sdr. Francis Yaman yang budiman terus terang, saya menjadi dibingungkan oleh pernyataan saudara yang saling bertolak belakang, yang telah saudara tuliskan pada awal alinea imel saudara dengan yang ada pada penutupan. (sila lihat imel terdahulu di bawah ini) Bagi kami di Indonesia --dari bahasa Melayu yang saudara gunakan nampaknya sauadra bukan pengguna Bahasa Indonesia maupun Melayu-Indonesia yang biasa kami kenali, sehingga saya "menuduh" saudara bukan bangsa Indonesia--, pakar sejarah yang umum kami pahami adalah memang orang yang belajar sejarah berdasarkan fakta-fakta sejarah. Bukan berdasarkan ceritera-ceritera nenek moyang semata. Dan kami di Indonesia memang mempunya BANYAK sekali bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Meskipun memang dahulu kala masih berupa kerajaan-kerajaan, namun kerajaan yang sialnya memang berkedudukan di wilayah yang yang sekarang dinamakan Indonesia ini. bukan di Malaysia (Semenanjung Malaya), dan bukan juga di Brunei Darussalam. Hal itu di dapat dari sejumlah bukti-bukti sejarah yang berupa prasasti, bangunan-bangunan candi-candi serta juga bentuk tulisan, seperti buku-buku Negarakretagama, yang juga sedang dibicarakan di milis ini. Salah satu bukti, yang pernah diajukan dalam sebuah seminar yang diadakan oleh PUSLIT-ARKENAS (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) bekerja sama dengan EFEO (Ecole France d'Extreme d'Orient), membuktikan bahwa kekuasan raja Airlangga diakui hingga India, karena ditemukannya beberapa prasasti berupa lingga, yang mengakui kekuasaan tersebut. Itu bukti sejarah, hasil penelitian kerja sama para ahli sejarah. Hmm ya... sayangnya, saya kok tidak pernah (belum pernah tepatnya) mendengar kekuasaan kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya maupun kerajaan Brunei Darussalam mempunyai prasasti serupa yang dapat diajukan sebagai bukti sejarah kebesaran kerajaan-kerajaan tersebut. Seperti yang saudara sanggah terhadap tulisan rekan Winwanwur tersebut. Pada suatu ketika, ketika saya penasaran terhadap candi Ayodya di kota tua Ayutthaya di Utara negeri Thailand. Saya pergi ke sebuah toko buku besar di kota Bangkok, untuk mendapatkan sebuah buku berbahasa Inggris yang menerangkan sejarah Ayutthaya. Saya sungguh terkejut, karena ternyata kerajaan Ayutthaya telah mendapat pengaruh yang besar dari kerajaan Srivicaya dari negeri Swarnadwipa. Dengan kata lain, kerajaan yang saya kenali dengan nama Sriwijaya dan negeri Swarnadwipa tidak lain adalah pulau Sumatra. Saya, makin bangga dengan nenek moyang saya, yang ternyata mempunyai pengaruh hingga ke negeri tetangga dengan meninggalkan jejak prasasti candi Ayodha tersebut. Malaysia? ... dia tidak ada candi maupun prasasti yang dapat membuktikan kebesaran nenek-moyangnya. Bahkan betul seperti rekan saya Winwanwur mengatakan, kota Melaka itu dapat direbut dari tangan portugis karena kehebatan orang-orang Melayu dari tanah sumatra seperti Hang Tuah, Hang Jebat atau Hang Nadim. Betul para melayu ini bersaudara. Namun apalah arti persaudaraan jika semua dihancurkan oleh klaim-klaim kekanak-kanakan orang Melayu Malaysia yang saya setuju "sakit". Uang dan kekayaan Malaysia sekarang tidak bisa membeli kebudayaan dan kebesaran sebuah bangsa yang dibangun beratus-ratus tahun dan terbukti melalui prasasti sejarah. Bukan sekadar cerita --yang dapat saja buah dari bualan-- cerita para nenek moyang semata. Reog Ponorogo di klaim sebagai milik Malaysia?? Hmm ya, para antropolog sudah paham bahwa dalam reog Ponorogo terdapat fenomena sosial yang khas, yaitu: Warok-Gemblak. Dan tidak ada klaim dari para ahli dibidang ilmu kebudayaan (baca: antropolog) bahwa fenomena Warok-Gemblak ditemukan di jangankan tempat lain di Jawa Timur, apalagi di Malaysia. Dia khas Ponorogo. Titik. Bukan Jember, bukan Malang, bukan Sidoarjo,... Malaysia??? Seperti kata teman saya seorang Malaysia keturunan Cina, yang malu sekali dengan perbuatan kaum Melayu-Malaysia yang hobinya meng-klaim budaya dari negeri lain, sehingga dia membahasakan para Melayu-Malaysia ini sebagai "Maling-Sia" (dalam bahsa Sunda berarti: Kamu Maling) Menurut hemat saya, perang melawan Malaysia mungkin adalah masalah kecil (sambil menjetikkan jari kelingking). Dari mulai memblokir para TKI buruh pekerbunan kelapa sawit --ingat, pemerintah Malaysia pernah mengemis-ngemis kepada pemerintah RI untuk "dibukakan" pintu TKI ini--, para TKW, hingga berbagai komoditas lainnya seperti air dan sayur-mayur yang Malaysia impor dari Indonesia. Bagi Indonesia, tingal memblokir juga ijin-ijin perkebunan sawit Malysia di Sumatra dan Kalimantan. Karena, ketika asap tebal dari hutan Indonesia mengepul hingga daerah teritori malaysia, pemerintah Indonesia sekadar bilang, "..yaa.. itu salah perusahaan-perusaha Kalaupun Malaysia mau melarang lagu Indonesia masuk ke negeri itu, lha wong konser-konser besar lagu-lagu pop orang Melayu memang didominasi oleh konser-konser penyanyi pop Indonesia. 3-Diva, Adie MS, Hetty Koes Endang, dlsb,... konsernya selalu sukses di Malaysia. Itu artinya apa? Jangankan mau budaya high-art, lha wong budaya pop aja (baca: kekayaan kreativitas) Malaysia kalah dari Indonesia, kok mau sok-sok'an nge-klaim Malaysia berbudaya besar. Omong kosong (baca: sambil jari jempol saya dimasukkan ke dalam mulut seperti gaya F. Totti kalau usai memasukkan bola ke gawang lawan). Tambahan lagi, Kawan-kawan saya orang Malaysia, kalau pergi ke Jakarta juga kerjaannya memborong CD-CD pop Indonesia. Kalau mau perang secara militer. Jelas sudah, Malaysia kalah, baik dari persenjataan juga dari segi tenaga manusia (baca: jumlah tentara dan jumlah mobilisasi relawan perang). Seluruh jumlah penduduk Malaysia tidak sampai separuh jumlah penduduk pulau Jawa. Jadi, Malaysia tidak usah belagu mau sok perang dengan Indonesia dan memang sudah sebaiknya warga negara Malaysia manapun akan mencoba menghentikan sok adu okol ini. Bagi banyak orang Indonesia saat ini, citra bahwa malaysia adalah pengekspor para teroris, itu adalah fakta yang lain lagi. Sehingga, saya maklum .. kalau oknum-oknum tertentu di Malaysia perlu meng-klaim bahwa Malaysia adalah bangsa yang punya budaya tinggi. Meskipun itu merupakan hasil dari isapan jempol bangsa yang sesungguhnya minder-wardig terhadap bangsa dari negara tetangganya yang meskipun miskin karena GDP-nya dibawah Malaysia, namun pada kenyataannya, dalam berbagai aspek kehidupannya dan kebudayaannya memang benar-benar lebih KAYA. Uang, --memang-- tidak dapat membeli segalanya bangsa Maling-Sia Tabik BJD. Gayatri, sekadar penikmat sejarah, yang kebetulan sering main-main ke Puslit-Arkenas dan berkawan dengan para peneliti EFEO, sehingga melihat sejarah berdasarkan bukti-bukti sejarah yang dapat dipertanggung- --- On Tue, 15/9/09, francis yaman <frachamp@yahoo. Subject: Re: [ac-i] Malaysia Über Alles |
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment