan berita duka: Penyair W.S. Rendra telah meninggal dunia. Kabar susul menyusul berdatangan, seperti berkas mega biru kelabu seperti angin semilir, seperti air mengalir dari hulu ke hilir. Seperti kabar yang dilansir Kompas berdasarkan keterangan Clara Shinta puteri sang penyair besar Nusantara itu. Bahwa ayahandanya yang kelahiran Solo 7 November 1935 telah wafat di kediamannya di Komples Perumahan Pesona Kayangan, Depok. Kamis sekitar jam setengah sembilan WIB. Karena menderita sakit. Innalillahi wainaillaihi roji'un. Dari lubuk hati yang dalam, kami turut berduka cita. Semoga arwahnya diterima di sisi-Nya sesuai dengan amal ibadahnya. Secara pribadi, dalam kehidupan dunia seni dan sastra, saya pernah menyusun naskah berkenaan dengan aktivitas-kreativit Sekalian sebagai pertanda Homage, maka saya siar ulang seperti di bawah ini. Kepada para pembaca yang berkenan, saya persilakan. (AKI) Facebook: 6.8.2009 * Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati maka air akan mengikis batu. (WS Rendra) BRUSSEL Juli 2008. Memperbincangkan Rendra, menyegarkan ingatan akan pertemuan langsung pada Malam Puisi Menentang Represi yang berlangsung di Amsterdam tahun 90-an. Lantas pada berkas naskah tulisan saya berupa Catatan Dari Brussel : Dari Tanah Pijakan Kaum Eksil yang salah sebuah judulnya Fenomena Si Burung Merak (CdB 32). Yang disiar Harian Batam Pos dalam bulan September 2003, selanjutnya di beberapa media elektronik seperti Mandiri dan Cybersastra. Rendra tak syak lagi memang sebagai salah satu sosok kaum seniman yang tahu dan peduli akan politik, tulis saya antara lain. Dalam mana ada saat-saat tertentu yang merupakan poin-poin kardinal dalam lembaran sejarah kesusastraan Penilaian saya terhadap Rendra terbuktikan bukan hanya dalam omongan, melainkan terdokumentasikan dalam salah satu hasil terbitan kami. Yakni dalam Kreasi nomor 7, yang selain edito, saya turunkan pula catatan budaya saya mengenai sang penyair sekalian sastrawan Multatuli. Bahkan, gambar kedua wajah sastrawan engage tersebut saya komposikan sebagai kulitmuka untuk nomor khusus majalah tersebut. Penerbitan Kreasi tersebut memang untuk membuktikan penghargaan terhadap kedua penulis sekaligus humanis yang berjasa besar, sebagai saya tulis dalam edito dengan menggunakan nama pena : D. Tanaera. Sekaligus dengan memberi makna sejarahnya. Maka dari itulah, dalam Kreasi tersebut saya turunkan pula dua sajak yang menggemparkan dunia sastra dan politik Indonesia, yang masing-masing berjudul Demi Orang-orang Rangkasbitung dan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam. Meskipun tanpa meminta izin terlebih dahulu pada penciptanya. Lantaran situasinya tak memungkinkan dan lagi pula atas keyakinan, bahwa Rendra tentunya takkan keberatan. Memang demikianlah adanya. Ketika dalam suatu Malam Puisi Menentang Represi yang diadakan di Kemudian saya tahu, bahwa Rendra memang telah memperhitungkan segalanya, bahwa hasil karyanya tersebut dilarang penguasa di Masih jelas dalam kenangan saya, betapa hangatnya sambutan hadirin terhadap Si Burung Merak dalam Malam Puisi Menentang Represi yang juga diikuti oleh sejumlah penyair lainnya, termasuk penyair kondang Sitor Situmorang. Sedangkan pelukis senior Basuki Resobowo berkenan menyelenggarakan pameran seharmal (sehari semalam) untuk memeriahkan evenement yang cukup bermakna dalam sejarah perjuangan melawan penindasan rezim Orde Baru – sekalipun di kawasan mancanegara itu. * BERKAT aktivitas dan kreativitas seninya – tulis DT alias saya sendiri pada halaman 16 Majalah Kreasi N° 7 -- Rendra menerima julukan si Burung Merak dan si Aku Yang Menderita alias Multatuli dalam reinkarnasi. Bukti-bukti kongkritnya adalah 2 sajaknya yang terbaru dan yang paling cepat terkenal, baik di dalam maupun di luarnegeri. Yang disebabkan oleh adanya larangan untuk membacakannya, selain memang bermutu tinggi. Kedua sajak itu masing-masing berjudul Demi Orang-orang Rangkasbitung dan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Roterdam. Di kalangan sastrawan Indonesia, jika Premoedya Ananta Toer adalah prosais yang paling berbobot dan paling mendapat sorotan, untuk puisi adalah Rendra. Masing-masing memiliki kehidupan, cara dan cirinya sendiri. Namun keduanya sebagai seniman dan humanis yang tak terbantahkan. Rendra dikenal bukan hanya sebagai penyair, melainkan juga sebagai pengarang, deklamator, aktor, dramawan dan sutradara. Ia dilahirkan pada tanggal 7 Nopember 1935 di Solo, Jawa Tengah, diberi nama lengkap : Willibrordus Surendra Broto Rendra, biasa disingkat W.S. Rendra. Semula, sejak kelahirannya beragam Katolik, kemudian menjadi pemeluk agama Islam. Lelaki penggemar silat ini juga dikenal sebagai pengagum wanita dan dikagumi wanita. Rendra adalah seorang bapak dari belasan anak, dari perkawinannya yang mula-mula dengan Sunarti, lalu dengan Sitoremi dan yang terakhir dengan Ken Zuraida. Isteri pertama dan kedua telah diceraikannya. Mengenai pendidikan, Rendra pernah mengikuti kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada hingga sarjana muda, dan tahun 1964-1967 memperdalam pengetahuannya di American Academy or Dramatic Arts, A.S. Pada permulaannya Rendra sering menulis esei dan cerpen yang dimuat di berbagai majalah : Mimbar Karya-karya Rendra yang penting lainnya adalah « Empat Kumpulan Sajak » (1961-1978), « Ia Sudah Bertualang » (1963), « Blues Untuk Bonnie » (1971), « Sajak Sajak Sepatu Tua » (1972), « Pamphleten van een Dichter » (Holland, 1979), « State of Emergency » (Australia , 1980), « Potret Pembangunan Dalam Puisi » (1980), « Mempertimbangkan Tradisi » (1983), « Mencari Bapa » (1985), « Nyanyian Orang Urakan » (1985). Sajak-sajak Rendra banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia dan lain-lain. Rendra juga menerjemahkan drama ke dalam bahasa Indonesia, a.l. karya Sofokles yang merupakan sebuah trilogi : « Oidipus Sang Raja » (1976), « Oidipus di Kolonus » (1976), « Antigon » (1976). Sedangkan naskah-naskah drama yang ditulisnya sendiri adalah : « Mastodon dan Burung Kondor », « Kisah Perjuangan Suku Naga » dan « Sekda ». « Sekda » di TIM Jakarta dan « Mastodon » di Yogyakarta dilarang untuk dipentaskan. Memang ternyata peristiwa pelarangan atas kreasinya di bulan Nopember 1990 yang lalu itu bukanlah hal yang pertama kali. Karena aktivitas dan kreativitasnya, Rendra sering berurusan dengan penguasa, bahkan pernah meringkuk dalam penjara antara Mei 1978 sampai Oktober 1979. Semua itu adalah pertanda tak terelakkan dari sebab-akibat sikap dan tindakannya sebagai seniman yang mendambakan kebenaran, keadilan dan kebebasan. Bukan semata-mata bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi manusia yang menderita. « Aku tidak melihat alasan / kenapa harus diam tertekan dan termangu… » katanya. Dan dalam kaitan kejadian larangan atas 2 sajaknya yang mashur itu, kepada Editor antara lain Rendra menyatakan sikap dan pandangan yang begitu tegas, mendalam dan luas : « Kita ini bangsa yang sudah maju. Terus di dalam alam kerajaan. Bagi saya, kewajaran dan keseimbangan hidup penting. Pembangunan yang dilakukan tanpa demokrasi dan kepastian undang-undang, selalu akan melahirkan ketidak-adilan bagi rakyat… Saya itu berpikir, apa gunanya membuat sajak tentang anggur dan rembulan, sementara kemiskinan dan ketidak-adilan terjadi di sekitarnya. Bulan purnama itu cuma ada sebulan sekali, lho. Kemiskinan terjadi setiap hari. Lha, kok malah perhatiannya kepada yang sebulan sekali. Ini Rendra konsisten akan sikapnya selaku manusia sekaligus seniman. Tahu diri. Tahu batas. Tahu arti kreasi sastra dan seni yang sewajarnya. Seperti halnya sajak itu. Bahwa, « sajak itu bukan organisasi. Sajak itu hanya mengubah kesadaran. Hanya membantu menyumbang ke arah yang menyadarkan masyarakat ». Yang terpenting bagi seniman, bagi penyair, dalam sejarah adalah menyedari kewajiban serta menunaikannya : hadir dan mengalir. Suatu tugas kewajiban yang tidak sederhana, melainkan rumit, berlika-liku, berat dan penuh resiko. Kerna harus berhadapan dengan berbagai macam kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat, terutama kecemburuan dan arogansi kekuasaan. Sepuluh tahun yang lalu, tanggal 1 Desember 1979, di Universitas Indonesia Rendra mengutarakan : Sajak Orang Kepanasan Karena kami makan akar dan terigu menumpuk digudangmu… Karena kami hidup berhimpitan dan ruanganmu berlebihan… maka kita bukan sekutu. Karena kami kucel dan kamu gemerlapan… Karena kami sumpeg dan kamu mengunci pintu… maka kami mencurigaimu. Karena kami dibungkam dan kamu nrocos bicara… Karena kami diancam dan kamu memaksakan kekuasaan… maka kami bilang TIDAK kepadamu. Karena kami tidak boleh memilih dan kamu bebas berencana… Karena kami cuma bersandal dan kamu bebas memakai senapan… Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara… maka TIDAK dan TIDAK kepadamu. Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati maka air akan mengikis batu. (« Nyanyian Orang Urakan » hlm 11-12) Kenyataan aktivitas dan kreativitasnya selama ini menunjukkan dengan tegar dan segar betapa Rendra konsisten akan sikapnya selaku manusia sekaligus seniman. Bagi hidup dan kehidupan, bagi manusia dan kemanusiaan serta bagi kebudayaan yang maju. Semua itu telah membuktikan kebesarannya. Sekalipun sebagai Burung Merak. Yang menderita. (Kreasi N° 7 1991 hlm 16-21). *** (STM 24) |
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment