----- Original Message -----
From: ASAHAN
To: AKSARA SASTRA
Sent: Sunday, October 03, 2010 10:21 PM
Subject: MENYAKSIKAN FILM "TJIDURIAN 19"
ASAHAN:
MENYAKSIKAN FILM "TJIDURIAN 19"
Ada tiga buah film ( dvd/vcd atau entah apalagilah namanya) yang diputar di Diemen-Amsterdam hari ini oleh penyelenggara atau panitia dari PERSAUDARAAN dengan bekerja sama dengan berbagai organisasi lainnya. Saya mulai dengan film "TJIDURIAN 19" yang berdurasi 41 menit. Ada dua muka yang penting sebagai bagian dari sebuah medali yang berbeda nilai setiap bilahnya.
Bilah pertama: NILAI DOKUMENTASI( SEJARAH).
Nilai dokumentasi film ini saya nilai tinggi, berguna dan bermanfaat bagi setiap peneliti sejarah maupun orang awam yang punya minat terhadap sejarah bangsanya di masa lalu. Saya tidak mau berpanjang-panjang memberikan nilai positip segi dokumentasi film ini, tapi dengan tulus saya bisa menghargai para pembuat film ini yang telah menyumbang barang berharga ini di segi dokumentasi dan pengetahuan sejarah.
Bilah ke dua: NILAI IDEOLOGI (semangat revolusioner).
Di bilah ini saya sangat kecewa. Para tokoh tingkat sesepuh "LEKRA"dengan nada dan nafas yang sama tapi dengan kata-kata yang berbeda melampiaskan penyesalan mereka terhadap PKI (saya kecualikan Sabar Anantaguna). Bahkan Oey hay Djoen dengan nada bersemangat menuduh PKI memaksakan Lekra untuk diKOMUNISkan, membikin organisasi WANITA KOMUNIS karena katanya beberapa pimpinan inti PKI tidak berhasil memaksa GERWANI menjadi organisasi wanita Komunis. Tuduhan Oey hay Djoen (OHD) tentu saja tidak bisa dibuktikan, tidak ada dokumennya dan hanyalah tuduhan lisan berlapis emosi kemarahan dan kekecewaan terhadap PKI. Demikian pula para tokoh Lekra lainnya yang tidak usahlah saya sebut namanya satu persatu di sini karena kalau memang tertarik, haruslah melihat sendiri film ini. Sebuah ironi lain adalah bahwa sebagian terbesar para tokoh pengarang terkermuka Lekra yang di wawancarai dalam film ini pada umumnya punya "ÍJAZAH" atau sertifikat PULAU BURU sebagai sebuah jaminan pengalaman buangan dan penjara serta siksaan rezim suharto yang tidak bisa diragukan kekejamannya. Ketika berpuluh tahun lalu semasa saya masih berada di Vietnam untuk belajar pengalaman revolusi rakyat Vietnam mengusir kaum penjajah atau kaum Imperialis Perancis, Jepang dan Amerika Serikat, para kader Partai Pekerja Vietnam dari mulai yang paling rendah hingga kader tertinggi mereka yang pernah mengalami siksaan-siksaan di penjara musuh, telah menceritakan pengalamannya secara jujur dan tulus kepada kami dan kesan yang kami dapat cuma satu: penderitaan yang tak terperikan, tanpa menyerah, tanpa kompromi, hidup atau mati melawan musuh dan tanpa satu kata penyesalan terhadap Partai, terhadap perjuangan meskipun dalam keadaan kalah dan perjuangan sedang menurun dan terpukul sangat hebat oleh musuh. Jadi pantasan saja mereka ahirnya bisa merebut kemenangan. Tapi sebagian terbesar para pengarang Lekra dalam film ini seolah berlomba-lomba dengan caranya sendiri melampiaskan penyesalan mereka terhadap Partai yang dulu mereka junjung tinggi, terhadap perjuangan revolusioner yang pernah mereka sokong tanpa pamrih. Tapi begitu Partai mengalami kekalahan berat dan perjuangan revolusioner mengalami kekandasan dan bahkan kehancuran total, semangat revolusioner sebagian terbesar orang-orang Lekra setelah menerima pendidikan musuh dalam buangan dan penjara-penjara menjadi merosot hingga titik nol. Ternyata sebagian terbesar dari para pengarang dan seniman Lekra bukanlah orang revolusioner sejati, bukan para pejuang rakyat yang bisa dipercaya, bukan pengemban misi sejarah di bidang sastra dan seni yang akan membawa rakyat Indonesia ke gerbang kebebasan yang akan menuju sosialisme, bukan patriot terdepan dalam front sastra dan kebudayaan kiri Indonesia atau dalam satu kata yang dipersingkat: MENTALITAS. Mereka tidak mempunyai mentalitas pejuang revolusioner yang teruji dan bila mau berkata lebih jujur lagi, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka telah menjadi orang-orang anti komunis, melepaskan perjuangan dan mencari kehidupan baru: ketenangan dan kesentosaan hidup pribadi dengan cara melepaskan dendam klas(apa pernah mereka punyai?), "berdamai dengan diri sendiri" (kata-kata Putu Oka Sukanta) atau dengan kata lain; PASIFISME dengan musuh-musuh mereka untuk selama-lamanya (abadi). Rakyat tidak lagi memerlukan mereka dan merekapun telah meninggalkan rakyat. Dan alangkah indahnya. Semua itu telah terdokumentasi yang mereka buat sendiri dalam film-film maupun dalam pernyataan-pernyataan lisan serta tulisan-tulisan mereka sendiri.
ASAHAN.
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment