From: Bismo DG <bdgkusumo@gmail.
To: mimbar-bebas@
Sent: Monday, January 4, 2010 20:46:47
Subject: [mimbar-bebas] Kemasygulan si Ratu Keroncong
Waldjinah
SP/Alex Suban
Pada usianya yang senja, ada dua hal yang selalu mengganggu dalam pikiran penyanyi keroncong Waldjinah (66). Ratu langgam dan keroncong yang ngetop dengan julukan Walang Kekek ini merisaukan nasib keroncong dan juga nasib para pelestarinya.
Untuk yang pertama, melalui Himpunan Artis Musik Keroncong Republik Indonesia (HAMKRI), Waldjinah sudah berusaha sekuat tenaga mencari dan menelurkan bibit pewaris keroncong. Sayangnya, usaha yang dilakukannya belum banyak mendapat sambutan seperti yang diharapkan.
"Sedangkan, mengenai nasib rekan-rekan pelestari keroncong, baik penyanyi maupun pemain pengiring, sepertinya saya angkat tangan. Kalau untuk pencipta sudah lumayan ada royalti. Hanya pemerintah yang bisa membantu mereka," katanya.
Menurutnya, penyanyi dan pengiring lagu-lagu keroncong terpasung oleh ikatan kontrak produser rekaman. Bahkan, untuk penyanyi sekaliber dirinya tidak bisa berbuat banyak. Selain nilainya rendah, penyanyi juga tidak bisa mengontrol peredaran kaset.
"Apalagi pengiringnya. Produser sering mengganti grup pengiring, sehingga meski kaset lagu keroncong masih banyak yang menyukai, grup tidak ikut mendapatkan royalti lagi," ujar penyanyi yang memulai kariernya dari lomba bintang radio Ratu Kembang Kacang ini.
Sedangkan, mengenai regenerasi penyanyi keroncong, Waldjinah mengaku sebenarnya sudah sangat bagus. Di Solo, Jateng saja, terdapat tidak kurang dari 80 grup keroncong yang sebagian besar adalah anak-anak muda. Meski tidak semuanya mengusung keroncong asli, menurut Waldjinah hal itu merupakan perkembangan yang bagus.
Demikian juga dengan penyanyi keroncong. Waldjinah mengatakan, banyak penyanyi belia yang potensial. Sayangnya, tidak banyak dukungan untuk menyemarakkan perkembangan keroncong. Dia menyebutkan seperti ketika HAMKRI mengadakan lomba keroncong tingkat Jawa Tengah, November silam, sambutan pemerintah daerah sangat minim.
"Grup yang akan lomba hanya difasilitasi bus untuk ke tempat lomba, bensin ditanggung pemain sendiri, ini kan sangat mengenaskan,
Tidak hanya soal dukungan dari pemerintah yang terbatas, tetapi juga perhatian media, terutama radio dan televisi menjadi kemasy gulan tersendiri bagi Waldjinah.
Menurutnya, penyanyi keroncong sekarang ini sebenarnya banyak yang belia dan memiliki potensi untuk moncer. Namun, mereka terkendala lantaran tidak ada media dan ajang kompetisi. Berbeda dengan masa muda Waldjinah yang banyak ajang untuk membuat penyanyi keroncong populer. Misalnya, lomba Bintang Radio.
"Sekarang yang dapat perhatian kan cuma penyanyai pop atau dangdut," keluh Waldjinah. Dia menduga hal itu mungkin karena televisi menuntut penampilan se orang penyanyi yang eye catching. Sementara itu, penyanyi keroncong penampilannya standar seperti menggunakan kain kebaya, yang bagi industri televisi dianggap tidak mendatangkan iklan. Imbasnya juga terhadap produser yang lebih suka merekam lagu-lagu populer ketimbang keroncong.
Malaysia
Waldjinah melihat perkembangan musik keroncong justru marak di negeri jiran Malaysia. Di negeri yang secara rutin dikunjunginya sejak tahun 1996 itu, keroncong bahkan diajarkan di perguruan tinggi. Grup keroncong juga banyak bermunculan, terutama di Johor. "Mereka mendatangkan pelatih dari sekitar Solo," ujarnya.
Bukti populernya keroncong di Malaysia dan juga antusiasme orang Malaysia terhadap keroncong, kata Waldjinah, adalah ketika HAMKRI mengadakan lomba keroncong. Dari Johor, berniat mengirimkan dua grup mereka. "Padahal, kami hanya memberitahukan, mereka ingin datang dengan biaya sendiri," kata Waldjinah.
Waldjinah khawatir bila pemerintah tidak memberikan perhatian kepada musisi keroncong di Tanah Air, musik asli Indonesia ini justru akan lebih ngetop di negara tetangga.
Tak Pernah Lelah
Waldjinah boleh dibilang telah menjadi legenda di dunia keroncong. Nyaris seluruh hidupnya untuk menyanyikan lagu keroncong dan langgam. Dia mulai dikenal secara luas tatkala dinobatkan sebagai Ratu Kembang Kacang pada tahun 1958 yang diadakan RRI dan Perfini. Ketika itu dia baru berusia 15 tahun.
Lahir sebagai anak bungsu dari keluarga buruh batik, Wiryarahardja, dia mendapatkan nama Waldjinah karena dia dilahirkan di bulan Syawal (Wal) pada tahun Je (Ji) dan sebagai anak nomor sejinah (ke-10). Waldjinah kecebur secara tidak sengaja di dunia musik keroncong, saat masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Ketika itu dia ikut kakaknya belajar menyanyi.
Gelar demi gelar sebagai penyanyi terbaik diraih. Puncaknya ketika dia memenangi Lomba Bintang Radio se Indonesia tahun 1965. Waldjinah pun berkesempatan bertemu langsung dengan proklamator Soekarno.
Kepopulerannya sebagai artis sejatinya baru dimulai pada tahun 1968-1969 saat dia melemparkan album dengan lagu andalan Walang Kekek. Lagu yang sampai kini tidak diketahui penciptanya itu, mendongkrak Waldjinah. Hingga saat ini, Waldjinah memiliki 34 album piringan hitam dan 176 album kaset dengan total lagu sebanyak 1.766 buah.
Sejatinya, Waldjinah tak hanya menguasai keroncong, dia pun bisa menyanyikan lagu genre lainnya, termasuk menjadi sinden dalam pergelaran wayang. Musik pop pun pernah dirambah, berduet bersama almarhum Chrisye. Waldjinah juga pernah mencicipi dunia layar lebar. Dia membintangi film berjudul Buah Bibir (1972). Tapi, tak berlanjut karena isteri Didit Hadiyanto memilih untuk tetap konsisten di jalur keroncong dan langgam.
Ketekunannya pada musik keroncong, membuat Waldjinah panen penghargaan. Tidak terhitung lagi piagam dan vandel penghargaan yang menjadi koleksinya. Terakhir, bertepatan dengan Hari Ibu, Waldjinah menjadi salah satu perempuan yang mendapat She Can Award. [Imron Rosyid]
Get your new Email address!
Grab the Email name you've always wanted before someone else does!
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment