MENYERAHLAH, ELIT INDONESIA!
Oleh :
Viddy AD Daery Kalian tak bisa terus-terusan membohongi kami, berbuat jahat terhadap kami,
berkhianat terhadap kami, sambil berpura-pura berpihak kepada kami. Kami sudah
tahu belang kalian, kami sudah mengepung kalian! Kalian tak bisa lagi
kemana-mana, karena kemanapun kalian melangkah, kalian memijak air mata kami,
kemanapun kalian terbang, kalian akan lelah dan hinggap di air mata kami.
Kemanapun kalian berlayar, kalian mengarungi air mata kami.
Semenjak Sukarno berubah menjadi "Raja Jawa" ketika ia sudah merasakan nikmatnya
kursi presiden, kami sudah tahu bahwa kami mulai kalian khianati.
Sukarno membangun istana-istana megah untuk para isterinya, darimana uangnya?
Tentu uang kami.
Tapi kebodohan kamilah yang tak pernah mempersoalkan hal itu sampai kini.
Kebodohan kami membiarkan Sukarno mencetuskan dekrit presiden yang menghapus
demokrasi dengan membohongi kami memakai nama "Demokrasi Terpimpin". Kebodohan
kami membiarkan Sukarno melantik dirinya sendiri menjadi Paduka Yang Mulia
Presiden Seumur Hidup, karena kami yang bodoh terlalu berterimakasih terhadap
pengorbanannya memimpin kami mendirikan negara baru Indonesia merdeka ini.
Sehingga kami mempertuhankan Sukarno, kami membangun kultus individu—bahkan
sampai kini—dan membiarkan Sukarno berbuat semaunya, mengkhianati kami,
sekaligus mengkhianati prinsip dan cita-citanya sendiri.
Ketika Suharto memperdayakan Sukarno, kamipun mengikuti saja skenario Suharto,
kami menuruti apa saja jenis ajakan Suharto mengganyang Sukarno dan Orde Lama
beserta semua antek-anteknya, sehingga hasilnya kami mengobarkan perang saudara
yang mengerikan, karena kami yang sudah muak dan lelah dikhianati Sukarno dan
Orde Lama menjadi terlalu pusing untuk diajak berfikir jernih.
Suharto memberi harapan baru kepada kami. Para koruptor Orde Lama dipenjara, dan
ekonomi dibangun. Kami tak lagi dibiarkan kelaparan. Jalan-jalan lama yang
terlantar sejak zaman Mojopahit ( dalan gung atau delanggung ) diperbaiki dan
jalan-jalan peninggalan Belanda ditingkatkan mutunya, serta yang perlu diberi
acungan jempol di zaman Suharto: jalan-jalan barupun dibuka, dirambah dan
dibangun, diaspal rapi.
Kehidupan seni budaya dibina. Subsidi-subsidi dikucurkan untuk membangun
pusat-pusat pendidikan murah, pusat-pusat seni budaya, pusat-pusat kajian
intelektual, pusat-pusat iptek, pusat-pusat keagamaan, dan beasiswa-beasiswa
untuk mencari ilmu ke negara maju digalakkan.
Tapi kebaikan Suharto berangsur surut sejalan dengan semakin lamanya dia
berkuasa dan kembali terkena penyakit kekuasaan yang korup dan dekaden, apalagi
ketika anak-anak dan cucunya semakin besar dan dewasa lalu diajari ilmu
pengkhianatan terhadap rakyat oleh para syaitan-syaitan politik dan ekonomi, dan
Suhartopun mulai kejam terhadap kami.
Kami kembali dibungkam, seperti zaman Sukarno, bahkan kami dibunuhi dan
kebebasan dirantai, hingga akhirnya kami hampir putus asa terlalu lelah puluhan
tahun disiksa Suharto.
Kami kembali berteriak gembira ketika mahasiswa disupport Brutus-brutus
mengkudeta Suharto di saat usia Suharto sudah renta, dan terlambat menyadari
bahwa manusia tak akan bisa selamanya berpura-pura menjadi Tuhan.
Tak ada yang lebih kami kenang ketimbang saat-saat yang gegap gempita sempena
detik-detik kejatuhan Suharto. Kami ramai-ramai bersujud syukur di aspal jalan
raya, kampung-kampung berpesta memotong ayam atau kambing, dan televisi-televisi
yang rata-rata kepunyaan anak-anak Suharto menyanyikan lagu-lagu perjuangan
seakan-akan kami baru merdeka dari penjajahan, seakan-akan televisi-televisi itu
bukan milik anak-anak bos yang mereka jatuhkan.
Tetapi memang semua itu hanya tipuan, dan kembali kami tertipu. Rupanya
reformasi hanyalah milik para Brutus yang mengkhianati Suharto dengan
menunggangi gerakan mahasiswa yang berdarah-darah dan disumbang dengan darah dan
nyawa kami rakyat kecil, tanpa pernah berfikir dan berniat untuk membela kami
sedikitpun.
Para Brutus hanya ingin mengganti Suharto dan orang-orang elitnya lalu menduduki
jabatan sebagai Suharto/Tuhan baru serta mendudukkan orang-orang elitnya untuk
menjadi pemeras kami yang baru, penjajah kami yang baru, penipu kami yang baru.
O tidak,tidak! Bahkan lebih parah lagi dari itu. Rezim Brutus bahkan menemukan
sistem baru untuk menindas kami, yakni membuat nama-nama baru, peran-peran baru,
lakon-lakon baru, idiom-idiom baru, wacana-wacana baru, tetapi intinya sama:
yakni menjajah dan menistakan kami lebih kejam dan lebih sadis ( pada inti
hakekatnya ) ketimbang rezim Sukarno dan Suharto.
Pemerintahan-
pemerintahan Gus Dur, Megawati dan SBY, didukung oleh
parlemen-parlemen pusat dan daerah yang semuanya pengkhianat rakyat, menemukan
formula baru, yakni menindas kami sambil tersenyum ramah dan merangkul kami,
menginjak kami sambil membaca puisi dan bernyanyi-nyanyi, menggorok leher kami
sambil berdiskusi serius-santai dan membunuh anak-anak kami sambil melontarkan
wacana-wacana ilmiah populer.
Mereka menaikkan BBM dan menelantarkan rakyat yang kelaparan, membiarkan
jalan-jalan rusak, sampah-sampah menumpuk di tiap perempatan jalan, sambil terus
pasang iklan tentang majunya pembangunan di televisi dengan menyewa
pelawak-pelawak bebal kami.
Padahal di televisi yang sama, setiap item berita dan acara, sebagian besar
justru berisi siaran mengenai kebusukan dan kebobrokan pemerintah, kemiskinan
dan kemelaratan rakyat, kerusakan dan kehancuran alam, tapi toh kehidupan tetap
berlangsung aman dan damai serta santai, karena memang itulah keajaiban kami
yang lebih bodoh ketimbang keledai.
Ya, ya, ya, kami adalah keledai milenium, atau malah lebih sesat ketimbang
bangsa-bangsa jahiliyah yang pernah disebut kitab-kitab Suci, seperti kaum Ad,
Tsamud maupun Samiri.
Kami sudah berulang kali ditipu, tetapi toh di setiap pemilu, kami tetap memilih
para penipu sebagai para pemimpin kami, sedangkan para pemimpin bersih justru
kami olok-olok, kami lecehkan, bahkan ada yang kami gorok. Adakah yang lebih
bebal dan mokal ketimbang kami?
Tetapi sebodoh-bodohnya kami, sekonyol-konyolnya kami, segila-gilanya kami yang
sudah taraf gila beneran, kami masih punya senjata air mata. Airmata itulah
senjata pamungkas kami. Airmata itulah yang akan mengejar kalian, wahai elit
penipu!
Ayo kemana kalian akan lari? Ke Singapura? Tempat favorit kalian itu sudah kami
penuhi dengan airmata TKI kami. Ke Mauritiuskah kalian sembunyikan duitmu agar
lolos dari pajak kami? Airmata kami sudah mulai mengalir mengelilingi negara
kepulauan kecil itu, dan air mata kami menunggu untuk menjadi gelombang tsunami.
Ayo kemana kalian akan lari? Amerika, Kanada, Australia bahkan Negeri-negeri
Bahama dan Jamaika sudah dalam kepungan air mata kami. Maka, menyerahlah kalian
elit Indonesia! Menyerahlah kepada kedalaman air mata kami!!!
Bintaro,Jakarta Selatan, Maret 2005==
Sumber ide : Sajak "Tanah Air Mata" karya Sutardji Calzoum Bachri
Viddy AD Daery atau Drs. Anuf Chafiddi, lahir di Lamongan, 28 Desember 1961.
Lulus sebagai sarjana sosiologi dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya tahun
1987. Menulis puisi, cerpen, novel, kolom, esei, artikel, naskah drama dan
naskah-naskah televisi.
--------------------------------------------------------------------------------\
--------------------------------
Penyelenggara
Panitia Sarasehan 17 Agustus 2005
Ketua: Sri Margana (Leiden)
Sekretaris: Gogol Rusyanadi (Amsterdam), Arief Tahsin (Woerden)
Bendahara: Sardjio Mintardjo (Leiden)
Acara: Helena Yoranita (Leiden-Den Haag), Sudarmoko (Leiden), Heri Latief
(Amsterdam)
Tim Perumus: Agung Tri, Irwansyah, Sudarmoko, Heri Latief, Ahmad Sabiq
Pembantu Umum: Muridan S. Widjojo (Leiden)
Notulensi: Zulfan (Den Haag), Deden (Den Haag)
Tim Perdamaian: Eny, (Den Haag), Qorinilwan (Den Haag), Ricardus wawu (Den Haag)
, Roy ( Utrecht)
Dokumentasi: Marek Ave (Leiden), Pinta mawi (Almere), Reinhad. S (Den Haag)
Konsumsi: Esther.S, Esther Lumanauw (Utrecht)
Penyedia Sarana: Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Drs.. Muhajir, MA. (KBRI)
Lembaga Pendukung:
Stichting Indonesia Media, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda,
Perhimpunan Dokumentasi Indonesia, PPI Belanda, PPI Den Haag, PPI Leiden, PPI
Mastricht, Sastra Pembebasan, Stichting Asia Studies (SAS), Stichting Indonesia
Sejahtera (SIS), Yayasan Sapu Lidi.
Fasilitator:
Agung Tri (Aktivis Perempuan, Aktivis Jaringan Kerja Budaya)
Martin van Bruinessen (Profesor, Universitas Utrecht)
Irwansyah (Mahasiswa I.S.S. Den Haag, Aktivis Politik Ekonomi)
Sekretarian Panitia Sarasehan 17 Agustus 2005
NEDERLAND
Korenbloemlaan 59
2343 VB Oestgeest
Tel: +31.071.5171920
+31.071.5228209
HP: +31.617412517 (Margana)
+31.654934754 (Arief)
fax: +31.071.5171920
E-mail: merdeka60@...
---------------------------------
Start your day with Yahoo! - make it your home page
[Non-text portions of this message have been removed]
No comments:
Post a Comment