Saturday, September 11, 2010

[ac-i] Fwd: [nasional-list] Nyadran: Tradisi Penghormatan Arwah Leluhur



---------- Forwarded message ----------
From: awind <j.gedearka@upcmail.nl>
Date: 2010/9/11
Subject: [nasional-list] Nyadran: Tradisi Penghormatan Arwah Leluhur
To: nasional-list@yahoogroups.com


 

 
Avatar Redaksi Indonesia
Yogyakarta, Indonesia
Yogyakarta, Indonesia

Nyadran: Tradisi Penghormatan Arwah Leluhur

Diterbitkan : 10 September 2010 - 10:49am | Oleh Redaksi Indonesia (foto: suaramerdeka.com)

Tradisi nyekar atau tabur bunga di makam nenek moyang biasa dilakukan pada bulan Ruwah atau Sya'ban, menjelang bulan Ramadhan. Kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat Jawa ini sebenarnya merupakan bagian tradisi Nyadran.

Bagaimana orang Jawa melaksanakan nyadran? Berikut laporan Asti Musman, reporter Radio Swara Jogya.

Nyadran berasal dari kata srada dalam kitab Negara Kertagama yang berarti upacara peringatan 12 hari kematian. Nyadran merupakan hasil akulturasi antara Jawa, Islam dan Hindu. Bagi masyarakat umum, nyadran dilakukan sesuai kemampuan dan biasanya berkelompok, misalnya bersama masyarakat satu desa atau satu wilayah karena punya satu leluhur.

Sementara itu kraton memiliki tata cara nyadran tersendiri yang disebut dengan kutha mara. Kegiatan ini merupakan symbol keterkaitan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.

Umumnya, nyadran dimulai dengan pembersihan makam, kenduri yang dipimpin pemuka agama untuk memohon ampun bagi para leluhur dan pribadi kepada Tuhan. Doa biasanya dilafalkan dengan tata cara Islam. Sedangkan kraton melakukan nydaran dengan membagikan ratus dan minyak wangi berbentuk lilin padat untuk para pengurus masjid kagungan ndalem atau yang berada di bawah kekuasaan kraton.

Warga desa Wijirejo, Pandak Bantul, Masiyati wanita, 60 tahun, merupakan anggota masyarakat yang mengikuti nyadran. Ia telah ikut tradisi ini sejak kanak-kanak. "Sejak kecil saya ikut nyadran, yang ikut nyadran ini bukan hanya warga desa, tapi juga dari luar kota seperti Magelang dan Yogyakarta," tandas Masiyati.

Nyadran di desa Wijirejo Pandak, Bantul, Yogyakarta bermakna mendalam bagi masyarakatnya. Nyadran dilakukan di makam Sewu. Inilah makam ulama besar Panembahan Bodho, merupakan murid Sunan Kalijaga. Nyadran kali ini dirasa Masiyati semakin meriah karena saat juga diadakan arak-arakan jodang yang disumbang dari 13 pedukuhan.

Jodang merupakan tandu yang diisi berbagai makanan dan sayuran lengkap dengan tumpeng yang berisi ingkung dan kue apem. Tumpeng melambangkan harapan pada Tuhan. Ingkung atau ayam utuh melambangkan manusia ketika masih bayi yang suci, pisang raja melambangkan harapan kelak hidup bahagia. Sedangkan apem, ketan dan kolak melambangkan permohonan ampun.

Di desa Wijirejo, Pandak, Bantul Yogyakarta ini terdapat makam leluhur yang bernama Panembahan Bodho. Nama aslinya Raden Trenggono yang merupakan keturunan Majapahit yang hidup pada abad ke 14. Raden Trenggono atau yang disebut juga Adipati Terung ke III merupakan murid Sunan Kalijaga. "Beliau itu disebut Panembahan Bodho karena lebih memilih dan mengutamakan siar agama Islam dan menolak jabatan adipati, maka sering disebut bodho atau bodoh." Begitu ungkap lurah desa Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta, Haji Cipto Widodo.

Panembahan Bodho merupakan tokoh yang disegani dan dianggap sesepuh para pendahulu raja Panembahan Senopati, Sultan Mataram dan kemudian diberi Tanah Perdikan bekas kekuasaan Mangir yang mempunyai wilayah timur Sungai Progo utara sampai Gunung Merapi.

Kutha Mara
Sementara itu di kraton, nyadran juga dilakukan sesuai kalender keraton. Pengageng Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung Haji Jatiningrat yang biasa disapa Romo Tirun Marwito mengungkapkan bahwa nyadran ini bertujuan mengingatkan kembali hubungan antara sesama manusia dengan Tuhannya.

Untuk mempersiapkan nydaran, biasanya Sultan mengirimkan tanda berupa bunga ke semua makam para leluhur. Contohnya di Kotagede dan Imogiri. Biasanya, makam leluhur kraton itu berdampingan dengan masjid. Setelah Sultan mengirimkan bunga, barulah keluarga kraton diperkenankan mengirimkan bunga ke makam leluhurnya. Tradisi ini dinamakan Kutha Mara.

Kutha mara atau nyadran di lingkungan kraton dilakukan setiap bulan Ruwah tanggal 15. Pertengahan bulan itu, menurut Romo Tirun, merupakan titik puncak kesempurnaan, yang ditandai dengan bulan purnama. Alam terlihat sempurna. Ini mengingatkan hubungan manusia dengan alam yang sangat dekat. Di Jawa puncak tanggal 15 dimanfaatkan Sulltan sebagai pimpinan adat untuk melakukan nyadran atau mengirim bunga pada leluhurnya, misalnya melati, mawar, kenanga.

Akan tetapi pada saat ini secara fisik, bukan bunga tabur yang dibagikan Sultan, namun ratus dan minyak wangi yang berbentuk lilin kental. "Akhir-akhir ini yang namanya acara Kutha Mara itu menggunakan ratus dan minyak wangi supaya lebih praktis," kata Romo Tirun seraya menjelaskan bahwa ratus itu akan dibakar di pemakaman, sedangkan minyak wangi dioleskan pada nisan.

Pengangeng Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung Haji Jatiningrat, juga menjelaskan bahwa ratus atau kemeyan digunakan sebagai penjernih udara sekitar mengingat makam banyak mengandung racun. Ratus yang berupa serbuk beraneka macam bunga wangi itu dibakar di atas arang yang diletakkan pada tungku api. Wanginya terasa magis. Cara lain untuk menetraliris racun di pemakanaman yaitu dengan menanam bunga kamboja. "Jadi kalau ada anggapan bahwa membakar ratus atau kemenyan itu untuk mengundang setan, itu suatu pemahaman yang keliru!" tambah Romo Tirun.

Pakaian untuk Kutha Mara
Abdi dalem yang melaksanakan Kutha Mara, khususnya di masjid kota Gede dan makam raja-raja di Imogiri, wajib mengenakan pakaian peranakan. Pakaian ini berupa kain panjang dan baju lurik bermotif garis-garis biru hitam untuk abdi dalem pria, sedangkan wanita mengenakan kemben atau kain panjang yang menutup tubuh hingga dada.

Selanjutnya, pada akhir bulan puasa diadakan syawalan atau acara maaf-memaafkan yang dilakukan pada hari pertama Idul Fitri. Tradisi ini juga dilakukan oleh masyarakat awam maupun kraton. Demikian ungkap anggota keluarga Kraton Ngayogyakarta, Romo Tirun Marwito. "Caranya kalau dengan raja dengan sungkem, ngabekti."

Bagaimana pun akulturasi Islam dan kebudayaan Jawa telah menyatu secara harmonis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Asti Musman, Radio Swara Jogja, Yogyakarta.

 


No comments:

Post a Comment