SATU ALINEA TENTANG TAN MALAKA DAN DUA ALINEA
TENTANG "JUJUR" DAN "REKAYASA" MENURUT PENGERTIAN
KAUM AWAMISME DAN KAUM OPORTUNIS DALAM SASTRA.
Dalam kata pengantar bung Asep Sambodja yang sekarang memang tidak sepenuhnya dimuat di sini dan itu memang menurut keperluannya. Saya tidak sempat menanggapi kata pengaantar bung Asep Sambodja yang lengkap pada beberapa hari yang lalu dan sekarang sudah terhapus dari file saya. Tapi saya masih ingat, terutama hal-hal yang ingin saya tanggapi tapi belum sempat saya tulis karena banyak terlibat dengan tulisan-tulisan lain yang juga menjadi perhatian saya. Jadi dalam kesempatan ini, meskipun tulisan bung Asep ini hanya sebagian kecil dimuat disini, saya juga ingin mengunakan kesempatan yang sekarang menanggapi beberpa hal yang menjadi perhatian saya.
Mengenai sebab-sebab kegagalan atau kekalahan Pemberontakan 1926, a.l. dikatakan bahwa tidak adanya kesatuan pendapat di antara pemimpin PKI terutama tentangan dari pemimpim PKI yang penting Tan Malaka yang bahkan hingga memboikot pemberontakan itu. Saya masih teringat akan seorang Belanda yang mengomentari buku Poeze yang super tebal tentang Tan Malaka, menulis dalam koran Belanda: "Tan Malaka selalu absen dalam setiap peristiwa revolusi yang penting di Indonesia". Dan rupanya termasuk dalam Pemberontakan tahun 26 yang dia tentang dan dia boikot itu. PKI menuduh Tan Malaka sebagai Totskist yang katanya selalu bikin pecah belah dalam PKI. Tapi kesan saya sendiri setelah mempelajari buku Trotsky, sangat sulit membuktikan bahwa Tan Malaka seorang Trotkist, tidak ada teori Trotsky yang dia pakai maupun terapkan dalam PKI. Tapi bahwa dia memang bikin pecah belah dalam PKI, hal ini lebih terbuktikan. Di pihak Belanda, meng-agung-agungkan Tan Malaka dengan buku ribuan halaman memang bisa dimengerti demi untuk memencilkan PKI dan pemimpin-pemimpinnya. Belanda lebih punya interes menghapus sejarah PKI yang terkenal bersekutu dengan Sukarno yang juga musuh mereka( tentu tidak semua Belanda yang anti PKI dan anti Sukarno). Belanda yang punya dua muka ini sering membikin bingung kaum oportunis PKI sendiri yang selalu hidup dengan ilusi dan bergantung dan loyal pada penguasa yang manapun di dunia ini tanpa prinsip.
Tentang kesimpulan bung Asep mengenai cerpen-cerpen penulis Lekra yang katanya jujur dan tidak merekayasa, menurut saya adalah sebuah kesimpulan yang non literatur dan masih banyak terpengaruh akan ideologi kekiri-kirian dalam Lekra di masa lalu. Pengertian "jujur"dan "rekayasa"dalam literatur harus ditanggapi secara amat kritis karena pengertian awamisme mengenai "jujur"dan "rekayasa"dalam karya sastra bisa menyempitkan sastra itu sendiri, dan bahkan menghambat perkembangan sastra dan mengurungnya dalam kurungan sempit dan pengap serta membosankan yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan yang bergaya berita koran, editorial, pamflet dan makian politik yang tidak punya kekuatan yang pernah mewarnai Lekra di masa lalu yang itupun sudah dikritik secara tajam dalam bentuk semboyan Lekra sendiri: "tinggi dalam mutu(estetika) tapi juga tinggi dalam isi(politik-ideologi)" yang maksudnya bukan cuma teriak-teriak melawan dan memaki musuh dengan sajak dan cerpen. Untuk tujuan demikian sudah ada departemen khusus PKI yang mengurusinya yaitiu Agitprop (Agitasi dan propaganda) atau Editorial Harian Rakyat dan majalah-majalah Partai lainnya seperti 'Bintang Merah" dan sejenisnya. PKI tetap membedakan antara sastra dan politik meskipun tidak mempertentangkannya.
Jujur dalam sastra bukan berarti jujur seperti maling ayam yang tertangkap dan mengaku salah di depan hakim atau kejujuran seorang suami pada istrinya yang mengumumkan dia sudah kawin lagi dengan adik istrinya di tempat lain. Jujur dalam sastra selalu menggunakan fiksi dan fantasi untuk menguakkan realitas hidup, menganalisanya serta memperindahnya agar mudah ditangkap pembaca untuk direnungkan dengan pertolongan estetika, imaginasi, metafora dan fantasi penulisnya. Sastra yang miskin fantasi adalah sastra yang buruk dan membosankan betapapun bagus isinya yang hanya memancing hiburan murah orang awam dan tidak mendidik tapi justru menumpulkan apresiasi sastranya orang awam.
Rekayasa adalah istilah politik yang dipindahkan oleh kaum oportunis ke dalam sastra. Dengan kata "rekayasa" kaum oportunis ingin memvulgarkan sastra yang tidak dikuasainya manjadi sastra di bawah pengaruhnya yang menurut mereka sastra itu harus menuliskan "kebenaran" seperti orang bikin buku sejarah atau otobiografi atau setidaknya memoar yang setiap ada elemen fantasi, imajinasi, mereka anggap sebagai "rekayasa", bohong, ngibul atau jual bako. Apa yang mereka maksudkan dengan "rekayasa" adalah terjemahan dari FIKTIF yang adalah ciri pokok karya sastra yang mereka tidak mengerti funksi dan ujudnya dalam karya sastra. Pandangan awamisme dalam sastra mengenai "rekayasa" harus selalu ditentang dan diblejeti karena awamisme dalam sastra adalah sikap keras kepala tapi bodoh, ingin berkecimpung dalam dunia sastra tapi tidak mau atau tidak mampu mendalami sastra sebagai ilmu dan hanya bertolak dari ambisi politik dan ambisi oportunis yang hanya merusak sastra dan bukan meramaikannya secara sehat dan produktif. Jadi kita harus berhati-hati menggunakan kata "jujur"dan "rekayasa" yang dilontarkan kaum awamisme dalam sastra dan juga kaum oportunis yang ingin menguasai sastra dan memberikan pengaruh kontra produktif.
Salam.
asahan.
----- Original Message -----
Sent: Tuesday, January 05, 2010 4:11 PM
Subject: #sastra-pembebasan# Re: [GELORA45] Keputusan Prambanan
Kalau memang ada risalahnya, dapatkah disebutkan siapa-siapa yang hadir
pada waktu sidang untuk mengambil Keputusan Prambanan itu?
Terimakasih sebelumnya.
Salam
Lusi.-
Am Dienstag, den 05.01.2010, 07:15 +0800 schrieb Chalik Hamid:
>
> Keputusan Prambanan
>
>
>
> Pengantar buku kumpulan cerpen dan puisi Gelora Api 26 karya Chalik
> Hamid (ed.)
>
>
>
> oleh Asep Sambodja
>
>
>
> Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para
> petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di
> Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu
> dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan.
> Bunyi dari keputusan itu adalah, "Perlunya mengadakan aksi bersama,
> mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata.
> Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam
> pemberontakan ini." (Soe Hok Gie, 2005).
>
> Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi
> ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat
> petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali
> Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco
> Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi
> yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda.
> Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan
> suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni
> 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak
> pada 12 November 1926 (Williams, 2003).
> . . . .
No comments:
Post a Comment