Saturday, September 11, 2010

[ac-i] Teater Papua dan Manusia Yang Berharap

 

----- Original Message -----
From: Lena Simanjuntak 
 
Sent: Saturday, September 11, 2010 12:54 AM
Subject: Teater perempuan Papua


 

TEATER PAPUA
DAN MANUSIA YANG BERHARAP

Oleh: Dorothea Rosa Herliany
Sekumpulan perempuan berbalut pakaian rumbai-rumbai dari kulit pohon (saly) dan tas di kepala (noken) meratap sedih sambil menari-nari. Genderang tifa, triton dan sejumlah alat musik tradisional menyihir suasana menjadi pilu. Seorang di antara pemain dengan suara lengking, terasa menyayat menyanyikan syair neno, neno, nene, wadoi kwonso sup ineno / yore mamo mamo / wadoi kwonso sup mambesak / sup ineno // neno, neno, nene, manseren nanggi, wado i/ kwonso papua sup ineno / yoro mamo mamo wadoi / kwonso nona papua sup ine (Ya Tuhan, turunlah dan tinggal bersama kami di negeri mambesak ini, Tuhan Langit, berkati negeri Papua serta kekayaannya). Saat itu, ikon yang menjadi hero mereka, Angganetha, akan dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang.

Begitulah cuplikan pementasan teater perempuan Orchide Papua Teater di beberapa panggung  kesenian dan arena terbuka lain di Biak dan Jayapura (30 Juli–7 Agustus 2010). Nyanyian dan tarian dengan panah dan busur khas masyarakat Biak Numfor yang disebut Wor mewarnai pertunjukan. Meski ini tampak khas, namun ada yang lebih menarik, terutama bagi para penonton yang rata-rata belum pernah menyaksikan pementasan bernama teater ini yakni tersedianya ruang bebrayan (Jawa), atau ruang bersama yang tidak menakutkan –tak ada kesenjangan antar pemain-penonton- dan mereka berada dalam satu wilayah yang sama pada rasa senasib sepenanggungan sebagaimana diucapkan para pemain-pemainnya dalam dialog. Penonton seperti  menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Teater mewakili dirinya sendiri. Alhasil, dengan bebas mereka memberikan celetukan-celetukan ketika ada dialog/monolog yang menarik. Misalnya, ketika seorang pemain dengan lantang mengatakan bahwa "Kalau kita ingin anak-anak kita jadi pegawai negeri , kita harus sediakan 30 sampai 50 juta untuk pelicin!" maka banyak pemuda yang merasakan langsung ketidakadilan ini spontan berteriak dengan keras, "Betulll!!" Persoalan satu ini memang sedang jadi topik hangat di kalangan anak muda Papua. 

            Isu-isu lain seputar lingkungan, eksploitasi alam, ketidak adilan dalam pendidikan, hukum, ekonomi, Masalah Miras (minuman keras) dan HIV Aids yang merajalela,peristiwa kekerasan dan berdarah, di Papua dll. coba dipaparkan melalui teater ini. Namun sebetulnya pementasan ini juga ingin mengedepankan tokoh perempuan pendekar setempat bernama Angganetha yang gugur karena kegigihannya melawan penjajahan Jepang. Ini memang sebuah jenis teater pembebasan. Teater Perempuan  yang bernama " Orchide Papua Teater "ini  merupakan yang pertama di tanah Papua. Angganetha menjadi simbol perlawanan masyarakat setempat, terutama kaum perempuan untuk berbicara masalah-masalah yang terjadi di Papua. Semua pemain, kecuali pemusik, kebetulan memang para perempuan. Mereka adalah para aktivis gereja, warga jemaat yang menjadi korban kekerasan karena konflik dan mengalami trauma, seniman perempuan Biak, bahkan ada 2 pendeta perempuan yang terlibat dan menjadi tokoh utama dalam teater ini. Semua pemain ini adalah orang-orang yang awam bermain teater. Dengan arahan sutradara Lena Simanjuntak, dalam tempo sekitar 2 bulan, mereka yang sebelumnya diberi workshop mampu tampil menjadi pemain-pemain teater yang tak kalah handal dengan pemain teater profesional yang dididik bertahun-tahun dalam suatu padepokan teater mapan. Lena Simanjuntak dalam hal ini berada di posisi sebagai mediator yang secara terus-menerus menggali, memancing, bertanya, ke semua yang ikut terlibat aktif, agar mereka mampu mengungkapkan, menganalisa dan membahas, menyarankan, memutuskan, dan merencanakan berbagai hal yang menyangkut dunia mereka sendiri.
            "Teater dicipta untuk menyampaikan kebenaran pada masyarakat tentang kehidupan dan situasinya", demikian dikatakan Stella Adler, seorang pemain teater Amerika. Ini menjadi pas sebagaimana sedang dilakukan saat ini oleh Orchide Papua Teater. Kalau selama ini masyarakat Biak, baik yang tinggal di pantai atau di gunung-gunung telah memiliki  berbagai macam budaya tari-tarian yang yang didalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak --inilah jenis kesenian mereka yang sering dimainkan dalam berbagai kesempatan (penyambutan tamu terhormat, penyambutan para turis asing, dan acara dalam upacara adat)-- maka kini mereka punya jenis kesenian "baru" bernama teater di mana teater menjadi sebuah media untuk memaparkan berbagai hal yang intinya bertujuan akhir mengangkat derajat, martabat, dan harkat orang Papua. Keadilan, kesejahteraan dan perdamaian dalam masyarakat hanya bisa  dicapai dengan adanya penghormatan akan hak-hak kehidupan manusia maupun alam. Dan waktu untuk melakukan semua gerakan itu adalah sekarang. "Faiman Indo", demikian seruan ajakan dalam bahasa setempat yang berarti "segera", sekaranglah saatnya memulai sesuatu.

Para perempuan Biak yang tergabung dalam Orchide Papua ini barangkali mengingatkan kita dengan sejarah awal teater dulu sekitar abad ke 5 SM di mana penulis bernama Aeschylus (525-456) menjadikan teater sebagai persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Sedangkan kalau dalam kelompok teater Papua ini seluruh pemain mempersembahkan teater ini untuk memohon pada dewa-dewa lain yakni elite penguasa agar lebih manusiawi dan tidak berlaku sewenang-wenang. Tak heran, kelompok ini tak menganggap  gedung kesenian sebagai satu-satunya tempat pertunjukan, namun –sebagaimana yang mereka lakukan selama beberapa hari itu- mereka juga main di halaman gereja, di depan pasar, di pantai, dll.
 
Ini Memang Bentuk Teater Sebagai Media Pendidikan Populer –Sebagaimana Ajaran Pendidik Brasil Paulo Freire-- Yang Melihat Pendidikan Sebagai Hal Membebaskan Rakyat Dari Keadaan Yang Menindasnya, Media Pendidikan Untuk Mempelajari Permasalahan Yang Ada Secara Bersama-Sama, Dan Membuat Rakyat Tidak Dililit Ketergantungan. Sebetulnya Hal Ini Diperkenalkan Pertama Oleh Bertolt Brech, Penyair, Dramawan, Sutradara Teater Jerman, Namun Baru Dipentaskan Seabad Kemudian, Tepatnya Tahun 70-An Oleh Augusto Boal Di Amerika Latin dalam konteks pembebasan. Boal (yang juga teman baik Freire) mempelopori suatu  eksperimen teater yang dimulai dengan melibatkan kaum tertindas, rakyat miskin yang tinggal di daerah kumuh dan orang-orang jalanan. Pada Lena Simanjuntak, teater pembebasan ini dalam penerapan artistiknya disesuaikan dengan identitas wilayah di mana masyarakat itu berasal.  
 
Bentuk ini banyak dikembangkan di Yogya pada era Teater Dinasti tahun 70-an, di mana mereka melibatkan penonton dalam pertunjukan dengan mengangkat tema keseharian yang sedang terjadi di masyarakat. Kelompok teater ini konsisten pada pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Penulis-penulis lakonnya antara lain Emha Ainun Najib, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon HT, Yama Widura, dan Agus Istiyanto, di samping mereka juga mementaskan naskah karya Kuntowijoyo dan Arifin C Noer. Setelah Dinasti, disusul Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan Teater Gandrik melakukan pertunjukan dengan visi yang sama.

            Di Indonesia, Lena Simanjuntak yang melakukan hal ini sejak 1999 dengan fokus pada perempuan terpinggirkan mulai dari PSK (pekerja seks komersial), perempuan korban konflik (di Aceh dan Poso), pembantu rumah tangga, kaum buruh, para pengungsi, dll. menceritakan, tak sedikit ia mendapat cap sebagai teater pesanan LSM. Itulah memang stempel yang akan ditudingkan bagi teater jenis satu ini. Barangkali ini merupakan sinisme yang dikembangkan oleh sistem Orde Baru sebab kesenian kritis dikawatirkan menciptakan kondisi sosial politik yang demokratis. Itulah sebabnya kesenian yang bebas dikebiri, meski kini pengekangan relatif sudah lebih longgar. Dalam situasi yang terasa lebih demokratis inilah, Orchide Papua Teater menyuarakan problem-problem yang dihadapi masyarakatnya dan terlebih lagi menyampaikan semangat pembebasan terhadap penindasan rakyat kecil, hak asasi manusia, keadilan dan perdamaian. Semua pemain tampak bergairah main dari satu tempat ke tempat lain hingga melintasi lautan. Padahal mereka adalah ibu-ibu yang harus meninggalkan anak dan suami di rumah, awin-awin (nenek-nenek) yang harus meninggalkan cucu-cucu, para pelajar yang harus izin tidak bersekolah atau pendeta yang harus meninggalkan jemaatnya. Mereka sendiri pun penuh semangat melakukan kerja (baca: tugas, perjuangan) teater ini sebagaimana terbersit dalam lagu berikut yang dinyanyikan di akhir pementasan,

            Hitam kulit keriting rambut, aku Papua....
       Biar nanti langit terbelah, aku Papua.....

Setiap kali lagu itu terdengar, penonton seperti tertegun.  Lalu, di akhir pementasan –mengingatkan pada penonton di bioskop-bioskop zaman dulu-- banyak di antara mereka, terutama para perempuan, meninggalkan 'ruangan' sambil mengusap matanya sedih dan terharu. Ada sesuatu yang telah menyentuh mata batin mereka. Kalau saja pementasan ini juga banyak dihadiri para petinggi yang menjadi tujuan mereke bersuara, barangkali akan ada kisah baru di tanah  Papua yang diceritakan dalam lagu, sungainya mengalirkan emas..........
Dorothea Rosa Herliany adalah penyair.

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment