Wednesday, September 8, 2010

[ac-i] Kisah Si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]

 

Sambil menunggu buka puasa.
anggap aja ini ta'jil.
Happy reading
GG

KISAH SI PEMOTONG RUMPUT

[SENIMAN PLAT BAJA]

Oleh Gol A Gong*

 

            Seorang lelaki bertubuh kurus mematikan alat pemotong rumputnya. Telinganya terasa plong setelah sekitar 2 jam lebih dicekoki bunyi "gggrrkkkkkk…" mesin pemotong rumput. Rambut gondrongnya dikuncir. Keringat yang mengucur di wajahnya diusap dengan punggung tangannya. Kaosnya basah. Dia mengitari pandang. Halaman depan dengan rumput import dari Jepang ini jadi rata seperti lapangan bola yang biasa ditontonnya di siaran langsung televisi swasta di kosan temannya. Dia tersenyum puas. Kini tinggal menyapu serpihan rumputnya saja. Diambilnya sapu lidi. Dikuatkan ikatannya, agar tidak cerai-berai. Disapunya rumput Jepang itu dengan bersemangat, sehingga menimbulkan bukit-bukit kecil. Disingkuk dan dimasukkannya ke tong sampah.

"Udah beres?" Seorang lelaki berambut gondrong pula, muncul dari pintu depan. Rambutnya basah sehabis dikeramas. Dia bersarung dan berbaju koko. Wajahnya berseri-seri, menandakan asupan makanannya terjaga; makan 3 kali sehari dengan menu 4 sehat 5 sempurna. Di tangan kanannya segepok kertas.

            "Udah, Bos!" Dia mengacungkan jempolnya.

"Tolong, sekalian buangin ini, ya!" Lelaki bersarung dan berbaju koko itu meletakkan segepok kertas di teras. Tangannya merogoh saku baju kokonya. "Ini insentifmu, ya!" Amplop putih itu diletakkan di atas segepok kertas.

"Makasih, Bos!" Dia tersenyum lebar.

Lelaki berbaju koko itu masuk kembali ke dalam rumah.

            Setelah selesai memasukkan seluruh bukit-bukit serpihan rumput Jepang ke dalam tong sampah, lelaki si pemotong rumput bergegas ke teras. Dia mengambil amplop insentifnya, mengintip isinya. Lumayan, seratus ribu. Dia melongok lewat pintu depan. Lelaki bersarung dan berbaju koko itu sedang asyik duduk di depan komputernya. Jari-jarinya melompat-lompat di huruf-huruf keyboard komputer.

Si pemotong rumput itu melirik ke segepok kertas yang harus dibuangnya.

            

                                                                    ***

 

            Sudah dua kali si pemotong rumput melihatnya membuang bergepok-gepok kertas ke tong sampah. Dia pernah memeriksa kertas-kertas itu. Isinya berupa cerita pendek, novel, essay, atau puisi. Dia bisa tahu itu, karena jelek-jelek juga pernah sekolah hingga lulus SMA. Karena alasan ekonomi, maka dia memilih kerja serabutan untuk menyambung rokok dan makan sehari-hari.  Berawal dari keisengannya melewati perumahan ini. Dari iseng-iseng berhadiah, dia membaca pengumuman di pintu pagar rumah ini: DICARI PEMOTONG RUMPUT.

            Dia langsung memijit bel rumah itu. Yang membukakan pintu langsung si pemilik rumah yang berambut gondrong itu. Dia teringat percakapan di siang panas itu.

 "Ada perlu apa?"

"Saya mau melamar jadi pemotong rumput?."

 "Waduh, nggak salah, nih?"

 "Maksudnya?"

 "Tampangmu seniman kayak gini, kok, melamar jadi pemotong rumput?"

 "Emang, tampang saya seniman?"

 "Rambutmu gondrong, dekil lagi!"

 "Emang seniman seperti itu?"

 "Iya!"

            "Saya bukan seniman. Saya pengangguran. Kenapa rambut saya gondrong, karena saya nggak punya duit buat cukur rambut. Kenapa saya dekil, karena saya kurang makan."

            "Oh, jadi gitu, toh!"

            "Iya."

            "Padahal, kamu pura-pura aja jadi seniman. Banyak, lho, orang punya tampang kayak kamu, ngaku-ngaku seniman. Modal dikit aja, jadi deh seniman."

            "Maksudnya?"

            "Ya, kalau jalan, bawa buku misalnya. Atau, nulis aja sajak. Nggak perlu bagus, tapi sajaknya mesti bikin bingung orang. Karena kalau sajak bikin bingung orang, katanya, itu sajak nilainya tinggi. Semakin orang nggak ngerti, semakin tinggilah kualitas sajaknya. Terus, bacain deh sajaknya di trotoar jalan atau di alun-alun, misalnya. Teriak-teriak saja, pasti orang-orang pada nggumpul. Nah, itu 'kan berita bagus buat wartawan. Muncul, deh, beritamu di koran atau televisi. Jadi, deh, kamu seniman!"

            "Hmm, menarik juga."

            "Langkah berikutnya, tinggal kamu datangi dinas-dinas terkait, seperti Dindik, Disbudpar, atau Pusat Bahasa. Dengan sentuhan kreativitas, kamu bisa deh ngambil proyek-proyek mereka. Bikin buku, bikin pelatihan, bikin tabloid. Asyik 'kan? Nggak perlu susah cari duit. Apalagi mesti jadi pemotong rumput segala.. Ngomong-ngomong, kamu sekolah sampe mana?"

            "SMA."

            "Apalagi SMA! Anak muda kayak kamu, kerja harus pake otak, bukan pake dengkul!"

            "Boleh tahu, kalau Mas, kerjaannya apa?"

            "Orang-orang juga menyebut saya seniman."

            "Mas memang berambut gondrong seperti saya. Tapi, Mas nggak dekil kayak saya."

            "Ya. Persoalannya di situ. Saya ingin menghapus imej, bahwa seniman itu juga bisa kaya, nggak dekil. Banyak kok, seniman yang perlente di Jakarta. Mereka kaya raya. Bahkan secara akademis membanggakan juga. Saya pernah kuliah, tapi dropt out. Teman saya, malah banyak yang S1 atau S2, berprofesi jadi dosen dan bekerja di pemerintahan. Tapi, repotnya, karena saya kaya, lalu saya disebut 'seniman elit' atau 'seniman borju'. Dan teman saya disebut 'seniman plat merah'. Hahahaha..."

            "Kok, bisa gitu, ya?"

            "Ya, bisa aja."

            "Ngg..., sebetulnya, seniman itu..., apa?"

            "Wah, mau melamar pekerjaan, kok, malah minta dikuliahi. Yo, wis. Ore ape-ape. Begini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, seni itu adalah keahlian membuat karya yang bermutu. Ukurannya dilihat dari segi keindahannya, kehalusannya, dan masih banyak lagi. Ukuran-ukuran itu yang menentukan adalah si penikmatnya. Kalau seperti saya, yang menekuni seni sastra, berarti para pembaca karya-karya sya yang mengukuhkan, apakah karya-karya saya disukai atau tidak. Ratusan cerpen, puluhan puisi dan novel, serta ratusan naskah televisi yang sudah saya tulis, saya pikir itu bisa dijadikan ukuran. Nah, dari ukuran-ukuran itulah kemudian msayarakat yang membaca atau menikmati karya-karya saya,. lantas menyebut saya 'seniman'."

            "Jadi, jelasnya 'seniman' itu, apa?"

            "Balik lagi ke Kamus Besar Bahasa Indonesia. 'Seniman' itu adalah 'orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni'. Jadi, kalau baru sekedar bakat saja, tidak berkarya, ya belum layak dikukuhkan sebagai seniman. Apalagi ngaku-ngaku jadi seniman."

            "Lha, kalau Seni itu sendiri, apa?"

            "Ini beragam. Ada seni rupa, seni sastra, seni tari, seni pahat, seni panggung, seni suara, dan saya kira masih banyak lagi."

            "Kalau Mas seni sastra, ya?"

            "Iya. Biasanya saya disebut 'penyair'. Atau 'pengarang'. Jadi, 'seniman elit' itu tidak tepatlah. Apalagi 'senimn borju'. Karya-karya saya tidak menggambarkan atau mewakili golongan itu. Karya-karya saya isinya penuh dengan kritik sosial, kok. Malah yang dikritik, ya, kedua golongan itu. Yang lebih tepat, ya, 'penyair' atau 'pengarang'. Begitu."

            "Hmmm...."

            "Tertarik jadi 'seniman'?"

            "Ada pendaftarannya, nggak?"

            "Hahahahaaah. Seniman itu bukan gelar akademis. Bukan juga seperti kita ikut workshop, lalu dapat sertifikat 'seniman'. Bukan. 'Seniman' itu pengakuan dari karyanya. Menurut hemat saya, yang sekarang sedang trend itu pengelompokan karya si seniman. Nah, itu yang disebut genre, jenis karya. Seperti saya, nih. Di dunia kepenyairan ada sebutan 'pusi mbeling' yang dimotori Remy Silado atau 'puisi gelap'-nya Afrizal Malna. Di dunia cerpen ada 'cerita islami' yang dimotori Helvy Tiana Rossa  atau 'sastra tubuh'-nya Ayu Utami. Kamu tahu 'kan,  Taufik Ismail?"

            "Siapa itu? Tukang bakso?"

            "Dia itu dokter hewan. Tapi, juga penyair. Puisi-puisinya dikategorikan 'puisi perlawanan'. Penuh dengan kritik sosial. Tapi, dia tidak disebut 'seniman binatang', lho! Apalagi 'seniman hewan'. Hahahahaha...!"

            "Menarik juga. Tapi, modalnya dari mana?"

            "Ya, udah Motong rumput dulu. Nanti saya kasih insentif. Cukuplah buat modal awal beli buku!"

                                                                         ***

 

            Kalau pada kesempatan pertama, si pemotong rumput membuang semua isi tong sampah, kali ini dia tidak membuang isi tong sampah semuanya ke bak penampung di ujung jalan perumahan. Dia sengaja mengambil segepok kertas itu. Dia membeli rokok, nasi bungkus, dan minuman suplemen sebagai bekal. Dia pergi ke tengah sawah. Dicarinya saung. Sambil tidur-tiduran, dia membacai segepok kertas itu. Isinya cerita pendek, essay, naskah televisi, dan puisi. Dia tenggelam, bahkan terbelit pusaran arus kata-kata. Dia berhenti dan merokok sejenak. Dia hembuskan asap rokoknya; bergulung-gulung menyerupai jin yang keluar dari lampu Aladin. Dia sedang memikirkan si pemilik rumah yang berambut gondrong seperti dirinya. Makmur sekali hidupnya. Kerja apa dia? Masak, sih, dia bisa kaya hanya dengan menulis ini semua? Kalau betul begitu, apa memang dia 'seniman elit' atau seniman borju?

            Si pemotong rumput membacai lagi halaman demi halaman. Kali ini dengan suara agak keras, bahkan tanpa sadar dia bangun. Dia membacakannya dengan sangat lantang sambil meliukkan tubuhnya. Angin membawa suaranya ke mana-mana. Dia tidak menyadari, kalau para pak petani, para bu tani, para penggembala kerbau sekaligus dengan kerbaunya, para pengangon kambing plus kambingnya, para penggiring itik plus itiknya berkerumun di depan saung; mereka mendengarkan suaranya yang sahsat seperti WS Rendra.

            "Lagi, lagi!" teriak mereka mengelu-elukan. Kerbau mengerbau, kambing mengembikdan itik juga mengitik.

            Si pemotong rumput kegirangan. "Kalian suka?"

            "Ya. Suka! Suka! Bacain lagi, Mas!" teriak para pak tani dan bu tani.

            "Ya! Ya!" Si pemotong rumput mengumpulkan krtas-kertasnya yang bercecera. "Saudar-saudara tahu, ini apa?" Dia mengacungkan kertas.

            Orang-orang di hadapannya serentak menggeleng.

           "Orang-orang menamakannya puisi!"

            "Itu karya Mas sendiri?"

            "Ya, karyaku! Hebat 'kan!" Tanpa rasa bersalah, dia mengakui karya orang lain sebagai karyanya. Ah, mana tahu para petani dan bu tani karya asli dan karya contekan. Apalagi kerbau, kambing dan itik.

            "Ya, hebat. Puisi Mas membela kami, kaum tertindas."

            "Oh, ya? Kalian merasa aku bela?"

            "Ya!"

            Si pemotong rumput merasa berbunga-bunga hatinya. Dia terus membacakan sajak-sajak yang diakui sebagai karyanya sambil menari-nari.

                                                                    ***

 

            Kisah si pemotong rumput tidak hanya sampai di situ. Setelah dia keluar dari toko buku dengan seplastik; mulai dari buku cara membuat puisi, buku kumpulan puisi, hingga buku tentang teater sekaligus buku naskah teaternya. Sejak itu pulalah karya-karya puisinya menderas bagai bah. Dia membacakannya dengan berapi-api di alun-alun dan di trotoar. Wartawan koran dan televisi mewawancarainya. Kemudian semua media massa memberitakannya Dia selalu dengan lantang mengenalkan dirinya sebagai, "Saya adalah 'seniman pemotong rumput', bukan 'seniman akar rumput' Ingat itu! Jangan salah tulis, ya! 'Seniman pemotong rumput'!"

            Ketika ditanya alasannya kenapa, dia menceritakan sejarah hidupnya pada waktu awal mengenal apa itu seni. "Saya tidak ingin a-historis. Kata orang hebat, hidup ini harus selalu melihat kaca spion. Itu artinya membaca sejarah. Begitu juga saya, yang harus membaca sejarah hidup saya. Saya mengenal dunia seni ini saat saya jadi pemotong rumput di rumah yang mengaku dirinya disebut sebagai 'seniman elit'.  Saya diceramahi tentang apa itu 'seni' dan hubungannya dengan 'seniman' oleh orang itu. Bahkan, saya dimodali oleh orang itu untuk jadi 'seniman'! Maka, inilah saya si 'seniman pemotong rumput' Tapi ingat, jalan salah tulis. Saya bisa hebat seperti sekarang ini bukan karena orang itu. Tapi, pada dasarnya karena saya hebat, pintar, cerdas, dan kreatif tentu!"

            Setelah itu karya-karya puisinya dimuat di koran. Para kritikus sastra penasaran. Siapa gerangan penyair baru ini? Kenapa, kok, tiba-tiba melejit bagai meteor. Sebagian meyakini, bahwa fenomema meteor selalu tidak lama. Datang dengan cepat tanpa diundang, lalu menghilang tak berkesan. Yang paling mengejutkan adalah ulasan dari seorang kritikus sastra berpengaruh di negeri ini, "Karya-karya 'seniman pemotong rumput' ini tidak orijinal. Dia hanya mencomot dari sana-sini, mengotak-atik katanya, lalu menggabungkannya. Tidak ada hal baru di dalamnya. Ini karena media massa latah saja, ikut-ikutan memberitakan."

            Kemudian si pemotong rumput tidak hilang akal. Dia beralih ke teater. Dia mementaskan seluruh naskah hebat di bumi ini. Berpindah-pindah; dari satu trotoar ke trotoar lain, dari satu kampus ke kampus lain sambil menyuarakan perjuangan, bahwa kita butuh gedung kesenian. Tapi, para kritikus menulisnya dengan tajam, "Karyanya tetap tidak orisinal. Dia tidak layak disebut sebagai dramawan sekelas kampung sekali pun. Dia hanya seorang adaptor, memindahkan karya orang ke dalam dirinya. Lebih buruk lagi, dia salah memahami substansi naskahnya. Tapi, maklumlah, karena dia bukan lulusan sekolah teater. Dan persoalan gedung kesenian, itu juga penting. Tapi, kalau nanti gedung kesenian hanya diisi oleh karya-karya adaptasi seperti ini saja, mubadzir juga."

            Ada lagi yang menulis lebih menyakitkan. "Dia kan mengaku sebagai 'seniman pemotong rumput'. Itu sebabnya suaranya lebih keras, ketimbang isi karyanya. Saran saya, dia lebih cocok jadi juru kampanye.  Dia kan terbiasa berbicara keras sambil motong rumput! Tau sendiri suara mesin pemotong rumput 'kan!"

            Kritikan-kritikan itu dibalasnya dengan performance art di alun-alun. Dia mengerahkan massa para petani, tukang becak, buruh pabrik, dan tukang ojek. Kali ini dia menyalahi omongannya sendiri. "Saya bukan lagi 'seniman pemotong rumput'. Tapi saya berubah jadi 'kami'. Ya, kami! Perlu saudara-saudara  ketahui, kami adalah 'seniman akar rumput' alias 'seniman grass root'. Kami melawan ketidakadilan. Para kritikus itu sudah berkomplot dengan para 'seniman elit', para 'seniman plat merah', yang mengkritik karya-karya saya tidak bagus. Mereka merasa tersaingi oleh saya. Mereka ingin mengalihkan issue sesungguhnya, bahwa kami sebetulnya butuh 'rumah seniman', tempat kami berekspresi! Ya, gedung kesenian. Itulah sebetulnya perjuangan kami!"

            Tidak sekali dua dia mengumpulkan massa di alun-alun. Dan dia kini asyik berpesta dengan 'seniman akar rumput' yang dideklarasikannya sendiri. Dia menari-nari bersama mereka, dia berteriak-teriak bersama mereka, dia tertawa-tawa bersama mereka.

                                                                          ***

 

            Dia kini berdiri di depan gerbang sebuah rumah. Di pintu pagarnya tertulis "DICARI PEMOTONG RUMPUT". Dia ragu-ragu; masuk, jangan, masuk, jangan... Tapi, sudah tiga hari dia tidak makan. Mau ditaruh di mana wajahku ini? Dia menyeret langkahnya dengan gontai; menjauh dari rumah itu.

            "Hey, hey, tunggu!"

            Dia berhenti. Dia hafal suara itu.

            "Hallo, 'seniman pemotong rumput' alias 'seniman akar rumput'. Hahahaa!"

            Dia menoleh.

            "Butuh kerjaan?"

            Dia mengangguk dengan malu.

            "Alaaaah, malu-malu lagi! Ayo, sini!"

            Dia berjalan menghampiri.

            "Sudah dua bulan rumputnya tidak dipotong! Jadi kayak hutan! Ayo, kerja! Kali ini insentifnya lima kali lipat dari yang dulu. Saya baru dapat rezeki! Novel saya best seller!"

            "Saya heran, kenapa Mas bisa sukses, tapi saya nggak?"

            "Hahahahaha!"

            "Kok, ketawa? Serius, nih!"

            "Pingin tau? Makanya sekolah! Baca buku yang banyak."

            "Saya sudah banyak baca buku."

            "Tidak secepat itu, kawan."

            "Kalau tidak cepat, bisa diambil lawan."

            "Cepat boleh, tapi tepat."

            "Saya tidak tepat?"

            "Satu contoh. Kamu awalnya menyebut 'seniman pemotong rumput'. Itu sudah tepat. Semua memaklumi karyamu, karena kamu berlatarbelakang pemotong rumput. Tapi, kamu tidak tahan kritik. Kamu malah melawan kritikan mereka, bukan dengan karya. Tapi dengan unjuk rasa."

            "Unjuk rasa tidak dilarang 'kan."

            "Tapi, tidak tepat."

            "Yang mana?"

            "Penyebutan 'seniman akar rumput'."

            "Salah?"

            "Tidak tepat."

            "Kenapa?"

            "Mestinya itu dibarengi dengan karya."

            "Saya menulis puisi."

            "Puisimu tidak mewakili suara hati mereka sebagai kelompok sosial 'akar rumput'. Puisimu tidak menyuarakan hati mereka. Puisimu itu berjenis 'puisi tidak jelas', bukan 'puisi gelap', karena hanya menggabung-gabungkan baris-baris puisi orang lain. Selain tidak orisinal, bisa juga  karyamu dikategorikan nyontek. Bahaya itu. Bisa dituntut ratusan juta rupiah. Mestinya kalau ingin aman, di setiap karyamu harus ada catatan kakinya, baris ini adalah modifikasi dari Chairil Anwar, ngutip sebaris puisi milik Sapardi Djoko Darmono, begitu."

            "Pusing saya!"

            "Jelasnya begini. Kamu itu tidak tepat menyebut 'seniman akar rumput'. Yang betul 'seniman pemotong rumput'. Kalau ingin mengelompokkan, cukup 'akar rumput' saja. Kecuali kalau karya-karyamu memperjuangkan hak-hak mereka. Layaklah kamu menyebut dirimu sebagai 'seniman akar rumput'.

            Si pemotong rumput terpekur.

            "Kamu, tuh, cocoknya jadi 'seniman plat baja'. Hahahahaha!"

            "Apa lagi, tuh?"

            "Kamu 'kan tahan banting. Dikritik aja ngeyel. Ndablek. Nggak ada perasaan malu. Nah, cuma baja yang tahan banting kayak gitu, 'kan! Hahahahaha! Cocoklah! 'Seniman plat baja'!"

            "Ada-ada aja, Mas ini..."

            "Usul saya, coba di wilayah cerita pendek atau novel. Bagaimana?"

            "Nggg...."

            "Kenapa?"

            "Saya nggak ngerti tanda baca."

            "Nah, bagus itu, mengakui kelemahan adalah hal termulia."

            "Terus, saya harus bagaimana?"

            "Udah, sekarang motong rumput aja dulu. Siapa tahu nanti saya dapat ide lagi!"

            Dia manut saja ibarat kerbau dicocok hidungnya ketika ditarik masuk ke halaman rumah. Mesin penotong rumput sudah menunggu dengan sejerigen solar ukuran 5 liter.

                                                                    ***

 

            "GRRRRRKKKKK....."

            "Hey! Stop dulu!" Seorang lelaki berambut gondrong pula, muncul dari pintu depan. Rambutnya basah sehabis dikeramas. Dia bersarung dan berbaju koko. Wajahnya berseri-seri, menandakan asupan makanannya terjaga; makan 3 kali sehari dengan menu 4 sehat 5 sempurna. Di tangan kanannya segepok kertas.

            Si pemotong rumput melihat si pemilik rumah melambai-lambaikan tangannya. Dia mematikan mesin pemotong rumput. Telinganya terasa plong setelah sekitar 2 jam lebih dicekoki bunyi "gggrrkkkkkk…" mesin pemotong rumput. Rambut gondrongnya dikuncir. Keringat yang mengucur di wajahnya diusap dengan punggung tangannya. Kaosnya basah.  

            "Ada kerjaan baru buat kamu! Mau nggak?"

            "Apa itu, Bos?"

            "Ada yang nelpon aku. Dia butuh korlap. Kayaknya kamu cocok, deh! Suara kamu 'kan lantang!"

"Grrrrrkkkkk…"

"Nggg…"

"Duitnya gede. Mau nggak?"

            Si pemotong rumput mematikan mesin.

 

***

 

 

*) Penulis membuka bengkel penulis ketok mejik.

 



__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment