Thursday, March 11, 2010

[ac-i] A.Kohar Ibrahim: Tentang Buku Lekra Tidak Membakar Buku & Larangannya

 

Tentang Buku Lekra Tidak Membakar Buku & Larangannya

 

 

Bloknota

 

Oleh: A.Kohar Ibrahim

 

 

FACEBOOK 11 Maret 2010. Iya, ekspresi pribadiku, terus terang aku menyambut mendukung adanya kebebas-merdekaan pers, kebebasan bereksprsi selaras hak-hak azasi manusia, dimana aku sendiri salah satu sosok bagiannya. Sebaliknya, juga aku terus terang menentang pemberangusan, pelarangan, pembatasan atas kebebas-merdekaan pers atau kebebasan berekspresi. Dari dulu maupun masa kini. Seperti adanya kasus penerbitan kemudian larangan atasnya, yakni salah satunya buku « Lekra Tidak Membakar Buku ».

 

Oktober 2008 dengan spontan aku sambut gembira berita terbitnya buku tersebut ; kini aku kecewa berat mengetahuinya sebagai salah sebuah buku yang dibrangus. Oleh karena itu, begitu aku baca berita adanya penyelenggaraan suatu pameran yang berkaitan dengan persoalan « nasib » buku, aku segera menyambutnya dengan gembira.

 

Kongkritnya, seperti telah pernah aku sitir, acara tersebut berupa : « Pameran Pelarangan Buku Di Indonesia dari Jaman ke Jaman ». Dari 14-17 Maret 2010 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

 

Semoga salah satu upaya positip dan amat penting tersebut terselenggara dengan baik dan mencapai sukses.

 

Akan halnya bukti sikap pendirianku yang tertulis, sebagai salah seorang penyambut penerbitan buku yang kemudian kini dibrangus itu, di bawah ini aku ulang siar. Dengan maksud bisalah kiranya dijadikan tambahan info atau bahan pertimbangan adanya.*** (AKI)

 

*

 

TRILOGI LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU

 

Selamat Datang Kreasi Monumental

Sekalian

Selamat Jalan Lekra

 

Bloknota :

A.Kohar Ibrahim

 

 

*

 

Tantang keheningan

Dengan hujaman lantang meradang

Dan kuasai kegundahgelisahan

Sembari minum di atas makam kepedihan

 

(Garcia Lorca)

 

*

 

AKU sitir Lorca dalam menyimak makna serangkum naskah sekitar penyair besar Spanyol yang tewas dibantai pasukan fasis, sekaitan dengan sitiran penyair Jasmineflame, nyaris bareng dengan datangnya berita akbar dari Nusantara. Berita yang menggelora sekaligus mengharukan jiwa. Berita terbitan buku Trilogi : Lekra Tak Membakar Buku. Oleh Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan. Penerbit Merekesumba, Jogjakarta, Oktober 2008.

 

Berita itu sangat pas dalam suasana kejiwaanku yang secara kenabian terlukis oleh baris-baris kata puitis « Braver le silence » (Tantangan Keheningan) Garcia Lorca. Tantangan keheningan kaum yang terhina, terfitnah, terbungkam, terpinggirkan, terkalahkan, termusnahkan oleh arogansi kekuasaan selama sekian dasa warsa lamanya. Semenjak 1 Oktober 1965 hingga detik kutulis catatan ini. Meski dalam batas-batas tertentu, kaum yang terbungkam dibungkam mulai bisa kembali bicara, mengekspresikan diri, sekuat bisa. Bukan tanpa bayangan pedang atau bayonet mengancam jiwa dan raga.

 

Namun, siapakah yang lebih memahami dari pada kaum yang terbungkam akan kebenaran betapa kuat perkasa teriak keheningan itu. Pasalnya yang hakiki tak lain bahwa ia menyimpan kebenaran dan keadilan yang oleh arogansi kekuasaan dibenam-bungkamkan secara sewenang-wenang. Kesewenangan yang berkepanjangan sampai pada pengabaian atas penegakan hukum meski negara berazaskan hukum. Pengabaian yang berdampak pada pelanggengan stigma bagi pendosa sekalian yang tanpa dosa ; pelanggengan cap dijidat bagi kaum yang dilaknat.

 

Tetapi, di luar obrolan, sebutan, hujatan, pencapan macam-macam apa siapa sih sebenarnya kaum yang terlaknat itu ? Tegasnya, apa yang telah dilakukan mereka ? Apa yang telah dilakukan kaum pekerja kebudayaan rakyat yang ragam-macam itu selama keberadaannya dari awal mula tegak berdirinya Lekra sampai titik akhirnya ?

 

Kata orang : di depan hasil kreasinya seniman telanjang bulat. Memang benar, jika dimaknai bahwa hasil aktivitas-kreativitas itulah yang jadi ukuran utamanya.

 

Justeru, dalam hal upaya tolak-ukur yang terutama itulah betapa penting lagi besarnya upaya riset sekaligus penerbitan buku Trilogi : Lekra Tak Membakar Buku ini. Penerbitan yang ditinjau dari isi maupun makna kesejarahannya merupakan karya monumental dari suatu gerakan kebudayaan rakyat bersifat nasional berwadahkan organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Sejak berdirinya pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai akhirnya dibantai kaum militeris penegak Orde Baru.

 

Penerbitan buku Trilogi tentang Lekra ini, dengan isinya yang begitu kaya ragamnya, mencakup beratus-ratus makalah, esai, puisi dan cerpen mengingatkan saya pada pepatah Perancis : La parole s'envole l'écrit reste. Omongan mabur tulisan tetap. Dalam kaitan ini, selintas pintas, saya terkenang bagaimana aktivitas-kreativitas kami sebagai pekerja dapur Harian Rakyat dan HRM (Harian Rakyat Minggu). Baik di ruang sempit gedung tua yang bau apek dan timah zetter Percetakan Rakyat di bawah pimpinan Bung Samosir di Pintu Besar Utara, maupun ketika pindah ke gedung yang baru di Jalan Pintu Air II. Masih terbayang dengan jelas wajah-wajah para pemimpin redaksi maupun anggota redaksi dan para jurnalisnya – baik yang  senior seperti Naibaho, Dahono, Nyoto maupun yang yunior macam Amarzan, Tikno, Nurlan dan saya sendiri. Disamping sebagai reporter, juga merangkap pengelolaan HR Minggu yang dipimpin oleh penyair HR Bandaharo, bersama Zubir AA dan juga Bambang Sukowati Dewantara.

 

Maka, dari dapur-dapur redaktur Jalan Pintu Besar Utara dan Pintu Air II sanalah tersiarnya karya tulis yang tercetak hingga bisa dilacak dan tersajikan kepada para pemerhati, penyelidik yang cerdik dan akhirnya sampai kepada pembaca yang berkenan.

 

Semoga penerbitan buku ini menjadi tambahan bahan pertimbangan yang penting dan berharga baik bagi pemerhati, pekerja kebudayaan, pencinta kebudayaan dan kesenian serta kalangan masyarakat umumnya. Terutama sekali kaum muda dan mereka yang merasa terjebak oleh ajaran sejarah yang cekak dan direkayasa penguasa OrBa.

 

Sebagai salah seorang saksimata sekaligus pelaku baik dalam gerakan kebudayaan dengan wadah organisasi Lekra, maupun sebagai mantan penulis-jurnalis HR/HRM, izinkan saya untuk mengucap terimakasih tak berhingga pada segenap team penyunting Trilogi : Lekra Tak Membakar Buku yang monumental ini.

 

Akhirnya, saya berterima kasih bisa menerima bahan-bahan seperti tertera di bawah ini. Selain berisi keterangan mengenai isi ketiga buku tersebut, juga tercantum para sosok tokoh yang menyatakan testimoni-nya yang bernas. Pun bisa menyimak  nukilan dari Bab Penutup Lekra Tak Membakar Buku berjudul : « Selamat Jalan Lekra ! » Yang tak urung membuat saya terenyuh dalam ketabahan berbaur kemasygulan. Seraya berbisik  di dalam hati:

 

« Iyalah. Iya : Selamat Jalan, Lekra. Ibarat macan yang telah meninggalkan belang. » ***

 

15 Oktober 2008.

(A.Kohar Ibrahim)

 

 

*

 

 

Trilogi : Lekra Tak Membakar Buku

 

 

(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merekesumba, Jogjakarta
Terbit: Okt 2008, 581 halaman
Spesifikasi buku: 15 x 24 cm (tersedia softcover dan hardcover)
ISBN: 978-979-18475-0-6.
Harga (softcover): Rp 70.000; edisi hardcover dipesan ke 081-328690269


TESTIMONI:

Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia
dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya
diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini
mencoba mengungkap kembali apa sebenarnya yang terjadi di era yang
sarat gesekan itu. (Prof. Dr. M. Syafii Maarif, guru besar sejarah,
cendekiawan Muslim dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta
penerima Magsaysay Award 2008)

Buku ini menarik terlepas dari sumber tunggal yang digunakan;
memberikan informasi mengenai situasi Indonesia dari sudut pandang
Harian Rakjat. Bagi sejarawan, buku ini menjadi sumber yang sangat
berguna kalau mereka mau melakukan penelitian lanjut tentang peranan
suratkabar, terutama pada periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi
Terpimpin. Oleh karena itu, terlepas dari setuju atau tidak, buku ini
merupakan salah satu buku yang sangat penting. (Dr. Anhar Gonggong,
sejarawan)

Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan
"masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan
diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang
tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang
kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat.
Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada
kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang
meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar
menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran
kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,
yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya. Buku ini
berusaha menunjukan bagaimana jalan kebudayaan rakyat itu dikelola
secara seksama dengan menampilkan kekayaan wacana, refleksi,
perdebatan budaya, lepas dari soal bahwa kemudian ideologi itu salah
atau benar. Maka buku ini patut dibaca agar kita bisa menajamkan
kembali pikiran budaya kita yang tak terlepas dari kepentingan rakyat.
Sebab selama tak ada pemihakan yang jelas, selama itu pula seni untuk
rakyat tak ada. (Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku)

Buku ini penting dan menarik, sebab mencerminkan hasrat generasi muda
negeri ini untuk menyusuri kembali jejak sejarah bangsanya dari
perspektif yang berbeda. Yaitu, dari  perspektif yang  lebih terbuka,
lebih kritis, lebih kreatif dan lebih bersikap positif terhadap
rakyat.  Di sini kelihatan bahwa jika dipercaya dan diberi kesempatan,
rakyat Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan dan
memakmurkan bangsanya. Sayang sekali potensi itu telah dibabat oleh
segelintir penguasa yang suka berkolaborasi dengan keserakahan modal
asing sambil melayani kepentingan diri-sendiri.
Buku ini dapat menjadi
pendorong untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat Indonesia. (Dr.
Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSDEP, Pusat Sejarah dan Etika
Politik,  Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

Sosialisme sebagai sumber pemihakan tani-buruh dan seni budaya pro
rakyat jelata yang hilang paska 1965 kini hidup kembali. Buku ini
memberikan kita jejak pemikiran dan kepedulian populis yang berbasis
kerakyatan itu. (Dr. Mudji Sutrisno, penggiat budaya dan pengajar
studi filsafat di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia)

Ini adalah terbitan yang memiliki makna penting bagi Indonesia di masa
periode Demokrasi Terpimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia
dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan  bukti untuk
menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku
Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi
yang komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga
kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambaran
yang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia. (Prof Dr Adrian
Vickers, Professor of Southeast Asian Studies School of Languages and
Cultures)

Riset ini membuka tabu; sebuah ruang ingatan yang ragu-ragu kita
ketahui. Ragu karena trauma, ragu karena kegelapan, dan ragu karena
hilangnya keberanian kritis untuk memeriksa masa lampau. Dengan
caranya sendiri, serpihan tulisan ini mengantar kita untuk mengenal
sebuah masa, tentang sebuah gerakan kebudayaan yang dengan keras
kepala dan dengan kepercayaan penuh dipertahankan pemeluknya. Kisah
tentang "the true believers". (Taufik Rahzen, ziarawan, kurator
senirupa, dan penggiat festival)


DAFTAR ISI

Bagian I. Mukadimah
    Politik Panglima Kebudayaan ~ 15
    Lekra: Kelahiran dan Peran ~ 21
    Asas, Metode, dan Kombinasi 1-5-1 ~ 25
    LEKRA Organisasi dan Keanggotaan ~ 33
    Dari Konfernasi ke Konferensi, dari Pleno ke Pleno ~ 41
    Zaman Baru: Bulanan Seni-Sastra Lekra ~ 47
    KSSR: Jalan Sungsang "Pemerahan Total" Lekra ~ 52
   
Bagian II. Riwayat Harian Rakjat
    14 Tahun Mengawal Kebudayaan Rakyat ~ 73
    Ideologi dan Jurnalisme Harian Rakjat ~ 77
    Lekra dan Harian Rakjat ~ 95
    Berkali-kali Dibreidel Akhirnya Mati Juga ~ 98

Bagian III. Sastra
    Realisme Sosialis dan Politik Manipol ~ 107
    Sejarah Sastra Indonesia:Patriotik dan Revolusioner ~ 109
    Pengajaran Sastra dan Politik Neokolonialisme ~ 126
    Memecah Kolonialisme Bahasa ~ 136
    Konferensi Sastrawan Asia Afrika:Merawat Semangat Perlawanan Bersama ~ 139
    Lekra dan Warga Sastra Dunia ~ 149
    Lumpuhkan Bibit Tenaga Reaksioner Dalamnegeri! ~ 151
    Sastra Daerah:Titikbakar untuk Penciptaan ~ 157
    Puisi dan Prosa:Di Antara Keindahan dan Keadilan ~ 174
    Sastra Anak:Minggir Nyingkir Pimpinan yang Curang ~ 187

Bagian IV. Film
    Jalan Ideologi Film Indonesia ~ 201
    Dewan Film: Pandangan Pemerintah ~ 206
    Panitia Sensor dan Film Antiagama ~ 209
    LFI dan Film Indonesia: Pandangan Lekra ~ 214
    Film Berbasis Sosialis, Soal Apa? ~ 225
    Menjadi "Tamu" di Rumah Sendiri ~ 237
    Festival Film Asia Afrika: Komunike Kesetiakawanan ~ 241
    Ampai, Kaum Dagang, dan Imperialisme Budaya ~ 248
    Boikot, Boikot, Boikot! ~ 254
    Ayo, Keroyok AMPAI dan Agen-agen Film AS sampai Mampus ~ 261
    Robohnya Gedung AMPAI ~ 271

Bagian V. Seni Rupa
    Politik Senirupa Lekra ~ 283   
    Taman Seni Lekra: Dari Galeri ke Galeri ~ 298
    Turba dan Organisasi Senirupa Indonesia ~ 312
    Garis Seni Lesrupa ~ 319
    Lesrupa dan Merahnya Merah ~ 322

Bagian VI. Seni Pertujukan
    Kebangkitan Kesenian Rakyat ~ 337
    Ketoprak:Politik, Drama, Rakyat ~ 339
    Wayang:Dari Feodalisme ke Politik Revolusioner ~ 354
    Drama:Produksi dan Pementasan ~ 365
    Reog:Di Jalanan Meritul Musuh Rakyat ~ 371
    Ludruk:Lelucon Satire Merebut Hati Rakyat ~ 373
    Mari-mari Nonton Pertunjukan! ~ 377
    Dari Pangung ke Pangung ~ 380

Bagian VI. Seni Tari
    Melestarikan Tarian Rakyat ~ 391
    Lestari, Tani, dan Tari Nasional ~ 398
    Tari Revolusioner untuk Anak ~ 401
    Tari Lenso Tari Pergaulan ~ 403
    Dari Panggung Tari Kibarkan Bendera Revolusi ~ 404

Bagian VII. Musik
    Bersama Rakyat Lekra Menyanyi ~ 413
    "Kambing Kebelet Kawin" dan Ngak Ngik Ngok ~ 416
    Jalan Musik Manipolis Indonesia ~ 422
    Laporan dari Ruang Sidang LMI ~ 430
    Musik Daerah dan Hak Cipta ~ 434

Bagian VIII. Buku
    Lekra tak Membakar Buku ~ 441
    Politik sebagai Panglima Buku ~ 448
    Politik Buku Pelajaran ~ 457
    Penerbit Jajasan Pembaruan:Sayap Kiri Politik Perbukuan ~ 464
    Lekra Juga Punya Penerbitan ~ 470
    Lekra tak Membakar Buku ~ 472

Bagian X. Khotimah
    Selamat Jalan Lekra ~ 485

Singkatan dan Akronim ~ 493
Lampiran
A.    Mukadimah ~ 498
B.    Panitia Kongres Lekra I Solo 23-30 Januari 1959 ~ 502
C.    Pengumuman Sekretariat Pusat Lekra ~ 506
D.    Laporan Umum Pengurus Pusat Lekra Kepada Kongres Nasional I Lekra ~ 507
E.    Mukadimah (Revisi) ~ 522
F.    Anggota Pimpinan Pusat Lekra (Hasil Kongres Nasional 24-29 Januari
       1959 Solo, Jawa Tengah) ~ 524
G.    Keputusan-keputusan Kongres Nasional Lekra I di Solo Tahun 1959 ~ 528
H.    Keputusan-keputusan Pleno Agustus Lekra Tahun 1960 ~ 537
I.     Keputusan-Keputusan Konfernas PP Lekra di Bali Tahun 1962 ~ 541
J.    Komunike: Konfrenas I Lembaga Sastera Indonesia Tahun 1963 ~ 554
K.    Ikrar Seniman dan Pekerja Film Indonesia setelah FFAA Tahun 1964 ~ 553
L.   
Resolusi Konfernas II Lekra Tahun 1964 ~ 554
M.   Resolusi Konfrensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR)
       Tahun 1964 ~ 560



*

 

 

DUA BUKU LAIN (dari trilogi Lekra Tak Membakar Buku)

(1) GUGUR MERAH: Sehimpunan Puisi Lekra 1950 – 1965
Penyusun dan penyunting: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merekesumba, Jogjakarta
Terbit: Okt 2008, 966 halaman
Spesifikasi buku: 15 x 24 cm (tersedia hanya hardcover)
ISBN: 978-979-18475-1-3
Bisa dipesan ke 081-328690269.


KETERANGAN: Himpunan puisi ini adalah ikhtiar mengumpulkan sekira 450
judul puisi dari 111 penyair Lekra yang nama dan puisinya terekam di
lembar kebudayaan Harian Rakjat sepanjang 15 tahun (1950-1965).


(2) LAPORAN DARI BAWAH: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965
Penyusun dan penyunting: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merekesumba, Jogjakarta
Terbit: Okt 2008, 558 halaman
Spesifikasi buku: 15 x 24 cm (tersedia hanya hardcover)
ISBN: 978-979-18475-2-0
Bisa dipesan ke 081-328690269.

KETERANGAN: Buku ini merekam geliat 100 cerita pendek yang ditulis
oleh eksponen budaya Lekra (sastra) untuk memberitahu bagaimana gaya
realisme sosialis "ditemukan", "diadaptasi", dan "dipraktikkan" di
lapangan kesusastraan Indonesia.

 

 

 
*

 

 

Selamat Jalan Lekra

 

 

(Nukilan dari Bab Penutup : Lekra Tak Membakar Buku)

 

 

SEBELUM mendapat vonis hukuman mati di depan mahkamah sejarah pada 1 Oktober 1965, limabelas tahun kehidupan Lekra adalah limabelas tahun bekerja agar kebudayaan mendapatkan tempat terhormat di tengah kehidupan politik Indonesia. Kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendens atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong- persegi raut Indonesia. Dan seniman/sastrawan bukan kelas pinggiran di panggung luas bernama Indonesia. Lekra sudah menunjukan dengan segamblang-gamblang nya bagaimana cara menghormati kebudayaan Indonesia, menghormati tradisi yang dilahirkan Rakyat, membawa pulang sastra ke pangkuan si pemiliknya, yakni Rakyat.

Lekra oleh seteru-seteru politik kebudayaan yang dilabelinya sebagai pemangku "humanisme universil", "seni untuk seni", "kontrarevolusioner", mendaftar sekian panjang dosa-dosa dan mengubur kehadiran dan perannya dalam ruang ingatan masa depan. Buku-buku ditulis dengan gempita dan penuh semangat mengasasinasinya tanpa ada pembelaan. Rasa-rasanya belum cukup dosa itu dibayar dengan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran dan penggorokan leher para budayawannya oleh aksi massa yang sangat brutal, penembakan-penembak an sistematik Angkatan Bersenjata. Para seteru politik kebudayaan itu menulis buku-buku dengan bersemangat bahwa Lembaga Kebudayaan Rakyat yang jumlah pendukung di dusun dan di kota yang luar biasa banyak itu bukan hanya diisi orang-orang haus kuasa, algojo-algojo haus darah, tukang keroyok, pembikin onar panggung kebudayaan, tapi juga turut aktif menggulingkan Sukarno dengan cara-cara kotor dan licik, yakni lewat jalan kudeta 30 September.

Katakanlah semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu). Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di lapangan kebudayaan Indonesia?

Di bidang penegakkan moralitas, Lekra adalah laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan kevulgaran, musik ngak-ngik-ngok. Laskar budaya Lekra beserta ormas-ormas revolusioner melakukan sweeping atas hiburan-hiburan malam yang memamerkan dansa-dansi dan pakaian-pakaian seronok.

Janganlah dilupakan bagaimana cendekiawan organik Lekra dan sekaligus Wakil Ketua II CC PKI Njoto pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bojonegoro, Jawa Timur. Pada saat malam pidato itu, sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, "sekolah SMA-malam jang muridnja berdjumlah lebih dari 300 orang, malam itu ditutup, dan guru2 maupun murid2nja semuanja datang ketjeramah PKI". Setelah menerangkan secara terang-benderang tentang "Front Anti Komunis" yang menurutnya bukan hanya komunis yang dimusuhi, tapi juga PNI, NU, PSII, PRN, dll yang karena itu sebetulnya adalah "Front Anti Segala Sesuatu"; tapi juga "nyerempet" ke soal sikap PKI—juga Lekra—atas demoralisasi masyarakat khususnya bagi anak-anak pelajar. Dengan tangkas Njoto menegaskan sikap bulat: "Menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot".

Njoto dalam pidato yang sama berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Dan untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar "Demoralisasi Peladjar" yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.

Keseriusan dan ketegasan terhadap semua produk kebudayaan yang mencemari "watak dan sifat anak2 kita" itulah yang membikin Lekra Jogja melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat. Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs. Soemarsono, yang menyerukan bahwa
"disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatles, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim".

Sebelum giliran "pakaian jang berbau nekolim" atau "tjelana potlot" kena sapu, Angkatan Kepolisian Jawa Timur memang sudah terlebih dulu melego semua piringan hitam berisi lagu-lagu ngak-ngik-ngok. Dalam kesadaran terdalam aktivis PKI dan Lekra, moralitas bangsa harus tetap dilindungi dari destruksi yang ditimbulkan budaya-budaya nekolim. Karena itu tindakan-tindakan di lapangan pun diambil secara seksama dan sistematis. Gelombang demonstrasi dan propaganda menjebol, misalnya, produksi film-film Amerika Serikat yang disebar oleh Association Picture American of Indonesia (AMPAI) dilangsungkan secara massif dan berhasil. AMPAI pun jebol pada Oktober 1964. Majalah-majalah cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar yang tak pantas dilihat, "Keluarga Miring" No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.

Kerap PKI dan Lekra dituding melecehkan agama. Itu diajarkan di sekolah dan menjadi dongengan yang wajar dalam masyarakat dan karena itu menjadi benar. Sebagian barangkali benar. Tapi bagaimana dengan kejadian di Banyuwangi seperti ini dan diliput Harian Rakjat edisi 25 April 1953 dengan judul berita "BANJUWANGI: 13 buah mesdjid diperbaiki PKI".

Kerdjabakti jang dilangsungkan pada tg. 8-4 jl. dipimpin oleh Subsecom Pesanggrahan - Banjuwangi, dan diikuti oleh 532 petjinta PKI berhasil membersihkan kantor ODM setempat, halaman tangsi polisi, kantor Djapen, makam Pahlawan, Kuburan2, memperbaiki djalan Pasar, menggali parit sepandjang 2 KM dan membersihkan/ mengkapur 13 buah mesdjid (surau).

Kerdjabakti tsb. disaksikan oleh Ass. Wedana setempat.


Di film-film bagaimana orang-orang PKI dan seluruh ormas yang sealiran dengannya diperlihatkan memasuki masjid, menginjak-injak Alquran, seperti kejadian di Kanigoro, Kras, Kediri. Dan rekaman itu terus berulang hingga merasuki bawah sadar dan melahirkan kebencian yang tiada tara. Barangkali tudingan itu benar. Tapi tidakkah PKI—ketika mereka berada pada titik konsolidasinya yang kuat—sudah memberi bantahan yang tak pernah terungkap dalam dua kali pemuatan di Harian Rakjat edisi 13 Februari 1965:

Ada
pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur'an". Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.

Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU.


Tentang peristiwa Kanigoro itu sendiri, silakan dibaca berita sanggahan berikut ini pada Harian Rakjat edisi 11 Februari 1965:

Team PB Front Nasional jang terdiri dari Major Said Pratalikusuma dan Hartojo dengan dibantu anggota pengurus daerah F.N. Djawa Timur ketika mengadakan penindjauan on the spot kedaerah Kanigoro, Kras, memperoleh tjukup bukti, bahwa antara BTI dan Pemuda Rakjat disatu pihak dan NU serta GP Ansor dilain pihak, tidak ada perasaan apa2 bertalian dengan terdjadinja peristiwa Kanigoro.

Dinjatakan oleh anggota team PB FN, bahwa peristiwa Kanigoro sudah dapat diatasi karena kesadaran dan kewaspadaan Rakjat untuk melawan setiap gerakan kontra-revolusi. Di Mental Training Kader PII di Kanogoro, Kras, didaerah Kediri pada waktu itu disinjalir adanja gerakan kontra-revolusi jang dilakukan anggota2 bekas partai terlarang.

Major Said Pratalikusuma dalam pertemuan dengan para wartawan Surabaja mengemukakan setjara kronologis mengenai kedjadian2 sebelum dan sesudah terjadinja peristiwa Kanigoro dimana dinjatakan bahwa pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan.

Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom....

Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan itu Team PB FN djuga menjanggah pemberitaan sementara suratkabar jang menjatakan, bahwa dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran. Dengan tandas dikatakan ,,itu tidak benar".


Di dalam tradisi mencipta atau menulis, Lekra juga telah meninggalkan tradisi yang baik: yakni riset intensif. Mencipta dan menulis apa saja baik drama, cerita pendek, puisi, esai, atau melukis hendaklah terlebih dahulu dilakukan riset yang tekun di lapangan. Mereka menamakan tradisi riset itu dengan turun ke bawah atau Turba ke desa-desa yang terpencil selama satu atau dua bulan. Di sana, pekerja budaya Lekra itu bukan menampilkan diri sebagai "turis", melainkan pendamping masyarakat. Pekerja Lekra tak boleh lebih tinggi dari tani-nelayan- buruh yang disebut Presiden Sukarno sebagai sokoguru Revolusi. Tak boleh keminter dan sok-sokan, mentang-mentang dari kota dan terpelajar. Dalam Turba, setiap pekerja Lekra memegang teguh aturan main yang emansipatif yang mereka sebut "tiga sama": sama kerja, sama makan, sama tidur. Apa yang dikerjakan petani, itu juga yang dikerjakan pekerja Lekra. Kalau petani makan tiwul, pekerja Lekra juga makan tiwul. Kalau petani tidur beralas papan keras, pekerja Lekra juga mesti tidur di atas papan. Di desa itulah, kerap pekerja Lekra terlibat membantu dan mendampingi petani merebut hak-haknya yang dirampas sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Kalau sudah begini, mereka akan diuber-uber oleh polisi yang memang memihak pada kekuatan feodal di kampung-kampung. Tradisi baik ini kemudian yang masih kita saksikan dalam tradisi Kuliah Kerja Mahasiswa (KKN) yang saban tahun dilakukan untuk tujuan akademis tapi minus ideologi dan kesadaran penuh membela Rakyat tertindas. Atau ini juga dilakukan LSM-LSM yang mendampingi masyarakat papah di daerah-daerah.

Berkait dengan basis kesenian Lekra adalah dari kelas bawah, maka kerja lembaga ini yang tak boleh disepelekan adalah membawa sastra masuk kampung dan pabrik-pabrik.
Mengajari masyarakat menulis puisi, membina anak-anak muda menulis puisi, cerpen, atau apa pun. Lekra juga intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, bahkan dalam lukisan-lukisan. Dari sisi musik, Lekra bersemangat mengumpulkan lagu-lagu daerah dan memperkenalkannya secara nasional, seperti salah satunya lagu Rakyat berjudul Genjer-genjer asal daerah Banyuwangi yang kemudian disangsai oleh rezim post Sukarno sebagai lagu penyuplai praktik seks cabul dan menstimulasi kebiadaban. Tari-tari daerah pun direvitalisasi, diberi isi baru—bukan hanya sebagai tari penghibur dan objek turisme, tapi juga mampu menstimulasi perlawanan yang revolusioner. Bahkan beberapa tari dinaikkan tarafnya menjadi tari pergaulan nasional seperti tari "Lenso" dari Maluku.

Pekerja budaya Lekra juga dengan bersemangat mengangkat dan melindungi kebudayaan Rakyat dan kepunahan atau pencaplokan hak oleh negara lain yang ingin melihat Indonesia terus tersiksa dan terbelakang terus diingatkan oleh kongres dan konferensi nasionalnya untuk terus bekerja keras meregistrasi nyanyian daerah, dongeng Rakyat, tari daerah.
Sebab untuk memperkokoh letak berdirinya kebudayaan Indonesia ini, mestilah memperkuat pondasi kebudayaan Rakyat. Dan itu tak bisa dilakukan dengan mengandalkan dayabayang belaka, tapi juga dayakerja di lapangan kebudayaan di tengah-tengah kehidupan Rakyat.

Di bidang senirupa, tergabung para perupa-perupa maestro seperti Affandi, Hendra, Sudjojono, dan sederet lainnya pelukis-pelukis Rakyat dengan pelbagai ekspresi dan gayanya. Dari tangan perupa-perupa itulah lahir organ dan gerakan seni yang revolusioner seperti Persagi, SIM, Pelukis Rakyat, dan sebagainya. Karya-karya para perupa ini pun diperjuangkan Lekra agar bisa menghiasi dinding kantor-kantor jawatan pemerintah yang bertebaran di Jakarta. Dan jika sekali waktu melewati bunderan Hotel Indonesia, lihatlah tugu "Selamat Datang" yang merupakan karya pematung Lekra Henk Ngantung yang juga menjadi dewan juri perlombaan membikin Monumen Nasional (Monas). Di masa ketika Lekra hadir inilah seni grafis yang kerap dianggap kelas dua dalam seni rupa seperti mural, karikatur, poster, cukikayu, mendapatkan tempat yang terhormat.

Di dalam menghalau kekuatan asing seperti Amerika Serikat, Lekra tak pernah kehabisan stok energi. Mereka sebar seluruh pasokan logistik perlawanan di mana-mana. Di sidang-sidang kongres, pleno, di rapat-rapat umum, di ruang-ruang seminar, di atas kanvas pelukis, di kuplet-kuplet puisi, di dinding-dinding mural, di halaman-halaman koran, buku, di atas panggung pertunjukan, di layar putih, dan di sekujur jalanan kota yang memungkinkan mengalirnya sumpah dan protes. Lekra dengan bekerjasama dengan organisasi masyarakat yang sepaham---dan tentu saja PKI---tak pernah kendur dan lelah menyiapkan bara di bawah kursi empuk agen-agen imperialis yang menduduki Indonesia. Di bidang film, distributor film Amerika (AMPAI) diuber sampai rubuh. Berkarung-karung majalah-majalah Amerika yang kerap menjelek-jelekkan Indonesia disita para buruh pos dan dengan kemarahan yang mendidih-didih dibakar oleh Pemuda Rakjat dibakar. Gedung Penerangan Amerika Serikat (USIS) di Surabaya dan di Jakarta diganyang. Industri-industri minyak Amerika seperti Exxon atau perusahaan Inggris bernama Unilever nyaris setiap hari didatangi dan disumpahserapahi karena keterlibatan negara-negara ini memakzulkan negara-negara berdaulat seperti Pakistan, Vietnam, Kamboja, Laos, Konggo, Venezuela, Aljazair, dan serangkaian negara Asia-Afrika- Amerika Latin lainnya. Untuk melawan kekuatan imperialis yang bersekongkol dengan banyak negara sekutunya, Lekra juga membangun basis perlawanan lewat jejaringan ikatan kebudayaan antara negara-negara blok Asia-Afrika- Amerika Latin. Dengan jaringan ini, konsolidasi perlawanan menjadi efektif dan memiliki gaung dan efek waswas bagi negara-negara imperialis.

Akhirul kalam, selama 15 tahun usianya, Lekra telah memperlihatkan dan membuktikan bahwa kebudayaan punya posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan Rakyat.

Maka dari itu, penulis buku ini berucap: selamat jalan Lekra. Tugas buku ini mesti pungkas di sini saja setelah memberi panggung terbuka bagi pekerja budaya Lekra, baik komunis maupun nonkomunis, untuk mengatakan bahwa inilah kerja kreatif kami selama limabelas tahun tanpa lelah bekerja dalam setiap ceruk komunitas kesenian seperti ketoprak, reog, jatilan, ludruk, wayang, tari, sandiwara, sanggar-sanggar lukis, di mimbar-mimbar sastra dan seminar, rapat terbuka, bioskop, partai politik, pabrik, desa, gang-gang kumuh, kampung-kampung nelayan yang asin, organ-organ persekutuan, konferensi-konferen si internasional, bahkan hingga dalam gedung parlemen, kantor-kantor jawatan, dan istana presiden.

Lalu kita pun tahu bahwa Lekra tak seperti makhluk setengah setan setengah manusia. Mereka seutuhnya manusia dan pekerja-pekerja kreatif. Mereka adalah cendekiawan- cendekiawan organik yang sadar memilih di mana ia mesti mengambil tempat di lapangan kebudayaan Indonesia.
Dan peristiwa G-30-S, tak hanya mengubur Lekra sebagai organ, tapi juga memacetkan pertumbuhan cendekiawan- cendekiawan revolusioner bertalenta yang dipunyai Indonesia. ***

 

Catatan :

Tanggal 14 Oktober 2008, naskah tsb disiar Abe-Kreasi Multiply Site: http://16j42.multiply.com/journal/item/396/; dan beberapa situs, milis, seperti ACI, Apsas dan lainnya lagi.


__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment