ASAHAN
(anti cerpen):
PENSIUN SAYA DAN SANG KOLONEL-NYA MAQUEZ
Bila telah belasan apalagi puluhan tahun bekerja secara terus menerus, maka bila berhenti karena sesuatu hal, umpamanya sakit yang berkepanjangan, kena pecat, pensiun muda atau memang karena sudah tiba usia pensiun( 65 di Belanda), maka sebuah kehidupan baru akan terasa aneh meskipun tiap orang akan berbeda menyambut kedatangan kehidupan yang bebas kesibukan itu. Saya sendiri merasakannya sebagai keadaan yang campur aduk dalam hati karena antara yang positf dan negatif seperti berperang tak habis-habisnya. Secara garis besarnya ada perasaan terbuang tapi juga ada perasan selesai tugas hidup yang paling primer: bekerja sambil mencari nafkah.
Rasa terbuang atau merasa tak lagi berguna bisa membuat orang frustrasi, apatis, dan bahkan hingga stress atau sakit jiwa. Di negara-negara yang maju, efek negatif yang dialami kaum pensiunan seperti yang disebutkan di atas, mendapat perhatian yang serius dan diusahakan mencari jalan penerobosannya. Umapamanya bagaimana secara praktis kaum pensiunan itu dicarikan kegiatan-kegiatan yang menyangkut hobby atau kegemaran mereka agar disalurkan di berbagai klub-klub yang dianjurkan agar menampung mereka. Badan-badan partikulir yang bersifat amal atau non profit itu ,menyelenggarkan kuliah-kuliah kecil atau diskusi-diskusi kekeluargaan yang memberikan semangat atau masukan spirit agar kaum pensiunan tetap masih merasa berguna dan tidak kehilangan nilai dirinya karena tidak lagi aktif di dunia kerja profesional. Di beberapa negara dunia ke tiga tentu inisiatif dan kegiatan semacam itu masih terasa mewah dan bila dilakukan juga akan terbentur dengan biaya yang besar yang biasanya tidak bisa mengharapkan bantuan negara.
Ketika saya dipensiun, sayapun tidak bebas dari "rasa tak berguna"dan kurang mendapat hiburan dari rasa"sudah menyelesaikan tugas primer dalam hidup yaitu bekerja sambil mencari nafkah". Saya juga tidak masuk ke klub yang manapun meskipun di sekitar rumah saya paling tidak ada lima klub dengan bermacam kegiatan. Di negara-negara yang maju, juga tidak ada yang gratis termasuk masuk klub harus bayar kontribusi yang cukup serius untuk dipikirkan matang-matang bagi jenis pensiun kecil seperti yang saya terima tiap bulan. Tapi saya menemukan hiburan lain. Membaca dan kadang-kadang menulis di rumah. Tapi itupun bukan gratis atau cuma-cuma tanpa biaya. Untuk membaca harus membeli buku. Untuk menulis harus disalurkan ke Internet dan karenanya harus punya komputer. Buku-buku dan komputer serta bayar ongkos internet, juga memerlukan uang. Tapi karena saya hidup di negeri kapitalis yang maju, maka saya juga menikmati sistim kredit kapitalis hingga saya juga bisa beli buku-buku, bisa beli komputer dan bayar ongkos internet dengan cara menggunakan uang dalam batas-batas kredit limit dari bank alias berhutang dengan risiko kronis saldo tekort setiap bulan yang tanpa itu saya cuma bisa makan minum dan bayar bermacam perongkosan hidup yang paling primer dan selebihnya saya tidak akan pernah mampu beli tv atau sepeda sekalipun. Sejarah hidup saya di negeri yang saya diami sekarang ini, terutama adalah sejarah hutang saya seumur hidup pada bank yang dititipi gaji saya selama bekerja dan uang pensiun sekarang ini. Hutang memperpanjang hidup saya, dan juga membuat saya "kaya"dengan barang-barang yang dibayar dengan utang. Saya sudah tak bisa hidup di negeri asal saya apalagi kalau negeri itu anti Neoliberalisme. Darimana saya akan mendapat pinjaman hutang meskipun saya juga anti Neoliberalisme.
Tapi karena saya punya hobby membaca buku, maka suatu ketika saya menerima hikmahnya juga ketika saya membaca sebuah buku karangan Gabriel Garcia Marquez yang dia beri nama "Sang Kolonel tak pernah menerima Pos"atau bila diberikan arti bebasnya, Pos atau surat tak kunjung datang ke alamat sang Kolonel. Apa yang diharapkan sang kolomel dari Pos yang ditunggunya setiap hari selama puluhan tahun, cumalah surat keputusan Pemerintah untuk memberikan pensiun padanya karena ia merasa berhak menerima pensiun itu atas jasanya dalam perang saudara di Bolivia di masa silam. Sekarang sang Kolonel hidup bersama istrinya yang sakit-sakitan dan lemah dan mereka hidup tanpa penghasilan dan mempanjang hidup mereka dengan cara jual ini jual itu yang masih terdapat didalam rumah mereka yang ahirnya tentu akan habis juga. Sang Kolonel dan istrinya yang sakitan cuma hidup dengan satu-satunya harapan: menunggu pos berupa surat keputusan Pemerintah yang memberikan hak kepada sang Kolonel untuk menerima pensiun dan untuk semua itu dia menggunakan advokat yang dia bayar cukup mahal tanpa hasil nyata. Dan pos semaca itulah yang ditunggu kolonel setiap hari selama puluhan tahun sedangkan kehidupan mereka yang semakin tua serta bertambah miskin dan harta yang satunya-satunya yang masih mungkin dijual untuk memperpanjang hidup beberapa hari adalah seekor ayam jago aduan peninggalan putra tunggal mereka yang mati tertembak di arena adu ayam karena salah tembak. Sang kolonel sangat keberatan untuk menjual ayam aduannya itu tapi sang istri terus mendesaknya agar dijual saja untuk memperpanjang hidup yang semakin kritis. Sang Kolonel tetap bertahan tidak mau menjual ayamnya dan masih tetap optimis mungkin katanya kepada istririnya, beberapa hari lagi pos penetapan pensiun itu akan mereka terima. Sang istri kesal tak tertahankan lagi lalu menjambak leher sang Kolonel sambil berkata keras-keras: "Dan kalau pos itu tidak juga datang, lalu kita akan makan apa!!!" Dalam jambakan tangan sang istri, sang Kolonel tenang menjawab: "MAKAN TAI". Dan dengan dua kata itulah novel diahiri oleh Gabriel Garcia Marquez. Dia sendiri mengatakan pada wartawan yang pernah menginterviewnya, katanya, novel inilah yang dianggapnya paling berhasil dari semua yang pernah ditulisnya. Saya setuju dengan Marquez meskipun sembilan bukunya yang lain yang sempat saya baca adalah juga luar biasa bagusnya. Ternyata pensiun saya yang kecil dan sederhana telah dinaikkan Marquez jumlahnya tanpa saya harus masuk klub-klub yang mahal wajib kontribusinya.
asahan.
Hoofddorp,
2292009
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment