Saturday, September 5, 2009

[ac-i] Hubungan Indonesia-Malaysia; Tanggapan Kritis Untuk Franz Magnis Suseno

 

Di Kompas kemarin, di halaman opini. Saya membaca sebuah tulisan Franz Magnis Suseno, dosen filsafat di STT Driyakara yang membahas tentang ketersinggungan orang Indonesia terhadap Malaysia dan bagaimana seharusnya orang Indonesia menyikapinya.

Opini yang ditulis Romo Magnis di Kompas edisi 4 September 2009 ini berlawanan dengan arus utama opini masyarakat Indonesia saat ini, yang rata-rata tersinggung dan terusik rasa nasionalismenya dengan apa yang dilakukan Malaysia yang selama ini terus menerus seolah sengaja cari perkara dengan negara ini.

Jika kebanyakan orang Indonesia termasuk anggota DPR RI ingin pemerintah bersikap keras terhadap Malaysia, Romo Magnis sebaliknya. Tawaran Romo Magnis sebagai solusi untuk masalah ini adalah solusi khas dari penganut kristen tipikal. "Kalau ada orang menampar pipi kanan, solusinya sodorkan pipi kiri".

Untuk bangsa sebesar Indonesia dengan penduduk nomer 4 terbanyak di dunia. Menurut Romo Magnis, marah-marah hanya karena dihina seperti itu sangatlah tidaklah layak untuk dilakukan. Sebaliknya Romo Magnis menganjurkan, selesaikanlah masalah itu dengan sabar dan kepala dingin.

Franz Magnis memberi contoh saat Soeharto menjadi presiden. Dia katakan, saat itu Indonesia tidak pernah berkata dengan kata keras dan justru dengan sikap seperti itu Malaysia hormat. Entah amnesia atau memang sengaja, tampaknya Franz Magnis sengaja mengaburkan fakta tentang sosok Soeharto mantan Presiden yang paling kejam sepanjang sejarah Indonesia itu.

Soeharto memang tidak pernah dan tidak perlu berkata keras. Dia hanya perlu menebar senyum, karena semua orang tahu di balik senyumnya yang khas itu ada kekuatan militer besar yang sangat loyal dan patuh tanpa syarat kepadanya. Dia dengan mudah bisa menggerakkan kekuatan itu, semudah anak kecil menggerakkan mainan mobil-mobilan dengan remote control di tangan. Bandingkan dengan SBY yang jangankan militer, bahkan dalam politik saja pun di negara ini banyak musuhnya. SBY baru mau mellibatkan TNI dalam menangani teror saja kecaman sudah muncul dari mana-mana. Jadi kalau SBY mau bergaya meniru-niru gaya Soeharto, ya diludahi orang.

Well, terlepas dari soal Soeharto, anjuran Romo Magnis memang bisa kita terapkan terhadap beberapa kasus dan terbukti manjur.

Misalnya jika anda yang pendatang kebetulan berkunjung ke Bali, bukan sebagai turis. Anda bisa jadi mengalalami pengalaman tidak menyenangkan ditangkap dan diperlakukan tidak enak oleh 'Pecalang' (Hansip Adat). Jika mengalami hal seperti ini di Bali, saran saya akan sama seperti cara yang disarankan Romo Magnis, lebih baik selesaikan masalah itu secara diplaomatis. Hubungi ketua pecalangnya atau langsung usahakan berbicara dengan 'klian' adat setempat.

Meskipun anda mungkin Preman terkenal dan ditakuti di kampung asal anda, tapi dalam menghadapi situasi ini. Mengajak konfrontasi 'pecalang Bali, sangat tidak saya anjurkan. Kecuali anda punya ilmu tahan pukul dan ilmu kebal atau siap mental di'massa' orang 'sebanjar'.

Tapi anjuran seperti tersebut di atas bukanlah obat ajaib yang manjur untuk segala kasus, situasi dan kondisi. Untuk kasus yang berbeda, kadang-kadang cara seperti yang dianjurkan Romo Magnis ini sama sekali tidak efektif, malah menjadi kontra produktif.

Saya secara pribadi pernah mengalami musibah yang tidak perlu karena berbaik-baik seperti saran favorit Romo Magnis ini.

Saat itu saya baru pindah ke kompleks perumahan yang saya tinggali sekarang. Untuk menuju ke rumah saya, saya harus melewati sebuah rumah yang memiliki seekor anjing buras alias anjing kampung yang selalu mengonggong keras kepada siapapun yang melintas di depan rumah majikannya itu. Kalau orang yang digonggong ketakutan kadang anjing kampung berkulit belang ini tidak segan-segan mengejar sampai orang yang dikejar berteriak-teriak ketakutan. Warga di kompleks tempat saya tinggal sebenarnya cukup resah dengan keberadaan anjing itu di kompleks kami.

Istri dan anak saya sering sangat ketakutan ketika harus melewati rumah itu menuju rumah kami. Ketika keluhan itu saya sampaikan kepada pemilik anjing dengan enteng dia bilang "Anjing saya itu memang senang bercanda".

Karena 'diplomasi' dengan pemilik anjing itu tidak berhasil. Karena istri saya sangat ketakutan setiap kali melewati rumah itu, sayapun secara resmi melaporkan masalah ini kepada ketua RT yang merupakan penguasa tertinggi di kompleks kami. Tapi ketua RT kami yang secara penampilan luar sangat perlente dan berwibawa ini sama sekali tidak dapat memberi solusi yang memuaskan.

Suatu kali istri saya pulang bersepeda dan melewati rumah itu, dan seperti biasa anjing itupun menggonggong dengan keras dan seperti biasa pula istri sayapun menjerit panik tidak kalah kerasnya. Sialnya kali ini anjing ini tidak hanya menggonggong tapi juga mengejar istri saya, istri saya yang panik dan ketakutan memacu sepedanya dengan kencang dan saat berbelok menuju persimpangan rumah saya, istri saya tidak dapat mengendalikan sepedanya dan jatuh terjerembab. Melihat istri saya terjatuh, anjing itu menggonggong kencang dan kemudian melenggang pulang dengan santainya. Istri saya pulang ke rumah sambil menuntun sepeda.

Ketika istri saya masuk ke rumah, dia menangis sambil mengatakan dia habis di kejar anjing. Saya yang sedang santai nonton TV kaget melihat keadaanya yang babak belur dengan darah mengalir dari sikut dan lututnya yang kotor terkena debu, bahkan levi's kesayangan istri saya yang ia pakai hari itu juga ikut robek.

Melihat itu tanpa pikir panjang lagi saya mengambil linggis dan mendatangi rumah tempat anjing itu tinggal. Saat saya tiba, anjing itu sedang duduk santai di dalam teras rumah pemiliknya yang berpagar tinggi. Melihat saya, anjing itu seperti biasa mengonggong. Saya tidak mempedulikan gonggongannya langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan menutup rapat gerbangnya. Kemudian mulai memukuli anjing itu dengan linggis yang saya bawa.

Saat saya saya pukuli, secara naluriah anjing itu berusaha lari keluar, tapi usahanya sia-sia, karena pagarnya telah saya tutup rapat. Pemiliknya yang keluar dari dalam rumah mendengar keributan di terasnya menjerit-jerit melihat anjing kesayangannya saya pukuli dengan linggis berbahan besi ulir sebesar jempol kaki. Tapi dia hanya bisa menjerit dan tidak dapat berbuat lebih dari itu.

Saat saya memukuli anjing itu awalnya suaranya 'kaing-kaing' nya demikian kencang, tapi lama kelamaan anjing itu hanya mampu mengeluarkan suara rintihan lemah ' ing' 'ing'. Saya berhenti ketika tangan saya terasa sangat lelah dan tidak sanggup lagi mengangkat linggis untuk memukul. Hebatnya anjing itu tidak mati.

Setelah kejadian hari itu, setiap saya lewat di depan rumah majikannya anjing itu tetap menggonggong, tapi kalau saya menghentakkan kaki sedikit dia langsung lari terkaing-kaing. Kadang-kadang di depan pemiliknya anjing itu tetap 'ngelunjak' menggonggongi saya seolah dia sudah jadi serigala lagi. Setiap kali kejadian seperti itu terjadi, saya kembali ke rumah itu dengan membawa linggis dan anjing itu kembali saya pukuli sampai akhirnya kalau melihat saya dalam jarak 200 meter saja, tanpa saya apa-apakan pun anjing itu langsung terkaing-kaing sendiri dan panik mencari tempat sembunyi.

Coba ini saya lakukan dari awal tanpa perlu coba-coba berbaik-baik mencoba jalan 'diplomasi', istri saya tidak perlu lecet berdarah-darah dan mendapati celana kesayangannya rusak.

Nah untuk kasus Malaysia, cara mana yang paling efektif untuk kita lakukan.

Jangan buru-buru kita simpulkan, mari kita putuskan sesuai dengan kondisi piskologis mereka. Untuk mengetahui kondisi psikologis bangsa yang oleh anggota DPR RI Yusron Ihza Mahendra sebagi bangsa umang-umang karena tidak memiliki badan ini, kita bisa mengujinya berdasarkan data dan pengalaman yang ada.

Berdasarkan hasil yang kita uji itu, kita akan mengetahui apakah cara terbaik menghadapi mereka adalah sarannya Romo Magnis yang efektif menghadapi 'Pecalang' Bali atau justru malah lebih pas mengguanakan cara saya seperti yang saya praktekkan ketika menghadapi anjing kampung yang arogan yang ada di komleks perumahan tempat saya tinggal.

Mari kita lihat.

Dulu Indonesia pernah protes baik-baik soal perlakuan mereka yang tidak manusiawi terhadap TKI, apa kata mereka , mereka punya hukum sendiri yang mengatur itu dan sebagai negara berdaulat mereka tidak ingin proses hukum negara mereka diintervensi. Saat jalur diplomasi digunakan untuk memprotes panggilan 'Indon' yang sangat melecehkan yang mereka pakai untuk meyebut warga negeri ini, apa yang mereka katakan "Oh...itu cume panggilan singkat supaye mudah diucapkan saje".

Kemudian berbagai kasus berlanjut, wasit karate yang merupakan utusan resmi negara ini yang datang berkunjung atas undangan mereka dipukulli oleh para militer negara itu yang memang khusus dibuat untuk mengejar-ngejar TKI. Indonesia yang kata Romo Magnis negara besar yang tidak perlu menunjukkan kebesarannya dengan cara marah-marah ini mendekati mereka manis-manis, seolah-olah mereka itu memang manusia normal. Yang terjadi malah mereka makin bertingkah pating petita-petiti.

Lihat lagi kemudian mereka mengklaim lagu orang ambon sebagai milik mereka, karena merasa tidak terlalu diseriusi kelancangan mereka berlanjut dengan meng-klaim reog Ponorogo. Mereka dengan jumawa menghambat penyebaran lagu-lagu karya musisi Indonesia di negara yang dipenuhi artis-artis tidak kreatif itu, menulis berbagai artikel di koran mereka supaya warganya membenci musik Indonesia. Begitu juga soal Blok Ambalat, waktu Indonesia masih petita-petiti sok-sokan main "diplomasi" sama melayu-melayu OKB itu; maka koran-koran merekapun pun isinya dipenuhi sikap-sikap pating petita-petiti seperti mereka itu sudah jadi negara super power di kawasan ini.

Tapi lihat waktu Pemerintah Indonesia tegas melarang pengiriman TKI, negara apartheid inipun kelabakan menyelesaikan beberapa proyek di negara mereka dan melayu-melayu tidak tahu diri itupun mulai menjilat-jilat pejabat Indonesia yang berkunjung ke sana, bahkan ada pejabat yang datang disambut dengan karpet merah segala. Semua mereka lakukan supaya Indonesia mau membuka kembali kran pengiriman TKI.

Lalu lihat pula ketika SBY mulai terus terang menunjukkan ketersinggungan orang Indonesia atas apa yang mereka lakukan. Perdana menterinya langsung datang merangkul SBY di Jakarta.

Jadi kesimpulannya, mentalitas orang Malaysia itu seperti mentalitas anjing kampung. Psikologinya orang Malaysia ya seperti psikologi anjing kampung di kompleks perumahan tempat saya tinggal, yang saya pukuli babak belur dengan linggis besi ulir sebesar jempol kaki.

Orang Malaysia itu memang perlu dihina, dikasari dan dinista. Nggak perlu dirangkul-rangkul dan pura-pura bersikap seolah-olah mereka bukan bangsa impoten saja.

Terakhir untuk Franz Magnis Suseno, kalau anda mau memberi pipi kiri untuk ditampari melayu-melayu gila itu, silahkan berikan pipi anda sendiri. Nggak perlu ngajak-ngajak kami, apalagi sampai mengatasnamakan Indonesia segala.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
New web site?

Drive traffic now.

Get your business

on Yahoo! search.

Yahoo! Groups

Mom Power

Find wholesome recipes

and more. Go Moms Go!

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment