TELAT TERBIT EDISI PEREMPUAN
Majalah MATA JENDELA Volume I Nomor 1/2009
Terbitan Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
Emansipasi, Peran Perempuan?
Perempuan (pra)Indonesia terbiasa berjuang sendiri. Mitos perempuan Nusantara yang lemah lembut, penurut, dan tak mandiri sebenarnya sudah terbantahkan. Banyak ratu perempuan yang termasyur besikap sangat adil dan bijak, yaitu Putri Shima, penguasa kerajaan Kalingga. Ratu Tribuwana Tungga Dewi pernah memimpin Majapahit. Tidak heran bila di Jawa R.A. Kartini dan Dewi Sartika berani mempejuangkan emansipasi pendidikan dan pemberdayaan perempuan. Perempuan juga berani berperang melawan kolonialisme Belanda dilakukan Cut Nya Dien (Aceh), dan Nyi Ageng Serang (Jawa Tengah). Sejarah mencatat kiprah dan perjuangan kaum perempuan yang dapat memimpin kaum maskulin. Femi-nitas yang melekat pada diri perempuan bukanlah kendala, tetapi mereka mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan perkasa.
Kehidupan nyata sehari-hari, banyak perempuan menjanda atau single parent mampu berperan aktif di keluarga maupun masyarakatnya. Banyak perempuan yang mampu hidup mandiri sebagai pedagang, petani, dokter, insinyur, perwira tinggi polisi, hingga presiden. Mereka banyak menopang kehidupan ekonomi keluarga. Perempuan yang difiksikan Linus Suryadi AG, sebagai Pariyem yang pasrah, nrima, dan sumarah atas kekuasaan feodal patriarki, tampaknya dengan pendidikan dan tantangan yang dihadapi kaum perempuan dengan berbagai ragam sektor maupun tuntutan profesi, pekerjaan modern yang nonagraris seperti tentara, pilot, operator alat berat, sopir, atau politik dan sejenisnya yang dahulu dianggap profesi kaum pria, kini juga dilakukan kaum Hawa.
Arus ekstrim dari emansipasi wanita di Indonesia adalah gerakan feminisme, yang sebagian orang menganggap, sebagai gerakan kesetaraan perempuan kaum sekuler, kebarat-baratan, oleh karennya bertentangan dengan budaya ketimuran. Indikasinya sejumlah perempuan yang belajar ke Eropa-Amerika dengan perjuangan kesetaraan gender menguat sebagai penggerak feminisme radikal, sosial maupun liberal. Pengamalannya kaum feminis dalam hidup keseharian dengan tidak dan kurang menghormati lawan jenisnya, lalu terjebak dalam hubungan sejenis, atau hidup bebas tanpa terkendali. Ins-titusi keluarga dinafikan. Fungsi reproduksi dihapus dari amanat dan kodrat perempuan. Tentu, feminisme sebagai wacana dapat dikritisi, dikembangkan, dan memperkaya wacana emansipasi wanita di Indonesia, dengan mewacanakan feminisme sosial-religius-humanis, atau emansipasi Pancasila?
Wacana feminisme Islam yang juga berkembang dengan media massa yang Islami, kadang juga berkabar sumbang karena mendukung poligami. Poligami yang keras ditentang kaum emansipasi dan para feminis, justru direspon baik oleh kaum feminis Islam. Anehnya, kasus KH A'a Gym yang berpoligami, disambut reaksi keras dan kemudian terjadi gerakan sosial kaum perempuan Islam yang memprotes, memboikot, dan menghukum secara cultural aktivitas kyai tersebut, merupakan bukti Islam, khusunya kaum muslimat menentang poligami. Islam, juga feminisme Islam sebenarnya tidak memberi kesempatan berpoligami, karena syarat poligami kaum muslim bersyarat harus bisa berbuat adil, sangat sulit diwujudkan dan dipenuhi oleh manusia biasa.
Emansipasi wanita, kini feminisme, atau kesetaraan gender hendaknya dipahami sebagai pemberdayaan peran perempuan dalam semua segi kehidupan agar sejahtera. Tanpa menanggalkan fungsi kodratinya, sebagai penjaga penerus kelahiran manusia. Selama kaum perempuan mampu dan mau, biarkan saja berkarya, beribadah, serta berkiparah. Begitu saja 'kan mestinya memahami perempuan dan gerakannya?
ARTIKEL ISI:
Kartini dalam Himpitan Feodal-Kolonial:
Membaca Ulang "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer
Oleh Choirotun Chisaan, Direktur Eksekutif Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan, Fatayat Nahdlatul Ulama, Yogyakarta
Perempuan Jawa Kini, Tidak Ada Lagi Kanca Wingking
Oleh Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta
Bingkai Identitas Perempuan 'Islami'
(Membandingkan Dua Majalah Perempuan Islam)
Oleh Arie Setyaningrum, staf pengajar di Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM,sedang menempuh studi S3 bidang Jajian Media dan Budaya Masyarakat Muslim Kontemporer di Universitas Humbolt, Berlin, Jerman
Menjadi Bahagia:
Psikologi Positif dan Eudaemonia
Oleh Bagus Takwin, staf pengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Gerakan Perempuan dan Kekuasaan:
Gerakan Perempuan yang Tersingkirkan di Indonesia
Oleh Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, bekerja di pasar modal Jakarta
Perempuan Jawa yang Berubah dan Mengubah Dunia
Oleh Damairia Pakpahan, aktivis perempuan, tinggal di Yogyakarta
Tatang S., Komikus dan Pemerhati Sosial
Oleh Fandy Hutari, penulis sejarah, penyuka seni
Tari Ditinjau Ulang:
Catatan Kecil dari 9th Indonesia Dance Festival Oktober 2008
Oleh Anastasia Melati, alumnus Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Tari, ISI Yogyakarta, dan Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Puisi-puisi
Oleh Dorothea Rosa Herliany, penyair, tinggal di Magelang
Anda ingin mendapatkan majalah MATA JENDELA? Hubungi ibu Munika Utun Wijayati (pada jam kerja) di Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123, Telepon 0274-523512 dan 561914, atau lewat e-mail matajendela@yahoo.com