Jurnal Sastratuhan Hudan
(pesan undangan - bisa kita acukan gema yang berulang ulang ini sebagai tarikan atas suatu obsesi, bentuk langsung pula dari misal penulisan sastra yang haruslah dan semestinya dikerjakan berulang ulang, dengan cara memandangnya dari banyak sudut demi dan untuk kelengkapan itu sendiri. adakah demonstrasi ini ada gunanya untuk daerah penciptaan sastra, sebuah daerah yang berbahaya bagi jiwa dan tubuh manusia itu? kelak kita melihat dari kemajuan sastra yang kita terus tatapi setiap hari)
TAKUT DAN TAHU
TAKUT DAN TAHU adalah sepasang pikiran yang kita jadikan titik-tolak, sebagai konsep dalam jiwa-kesadaran. Bahwa dunia terbentang ke dalam tiga waktu, waktu dari masa lalu kita, waktu dari masa depan dan masa kekinian kita manusia. Di tiga waktu itu, apakah yang kita ketahui dari pikiran yang melekat ke dalam dirinya suatu bawaan hendak logis. Misalnya takut dan tahu itu, adalah kelengkapan pikiran logis yang kelak akan kita acukan kepada persamaannya atas tiap kenyataan ada di dunia, sebagai adanya kita yang mengada di dunia, sebagai adanya benda-benda yang mengada di dunia pula.
Kita takut kepada sesuatu karena kita tahu akan sesuatu. Itulah logikanya: ia berputar, tapi ia juga memutar, kembali lagi ke induknya. Tahu berputar ke takut. Tahu bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan membuat kita takut kepada tuhan. Darimana kita tahu bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan?
Ilmu telah sedemikian jauh memecah diri, membatasi gerak dirinya ke suatu objek, dan semata hanya objek yang menjadi pandangannya. Ilmu membatasi dirinya karena logika paradigma di balik ilmu. Bahwa tugas ilmu menjelaskan, apakah isi benda-benda. Bukan apakah darimana dan hendak ke mana benda-benda. asal dan usul ini di luar jalur kawasan ilmu.
Tetapi siapakah yang hendak meneruskan daerah kosong keilmuan ini, dalam hubungan dengan rangkaian halus dan abstrak dunia dalam gerakan di tiga waktu itu? Hanya menjelaskan isi benda tanpa tahu ke mana dan hendak apa, terasa sebagai kemewahan pikiran seolah, sebagai juru masak yang selama hidupnya hanya memasak makanan, tanpa sekali pun pernah mencicipi kelezatan makanan yang dimasaknya. Bahwa makanan yang dimasaknya, misalnya, mendatangkan kesehatan atau racun bagi jiwa dan tubuh.
Maka kalau ilmu sudah membatasi diri seperti itu (tapi bukan tidak ada gunanya dalam hidup nyata sekat ilmu ini), haruslah ada yang mengambil ruang kosong yang telah ditinggalkan ilmu. Filsafat yang mengklaim dirinya sebagai jalur yang mencintai kebenaran, hendak merengkuh ke dalam dirinya suatu kearifan dari kebenaran dan kepastian yang ditatapinya, adakah ia kuat mengisi daerah kosong yang telah ditinggalkan oleh ilmu?
Dalam gerak mendugakan kebenaran dan kepastian yang hendak direngkuh oleh mata batinnya, filsafat mendayakan pikiran bebasnya. Untuk memasuki daerah daerah spekulasi yang telah dibatasi oleh ilmu. Tapi oleh filsafat diangkatnya kembali dengan jalan mencemplungkan dirinya ke medan dugaan atas tiap kemungkinan dunia, termasuk, kemungkinan akan masa lalu, masa depan dan masa kekinian itu sendiri.
Apakah sifat dan hakekat di tiga masa itu?
"Sudah adakah suatu unsur yang tetap dalam struktur alam semesta ini?"
Begitulah filsuf dan pujangga dari Timur, Iqbal, memulai diskusi dalam kehendaknya untuk melakukan rekonstruksi dunia dalam pandangan agama yang dianutnya. Pertanyaan yang diayunkan dan, seperti konsep takut dan tahu, meminta pula putaran lain sebagai keniscayaan logis dari pertanyaan serupa. Adalah rangkaian pertanyaan lain yang sebenarnya memang menjadi, bukan semata lalu lintas pertanyaan ilmu, filsafat, agama atau kesenian. Tapi rangkaian dari lalu lintas hidup manusia semuanya.
Kita hidup dalam dunia dan hanya dunia ini saja tempat kita hidup, bukan dunia lain dalam bentuk planet lain misalnya. Tapi hanya dunia ini. Sehingga keniscayaan dari pertanyaan Iqbal "sudah adakah" sangat masuk akal menempuh pertanyaan lanjutannya:
"Tempat apa yang kita duduki di dalamnya, dan apa pula macamnya sikap yang sesuai untuk tempat itu?"
Tapi filsafat yang kita harapkan untuk melakukan fungsi semacam itu, telah dikunci ke dalam situasi matinya oleh pikiran yang menolak kenyataan di luar, selain kenyataan pikiran yang logis, tapi nampaknya telah kehilangan sentuhan kelengkapan dari logika logis yang dibangunkan atas dirinya.
Kalau semesta lebar dikuncikan oleh ilmu dalam gerak batas, pagar bahwa itulah ciri dari keberadaan ilmu, maka semesta yang sama lebarnya pula yang dipakukan mati oleh filsafat dengan merumuskan filsafat sebagai burung yang hendak terbang, tapi matanya tak boleh melihat selain apa yang ia pandang.
Kita bisa tahu kuncian ini melalui rumusan Bertrand Russell atas apa kenyataan filsafat. Bertrand memang penganut ateis dan kita tak berkeberatan sedikitpun atas ateisme. Ateisme, seperti yang kelak akan kita lihat dari buku ini, bukanlah suatu yang tak memiliki sandaran argumen. Agama memang akhirnya, dalam tata rumit dunia sembunyi dan dunia nyata, mengangakan dari dalam dirinya sifat yang membuat orang tak percaya, putus asa, lalu berteriak, atau meneriakkan keputus-asaannya ke dalam ungkapan ateis tak percaya.
Memanglah demikian, bahwa paradoks dan kontradiksi hidup ini akhirnya hanyalah memuarakan diri ke dalam dua sikap besar itu: percaya atau tak percaya. Tapi percaya atau tak percaya dalam kaitan burung terbang yang matanya tak boleh diminta untuk melihat ke segenap pandangan, bukanlah watak baik dari ateisme, yang keateisannya sendiri adalah hasil dari suatu kelengkapan pandangan, hasil dari pengelihatan atas tiap persamaan yang menjadi ciri tak terpunahkan atas logika kelengkapan.
"Between theology and science there is a No Man's Land, exposed to attack from both sides; this No Man's Land is philosophy."
Baiklah memang ada daerah tak bertuan, Tuan Bertrand, tapi daerah tak bertuan itu bukan semata daerah isian yang hanya bisa dipenuhi oleh titik-titik air filosofi. Yang sebenarnya sepenuh dunia ini adalah dunia hamparan, suatu bentang yang boleh dipungut oleh siapa saja. Ilmu memungutinya. Agama memungutinya. Kesenian menjadikannya bahan baku untuk eksplorasi keindahan dalam diri. Filsafat juga meyentuhnya. Tapi sentuhan itu tidakkah, bisa kita lukiskan sebagai sentuhan pemain bola di lapangan permainan bola. Bahwa bola dunia ini seperti, atau seolah, sungguh adalah lapangan bola. Di mana masa lalu adalah gawang yang dijaga kiper lawan, masa depan adalah gawang kiper lawan yang lain, dan masa kekinian adalah ramainya orang yang menendang bola.
Tapi adakah orang menendang bola sendiri-sendiri? Patut dan layak kita renungkan: ilmu hendak menendang bola ke mana kalau bukan ke gawang lawannya? Dua gawang lawan bernama masa lalu dan masa depan diolah oleh ilmu, seperti 22 orang pemain bola, berebut dan berjatuhan, berlarian dan berhentian tiba-tiba, dengan bola-bola di kakinya.
Siapakah wasit saat kita melakukan tendangan atas bola dunia ini? Wasit dalam diri adalah nurani yang tak hendak diam. Wasit dalam dunia adalah tuhan yang tak kunjung kelihatan. Nurani dalam diri diisikan oleh Tuhan yang tak kelihatan. Tapi Bertrand tak percaya. Ilmu pun tak percaya. Sebenarnya bukan filsafat dan ilmu saja yang tak percaya, nyaris semua pemain kebudayaan yang mendayakan pikiran, sudah tak lagi bersandar, atau menyandarkan pikirannya, ke daerah ketuhanan. Dunia bergerak dalam logika pemimpin politik yang berkawan dengan para pengusaha, dan pemimpin politik mendapat masukan apa yang harus dikerjakan oleh daerah keilmuan. Tapi keilmuan adalah seolah burung yang terbang dengan kedua matanya yang buta. Filsafat tak hendak menolongnya, malah makin mengajaknya terbang dengan kedua mata terkatup.
Mata kita telah buta, tapi siapa yang akan membuatnya terbuka kembali? Tapi benarkah mata kita telah buta? Tidakkah ini semacam retorika dari pikiran yang hendak logis tapi dirinya telah dihela ke arah lain, dalam kaitan dengan dunia, yang memang tak perlu diumpakan sebagai dua gawang lawan?
Dalam kebutaan mata kita, bolehlah kita mendang bola ke mana suka. Bola melambung dan jatuh ke mana ia suka, seperti bola yang kita tendang melambung ke mana ia suka. Dua gerakan yang tak perlu rumusan, apalagi pengelihatan atas otoritas yang logika logisnya terasa sebagai teriakan dari mitos mitos masa lalu: agama.
Apa kata agama, dalam soal tendang-menendang bola dunia? Bagaimana menguji otoritas agama dalam pengelihatan dua lawan terberatnya, yakni ilmu dan filsafat, membuat kita harus menghadirkan kerja keilmuan dan kerja kefilsafatan dalam pikiran yang hendak menautkan kembali bidang bidang yang telah terputus ini.
(hudan hidayat)
- dari sebuah naskah buku yang hendak diterbitkan