Friday, August 13, 2010

[ac-i] KHI, Nasionalisme yang tidak sekadar Polesan! (Media Indonesia,13/08/2010. P.27)

 

Komunitas Historia Indonesia:

NASIONALISME YANG TIDAK SEKADAR POLESAN

(Media Indonesia, Edisi 13 Agutus 2010. P.27)


Oleh: Vini Mariyane Rosya (vini@mediaindonesia.com)

 

Perayaan kemerdekaan kental dengan merajut kembali benang-benang ingatan sejarah perjuangan bangsa ini. Benarkah kemeriahannya cuma hadirkan nasionalisme semu? Tanggal 17 Agustus tinggal hitungan jari.

 

Kemeriahannya se makin terasa. Mulai dari semakin maraknya penjual berbagai penjual atribut 17-an hingga gang-gang pinggir jalan pun mulai menghias diri dengan gapura dan bendera-bendera merah putih.

 

Sayangnya lebih banyak yang lebih suka mengartikan perayaan kemerdekaan sebagai penerusan tradisi melakukan perlombaan ketimbang memaknai nasionalisme itu sendiri.

 

"Justru yang tampak sekarang ini, ya 17-an sekadar sarana bersenang-senang yang meneruskan ajaran kolonial dengan berbagai perlombaan makan kerupuk, panjat pinang, balap karung. Bagi saya ini tradisi yang kurang baik. Harusnya ada pemaknaan nasionalisme itu sendiri," ungkap Ketua komunitas Historia Indonesia (KHI) Asep Kambali, kemarin.

 

Menurut Asep, menyambangi perlombaan dan pesta kemerdekaan yang tak jarang melewati garis hedonisme hanya akan menghasilkan nasionalisme yang sekadar polesan. "Terlalu kasihan kalau nasionalisme hanya dimaknai lomba balap karung dan sejenisnya, tak ada istimewanya. Dan sama sekali tidak membantu kita menapak tilas sejarah," sesalnya.

 

Hal itu yang menjadi salah satu alasan KHI menawarkan alternatif perayaan hari kemerdekaan. Sejak berdiri tahun 2002 dan diresmikan Maret 2003, KHI selalu menawarkan gaya segar dalam merayakan kemerdekaan. Tak sekadar menyenangkan, kegiatan KHI ini sekaligus ingin menyegarkan kembali sejarah perjuangan bangsa.

 

"Yang paling dekat tanggal 16 Agustus nanti, KHI akan memperingati dengan cara napak tilas di museum. Ini sudah berlangsung sejak tahun 2002. Kami akan mengerahkan massa, konvoi dari Museum Juang ke Tugu Proklamasi, dengan menampilkan seni-seni khas Indonesia, mulai dari reog, barongsai, hingga menyulap suasana Jakarta menjadi tempo dulu dengan berbagai pawai mobil tua dan sepeda onthel," paparnya.

 

Selain itu, lanjut Asep, KHI pun mengadakan berbagai lomba, bukan makan kerupuk atau bakiak, melainkan lomba menjadi tokoh-tokoh sejarah serta membaca teks proklamasi.

 

"Tak hanya memainkan semacam role playing, masyarakat juga bisa melihat pemutaran film sejarah, seperti Janur Kuning atau Max Havelaar, atau belajar memahami teks proklamasi," sahutnya.

 

Anggota KHI lainnya, Ikung Indrawati mengatakan dengan pengemasan peringatan yang lebih bermakna, masyarakat diharapkan akan lebih menyadari dan mengingat siapakah bangsa ini dulunya.

 

"Jadi masyarakat sadar siapakah dirinya yang sebenarnya, lalu kemudian membangun masa depan bangsa ini lebih baik. Ini sebenarnya inti belajar sejarah," ucapnya. Membangun Nasionalisme, diakui Asep, bukanlah perkara mudah. Apalagi masyarakat metropolis sadar atau tidak telah terlena pada gaya hidup global. Menurut Asep, kunci nasionalisme yang sesungguhnya hanya akan tumbuh lewat pemahaman kesejarahan yang baik.

 

"Sulit rasanya mengakui seseorang yang mengaku nasionalis kalau pengetahuan dasar sejarah saja ia tidak tahu. Apa makna nama Indonesia, siapa yang memberi nama Indonesia pertama kali, siapa para pendirinya, kapan, ini semua merupakan ukuran kognisi, pengetahuan masa lalu," papar Asep.

 

Jebolan Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta tersebut mengatakan pemahaman sejarah yang baik akan terlihat jelas lewat dua faktor afeksi dan psikomotorik, bukan semata kognitif.

 

"Setelah tahu, apakah seseorang memiliki sikap ingin menjaga Indonesia? Kritis terhadap persoalan bangsa? Semua itu tidak akan terwujud jika tidak memiliki pengetahuan, serta tak akan tampak kalau tidak punya indikator ketiga, yakni keinginan untuk bertindak, berperilaku atau aksi, atau psikomotorik," tuturnya.

 

Kalau nasionalisme ini tidak juga dipahami secara utuh, lanjut Asep, hal tersebut akan dijadikan alat oleh bangsa lain untuk mengalahkan bangsa ini. "Kejahatan yang sifatnya tidak kelihatan ini harus dilawan oleh soft power, ini yang harus dikuatkan melalui pendidikan sejarah dan pemahaman nasionalisme," tandasnya.

 

Ikung menambahkan, ironisme juga terlihat dari ketidakpedulian masyarakat akan pembelajaran sejarah. "Masyarakat jauh lebih peduli dengan kebutuhan hidup dan bersenang-senang daripada mengeksplorasi sejarah," sahutnya miris. Ironis Sebenarnya, menurut Asep dan Ikung, faktor penting pembentukan nasionalisme ada pada pendidikan sejarah yang mumpuni di semua jenjang pendidikan. Sayangnya, pemerintah pun dinilai Asep belum juga menunjukkan keseriusannya menyajikan pembelajaran sejarah yang benar-benar bernilai.

 

"Dari mulai jam pelajaran yang hanya 2 jam, pengajar sejarah yang tak punya dasar pendidikan sejarah, kurangnya fasilitas dan media pembelajaran sejarah, kurikulum yang membelenggu, birokrasi, hingga pola pikir masyarakat bahwa belajar sejarah maka masa depannya suram dan tak bisa kerja. Jadilah pendidikan sejarah hanya ala kadarnya," sesal Ikung.

 

Pendidikan, tambah Asep, harusnya tak sekadar pendidikan fisik belaka, tapi juga harus mampu membangun jiwa. "Jadi tak sekadar bangunan. Keutuhan bangsa ini hanya pada jiwa. Kalau anak-anak muda kita sendiri yang menghancurkan nilai-nilai sejarah, kita tidak akan punya kapasitas yang sama untuk hidup sebagai bangsa," tegasnya.

 

Di negara maju seperti Amerika Serikat, perlakuan masyarakat untuk sejarahnya lebih terhormat. Tak hanya proporsi dan kualitas pembelajaran yang jauh lebih baik daripada kurikulum Indonesia, sejarah menjadi salah satu tolak ukur signifikan dalam setiap tes pejabat publik.

 

"Untuk jadi senator ada ujian sejarah terlebih dahulu di Amerika. Kalau mau jadi gubernur, ada tes sejarah Amerika. Kalau kita? Di ujian nasional saja tidak ada," tambah Asep. (M-4)

 

 

BIAR SEJARAH LEBIH GAUL


BERAWAL dari kegerahan melihat bagaimana kebanyakan orang dan pemerintah memperlakukan sejarah, Asep Kambali bersemangat membangun Komunitas Historia Indonesia (KHI). Misinya sederhana, ia ingin publik, terutama generasi muda memandang sejarah sebagai sesuatu yang gaul, menyenangkan, dan populer.

 

"Saya ingin sejarah punya image baru di masyarakat. Bukan paradigma yang bahwa sejarah memiliki masa depan suram, lapuk, kumuh, tua, melainkan sejarah yang menarik, gaul, populer, mengedukasi, dan menghibur," ucapnya.

 

Ikung Indrayati yang turut serta mendirikan KHI mengatakan pendekatan sejarah terhadap remaja memang tak bisa begitu saja disamakan dengan orang dewasa. Remaja membutuhkan pembelajaran sejarah yang lebih interaktif.

 

"Jadi sifatnya lebih dua arah dan banyak diskusi. Bisa juga dengan terjun langsung ke tempat-tempat bersejarah, atau bertemu dengan tokoh-tokoh sejarah ataupun keturunannya yang masih hidup. Pasti ada nuansa yang berbeda mengetahui seorang tokoh dari narasumber langsung, bukan buku," paparnya.

 

Ikung mencontohkan pengalamannya saat di sekolah tempatnya mengajar ada seorang cicit Soekarno. Saat ia bersama anak didiknya mengunjungi dan mend engarkan cerita sosok Bung Karno dari anak itu, ada perspektif baru yang didapat. Selain itu, pengajar sejarah ini juga melihat perlunya penyajian acara-acara kesejarahan yang bisa diselingi hiburan yang menarik untuk remaja. Sejarah, imbuhnya, tidak perlu kaku untuk dipelajari. "Misalnya adakan semacam konser musik. Menurut saya hal-hal ini diperlukan," ucapnya.

 

Asep dan Ikung bersama rekan-rekan dalam komunitas yang saat ini anggotanya telah menyentuh angka 9.000 orang tersebut memang senantiasa mengasah kreativitas dalam menyuguhkan sejarah.

 

"Kami sangat anti dengan metode pembelajaran sejarah yang konvensional, dengan hanya baca buku dan mendengarkan guru di kelas yang membuat tidur. Saya pun menciptakan lomba History Amazing Race, semacam lomba mengenal sejarah dari museum ke museum. Ternyata animo cukup banyak," ujarnya.

 

Selain lomba, sejak 2005, KHI telah sering mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak sekolah untuk mengadakan kunjungan ke museum, artefak, atau benda sejarah hingga ke situs-situs sejarah. "Nah dengan guide yang supel, kita bisa ajak anak-anak itu mengenal sejarah dengan lebih menyenangkan," ucapnya. Bisa sejahtera Selain pengembangan metode belajar, Asep juga selalu meyakinkan banyak orang bahwa ilmu sejarah pun dapat menyejahterakan. "Sejak beberapa waktu lalu saya membuat program, yang intinya itu mengumpulkan lulusan sejarah, lalu melatih mereka untuk menjadi guide museum atau situs yang gaul dan menyenangkan. Setelahnya mereka bisa langsung menjadi guide, penghasilannya lumayan," ucapnya.

 

Mahasiswa magister ilmu komunikasi perusahaan Universitas Paramadina tersebut juga sedang gencar-gencarnya mempromosikan pentingnya pendidikan sejarah bagi pegawai ke sejumlah perusahaan. Respons beberapa perusahaan ternyata cukup baik. "Jadi kami bisa membuat semacam program bersama," imbuhnya.

 

Malah, Asep juga sempat ditawari salah satu stasiun TV nasional swasta untuk mencarikan lulusan jurusan sejarah yang potensial. Lulusan tersebut ingin diberdayakan sebagai pembawa acara berbasis sejarah. "Ini contoh banyak hal yang bisa dieksplorasi dari ilmu sejarah ini," tandasnya. (*/M-4)

 

TESTIMONI

Hirman Setiawan

Kepala Museum Mandiri, juga Anggota KHI.

 

Saya sangat sering bekerja sama den gan Komunitas Historia Indonesia (KHI). Dari sejak Museum Mandiri berdiri di Kota Tua pada 2004 akhir, Kang Asep sudah sangat sering berkunjung dan membawa rombongannya. Yang unik dari komunitas ini adalah seringnya mereka membawa rombongan remaja dan pelajar. Mereka suka mengemas paket-paket menarik untuk remaja dan pelajar yang terjangkau. Menurut saya ini bagus sekali dan saya salut dengan yang dilakukan KHI.

 

Bagi saya, pengenalan sejarah kepada remaja akan membuat mereka mengenal para pendahulu mereka dan mengambil contoh dari mereka, baik dari sikap hidup, perjuangan, kerja keras, maupun pengorbanan mereka.

 

Mempelajari pahlawan akan membuat para remaja lebih baik dalam bersikap dan memutuskan sesuatu. Jadi singkatnya mereka tidak hilang arah. Saya melihat KHI telah menawarkan pembelajaran, tapi tak menghilangkan kesenangan mereka. Mereka bisa tetap konvoi, nongkrong bareng, dan berfoto bersama dengan paket seharga Rp60 ribu atau Rp70 ribu saja.

 

Jadi anak-anak ini tak sekadar memandang museum atau Kota Tua untuk latar foto, tapi juga ada banyak nilai yang didapat. Singkatnya tetap santai, tapi ada nilai yang dibawa.(*/M-4)



KOMUNITAS HISTORIA INDONESIA (KHI)
Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia
Phone         : (021) 3700.2345, Mobile: 0818-0807-3636
E-mail/FB  : komunitashistoria@yahoo.com


__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment