Dalam beberapa tahun belakangan, orang Indonesia tampak mudah sekali tersinggung oleh sikap Malaysia. Orang Indonesia sering merasa dilecehkan dan diprovokasi.
Hari-hari belakangan ini hubungan Indonesia Malaysia 'menghangat'
Seperti biasa ketika ini terjadi, di Indonesia ada banyak nada keras yang ditujukan kepada Malaysia. Dan juga seperti biasa ada banyak pro dan kontra mengenai nada-nada keras ini. Banyak orang di negara ini yang bersikap reaksioner, entah itu sekedar memaki tanpa mengerti persoalannnya atau sebaliknya ada yang merasa orang Indonesia tidak layak bersikap seperti itu terhadap Malaysia.
Dalam sebuah tulisan di sebuah media online malah ada orang Indonesia yang mengatakan malu terhadap sikap orang Indonesia yang mengeluarkan kata-kata keras terhadap Malaysia. Orang yang malu dengan sikap anti Malaysia ini dengan gamblang dan memaparkan beberapa perbuatan Malaysia yang membuat sakit hati orang Indonesia dan membuat pembelaan untuk itu dengan alasan dangkal dan argumen standar khas para diplomat yang sama sekali tidak menyentuh inti persoalan.
Setelah beberapa waktu biasanya emosi orang Indonesia mereda dan memuncak kembali ketika Malaysia lagi-lagi memprovokasi. Untuk meredakan masalah ini biasanya pemerintah kedua negara mencari solusi dengan cara diplomasi, tapi pada waktu tertentu masalah ini muncul lagi. Begitu terus menerus mereda dan berulang kembali.
Banyak yang bertanya kenapa masalah ini terus dan terus berulang seperti tidak ada kata berhenti. Itu karena setiap masalah seperti ini terjadi orang langsung terpikir untuk mencari solusi. Hampir tidak ada yang menanyakan apa sih inti persoalan dari hubungan Indonesia-Malaysia ini.
Ketika masalah ini terjadi, masalah yang terlihat di permukaan entah itu klaim atas budaya atau klaim atas teritori Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia. Rata-rata orang di sini berpikir itu adalah masalah yang sebenarnya dan solusi pun dicari berdasarkan masalah yang kelihatan itu. Padahal yang terlihat itu hanyalah gejala dari penyakit sesungguhnya yang tidak pernah benar-benar serius dipahami oleh kebanyakan orang-orang di Indonesia, entah itu diplomat, pemerintah atau orang biasa.
Karena alasan itulah dalam tulisan kali ini saya ingin mengajak orang-orang yang membaca tulisan saya, terutama yang telah membaca dan berkomentar atas tulisan saya sebelumnya http://winwannur.
Untuk memahami masalah yang sebenarnya dari masalah hubungan Indonesia- Malaysia, kita harus melihat dengan jernih persoalan yang ada, kemudian dipetakan masalahnya baru kemudian dicari solusinya.
Jika kita mau melihat masalah hubungan Indonesia- Malaysia ini dengan jernih dan langsung pada inti persoalan yang sebenarnya. Maka dengan jelas kita akan melihat bahwa masalah utama dalam hubungan Indonesia- Malaysia ini tidak lain terletak pada sejarah pembentukan Malaysia sendiri sebagai bangsa, yang memang sudah "sakit" sejak dari awal berdirinya.
Sepanjang sejarahnya Malaysia adalah kumpulan dari kerajaan-kerajaan kecil yang tidak terlalu besar pengaruhnya di Nusantara. Di Malaysia, baik di Semenanjung maupun di Kalimantan, tidak pernah ada kerajaan besar sekaliber Sriwijaya, Majapahit atau bahkan Aceh Darussalam.
Sepanjang sejarah pra-kolonial, kerajaan-kerajaan di Malaysia selalu berada di bawah bayang-bayang kerajaan besar di kepulauan Nusantara. Bahkan ketika semenanjung Malaka dikuasai Portugis, Aceh yang saat itu dipimpin oleh Iskandar Muda-lah yang membebaskan mereka.
Ketika Nusantara akhirnya dikuasai sepenuhnya oleh negara-negara kolonial dari eropa, semenanjung Malaysia dikuasai Inggris sedangkan kerajaan-kerajaan lain di kepulauan ini dikuasai Belanda.
Pasca perang dunia kedua, tren merdeka melanda seluruh dunia. Kerajaan-kerajaan di nusantara inipun memerdekakan diri, mereka membentuk negara tidak berdasarkan kedekatan kultural antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya, tapi berdasarkan batas-batas teritori yang dibuat oleh para penjajahnya.
Dengan model pendekatan seperti ini jadilah Sumatra, Kalimantan dan semenanjung Malaka yang sebenarnya sangat dekat secara kultural terpisah menjadi beberapa negara.
Sumatra dan sebagian Kalimantan yang lebih dahulu merdeka digabungkan dengan Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku sampai Papua. Meski sebenarnya secara kultural mereka tidak memiliki ikatan kuat. Tapi karena wilayah ini sama-sama bekas jajahan Belanda, mereka disatukan menjadi sebuah negara. Negara baru ini diberi nama Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, Semenanjung Malaka, Sabah dan Sarawak di Kalimantan bersama Singapura (yang belakangan memerdekakan diri) membentuk federasi Malaysia. Belakangan di Kalimantan muncul lagi sebuah negara baru bernama Brunei Darussalam.
Berbeda dengan Indonesia yang mendapatkan kemerdekaan dengan cara paksa, Malaysia merdeka dengan cara baik-baik dan ketika belakangan Singapura memisahkan diri, itu juga dilakukan dengan cara baik-baik.
Perbedaan cara mendapatkan kemerdekaan ini ternyata kemudian memberi pengaruh sangat besar terhadap sejarah dan karakter bangsa-bangsa baru merdeka ini di kemudian hari. Indonesia yang merdeka dengan cara paksa, di awal kemerdekaannya disibukkan dengan berbagai perang dan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaannya. Mereka juga masih disibukkan dengan perdebatan tentang konsep negara. Karena memang secara kultural sangat beragam, Indonesia juga disibukkan dengan berbagai masalah perbedaan latar belakang kultural ini. Beberapa daerah yang merasa di anak tirikan oleh pemerintah Indonesia yang berpusat di Jawa merasa tidak senang dan melakukan perlawanan, masalah seperti ini bahkan sampai hari inipun belum sepenuhnya bisa diselesaikan oleh Indonesia.
Sebaliknya Malaysia dan juga Singapura (yang memisahkan diri dari Malaysia) bisa lebih berkonsentrasi pada pembangunan negara mereka, terutama di bidang ekonomi. Meski pada awal-awal kemerdekaannya Malaysia banyak dibantu oleh tenaga entah itu Insinyur atau guru dari Indonesia, tapi karena negara mereka yang mendapatkan kemerdekaan dengan cara baik-baik ini sudah terkonsep cukup bagus sejak awal berdirinya, ditambah mereka tidak memiliki masalah sebanyak yang dihadapi oleh Indonesia. Negara ini belakangan melaju lebih cepat dan tidak lama kemudian semakin makmur dan jauh meninggalkan Indonesia secara ekonomi.
Ketika sudah merasa cukup kaya, mereka pun ingin merasa lebih dari itu. Mereka ingin dipandang sebagai bangsa yang besar. Untuk tujuan itu mereka mencanangkan program yang dinamakan "Malaysia Boleh".
Hampir bersamaan dengan itu pada dekade 80-an beberapa tenaga kerja kelas buruh dan pembantu asal Indonesia mulai mencari peruntungan di Malaysia. Beberapa buruh migran yang bekerja di Malaysia itu kembali ke Indonesia membawa cerita sukses. Cerita-cerita sukses seperti ini menarik minat banyak orang Indonesia yang berada di level skill yang sama untuk bekerja di Malaysia sampai-sampai jumlah mereka di Malaysia semakin banyak dan tidak terkendali.
Oleh orang Malaysia kebanyakan, mereka itulah yang dianggap sebagai representasi Indonesia. Dalam bayangan banyak orang Malaysia, melayu-melayu yang tinggal di kepulauan nusantara hampir seluruhnya berpenampilan dan bersikap seperti para 'duta besar' Indonesia di negeri mereka itu. Dari fenomena buruh migran inilah kemudian muncul sebutan 'indon' yang berkonotasi melecehkan itu.
Keberadaan para "Indon" di Malaysia itu membuat rakyat negeri itu semakin yakin bahwa merekalah Melayu yang paling superior di dunia.
Dengan uang yang mereka punya, Malaysia pun berpikir mereka bisa membeli semuanya. Oleh melayu-melayu di tanah semenanjung itu, "Malaysia Boleh", kemudian mereka artikan sebagai boleh berbuat semaunya, boleh mencaplok seenaknya hak milik para "Indon", melayu miskin tetangga mereka yang mereka pandang sebelah mata.
Tapi karena dasarnya tidak pernah punya sejarah besar, Malaysia pun tidak memiliki kapasitas memadai untuk menjadi bangsa besar, merekapun tidak tahu bagaimana bersikap sebagai orang besar. Akibatnya bangsa kecil berjiwa kerdil inipun terlihat seperti "Kurcaci yang tiba-tiba menjadi anak Raksasa".
Melayu-melayu di tanah semenanjung ini pun secara mental tidak siap menjadi kaya. Mereka seperti orang miskin yang seluruh nenek moyangnya juga miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya. Akibatnya muncullah apa yang disebut fenomena Orang Kaya Baru (OKB) yang memiliki banyak uang tapi tidak bisa menghilangkan sikap aslinya yang kampungan.
Sebagai mana halnya setiap orang kecil yang tidak siap menjadi besar yang selalu merasa satu-satunya cara menjadi besar adalah dengan cara 'mengecilkan' orang lain, itulah yang terjadi pada Malaysia. Sebagai negara Melayu mereka merasa merekalah Melayu terbesar. Melayu lain seperti Indonesia dan Brunei hanyalah alas kaki mereka.
Ketika mereka bersikap arogan dan terang-terangan melecehkan melayu yang memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dari mereka. Malaysia melihat sama sekali tidak ada perlawanan berarti dari para "Indon" tetangga miskinnya, ditambah keberhasilan mereka memenangkan hak atas Sipadan dan Ligitan. Hal ini membuat mereka menjadi semakin berani dari hari ke hari dan pada puncaknya hari-hari belakangan ini merekapun terlihat merasa diri sebagai Über Alles.
Über Alles adalah istilah yang populer ketika Hitler dengan partai Nazi-nya berkuasa di Jerman. Jerman sendiri adalah sebuah negara di eropa yang merupakan bangsa pinggiran dan tidak banyak memiliki peran dalam sejarah klasik peradaban eropa.
Ciri orang yang merasa diri sebagai Über Alles adalah mereka merasa tidak nyaman dengan fakta sejarah yang menunjukkan kecilnya mereka di masa lalu. Untuk mengatasi rasa tidak nyaman ini, mereka menulis ulang sejarah dengan data-data palsu, memutar balik fta yang sebenarnya. Dalam sejarah versi baru ini mereka membuat fakta baru yang didesain sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa di masa lalu mereka adalah bangsa yang besar, bahkan yang terbesar.
Jerman yang yang awalnya hanya bangsa pinggiran, pasca 'Aufklaerung' tiba-tiba berubah menjadi salah satu bangsa yang memiliki paradaban paling maju di dunia. Perubahan ini membuat mereka lupa diri dan merekapun kemudian mengaku bahwa mereka adalah ras tertinggi dari seluruh ras manusia.
Sama seperti kasus Malaysia, kemajuan ekonomi yang mereka capai sekarang membuat fakta sejarah yang menunjukkan bahwa mereka hanyalah kumpulan kerajaan kecil yang tidak terlalu penting dalam sejaraha Nusantara itupun membuat mereka merasa tidak nayaman. Fakta inipun mereka ubah dengan mengatakan bahwa merekalah sebenarnya pusat kerajaan Melayu di Nusantara. Kerajaan-kerajaan lain semua tunduk pada mereka, bahasa yang digunakan di Nusantara inipun menurut mereka aslinya adalah bahasa yang awalnya dipergunakakan di semenanjung Malaka.
Karena mereka merasa adalah Melayu tertinggi di Nusantara, merekapun merasa seluruh wilayah Nusantara ini sebenarnya adalah bekas daerah 'jajahan' mereka, karena itu seluruh kebudayaan yang ada di nusantara ini tidak bisa tidak sebenarnya mendapatkan akarnya dari Malaysia. Karena itu merekapun merasa berhak untuk mengakui kebudayaan-kebudaya
Ciri lain dari manusia "Über Alles" adalah tidak tahu terima kasih. Segala jasa dan bantuan yang mereka terima di masa lalu dari orang yang sekarang mereka anggap lebih rendah, mereka anggap tidak pernah ada. Bagi manusia bermental kerdil, mengakui jasa orang yang dia anggap inferior dianggap mengurangi keabsahan status mereka sebagai "Über Alles".
Karena absennya rasa terima kasih inilah, ketika Aceh sedang berkonflik berat dengan Indonesia. Malaysia dengan kejam menyiksa para pencari suaka asal aceh yang dulu sempat melarikan diri ke negara itu. Kenyataan sejarah bahwa dulu mereka dibebaskan oleh Aceh dari cengkeraman Portugis sama sekali tidak masuk dalam perhitungan mereka.
Bandingkan sikap Malaysia ini dengan sikap Turki, negara besar yang punya sejarah besar di masa lalu. Ketika Aceh dihantam tsunami, Turki terbilang sebagai salah satu negara yang paling aktif membantu. Dengan terus terang mereka katakan, motivasi mereka membantu Aceh adalah karena ikatan sejarah antara Aceh dan Turki di masa lalu.
Saat saya pertama kali kembali ke Aceh pasca tsunami bulu kuduk saya bergidik membaca tulisan di sebuah billboard di Simpang Surabaya, Banda Aceh yang dipajang oleh pemerintah Turki. Tulisan itu kurang lebih berbunyi "Dulu Turki dan Aceh adalah saudara, sekarang Aceh dan Turki juga bersaudara, Besok Aceh dan Turki tetap bersaudara.
Begitu juga dengan Indonesia, fakta bahwa di awal kemerdekaannya Malaysia banyak dibantu oleh Guru dan Insinyur asal Indonesia adalah fakta yang mati-matian ingin dilupakan dan ditolak oleh orang Malaysia saat ini. Baca http://winwannur.
Ciri lain orang yang merasa diri sebagai "Über Alles" adalah anti introspeksi. Setiap kritikan, kecaman dan rasa sakit hati orang Indonesia terhadap arogansi dan kesombongan mereka, oleh orang Malaysia dipahami tidak lain hanyalah manifestasi dari rasa iri dan kecemburuan bangsa Indonesia atas keberhasilan ekonomi yang mereka capai. Begitulah yang terjadi di Malaysia setiap kali orang Indonesia tersinggung terhadap ulah mereka. Seperti ketersinggungan orang Indonesia baru-baru ini misalnya, mereka pun menganggap itu hanya ulah beberapa gelintir pendemo bayaran yang dibayar beberapa ribu rupiah saja. Mengenai ini juga bisa dibaca pada artikel di media Malaysia http://winwannur.
Sebenarnya semua arogansi yang ditunjukkan Malaysia ini tidak lain adalah usaha mereka untuk menutupi kecilnya mereka dan kerdilnya jiwa mereka. Kerdilnya jiwa Melayu semenanjung ini tidak hanya mereka tunjukkan dalam hubungan luar negeri. Di dalam negeri pun bangsa "sakit" ini tanpa malu-malu menunjukkan jiwa pengecut mereka.
Karena merasa tidak mampu bersaing dengan etnis Cina yang sama-sama warga negara Malaysia. Dalam konstitusi mereka, Melayu semenanjung yang mayoritas tanpa malu-malu menerapkan kebijakan rasis yang diberi nama NEP yang memberi hak istimewa kepada Melayu untuk berusaha.
Memang harus diakui kebijakan itu berhasil membawa melayu-melayu semenanjung itu ke taraf ekonomi yang lebih baik (meski kita juga belum tahu sampai kapan kebijakan rasis seperti ini efektif diterapkan karena belakangan di Malaysia orang-orang terkaya tetap saja dari etnis Cina) tapi tetap saja kebijakan seperti ini hanya mungkin dikeluarkan oleh manusia berjiwa pengecut.
Fenomena pengecut yang bersikap sok jago inilah yang dalam masyarakat Anglo-Saxon disebut sebagai fenomena "little man acts as if has a big dick".
Begitulah kira-kira inti permasalahan hubungan Indonesia-Malaysia.
Jadi kalau pemerintah Indonesia mau menyelesaikan masalah dengan Malaysia menggunakan cara diplomasi ya silahkan saja. Tapi kiranya dalam berdiplomasi pemerintah Indonesia juga harus menyadari kalau yang dihadapi dalam berdiplomasi ini adalah sebuah bangsa yang "sakit" yang kalau diperlakukan seperti memperlakukan orang normal hanya akan membuat orang yang menghadapi ikut-ikutan menjadi "sakit".
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.
www.winwannur.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment