Saturday, September 11, 2010

[ac-i] sajak putih sapardi djoko damono - kotak pandora dalam puisi

 

jurnalsastratuhanhudan · MILIS JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN
 



Catatan Jurnal Sastratuhan Hudan:

kotak pandora dalam puisi - sajak putih sapardi djoko damono 

Sajak putih sapardi djoko damono
kotak Pandora dalam puisi


- beribu saat dalam kenangan
surut pelahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca -



sapardi tidak menggunakan kata "waktu", untuk pemakaian kata "saat", di larik awal puisinya. kita bisa mencobakan kata "waktu" di sana. dan sajak berbunyi:

"beribu waktu dalam kenangan
surut pelahan"

bandingkanlah dengan teks aslinya:

"beribu saat dalam kenangan
surut pelahan"

maka kita tahu bunyi "a" di sana memang membentuk rima dalam puisi, melancarkan bunyi "a" yang lain dalam kata, sehingga iramanya tak "berjeda" oleh "u" andai kita hendak memakaikan kata "waktu", sebagai pengganti kata "saat".

lihatlah "a" di sana mengejar "a" "dalam" dan "a" "kenangan". mengejar juga "a" dalam "surut pelahan".

di surut memang ada bunyi "u" - dua "u". tapi dicabutnya "a" dan masukknya "u" dalam "saat", akan membuat larik larik itu menjadi timpang: bunyinya seolah kena "jeda" dan irmananya seolah "patah".

demikianlah seorang penyair memilih kata dalam hubungan dengan kemungkinan bunyi dan lancarnya kata sebagai pembentuk larik yang mendiri dalam puisi.

larik mandiri dalam puisi? mengapa tidak? mandiri tanpa tergantung dengan yang lain. larik bisa berdiri sendiri tanpa harus bergantung maknanya dari larik yang lain. kalaupun ada relasi makna dari satu larik ke larik yang lain, maka itu adalah makna yang saling menerobos satu sama lain: satu larik melimpahi makna terhadap satu larik, larik yang dilimpahi makna membalasnya dengan kelimpahan makna yang sama.

"beribu saat dalam kenangan", memang tak tergantung dengan "surut pelahan".

"beribu saat dalam kenangan" mandiri sebagai pengucapan dalam puisi. larik itu seakan merengkuh seluruh waktu dengan nominal (beribu) sebagai banyak. banyak kejadian. tapi apa yang menarik bagi saya adalah diletakkannya dua waktu di sana: "saat" dan "kenangan", dengan "dalam" seolah menjadi jangkar untuk menerima "waktu saat" dari depan, dan "waktu kenangan" dari belakang.

maka nampak "dua waktu" itu datang serentak, mandiri dalam katan-ya sendiri, saling menerobos dengan medium "dalam" satu sama lain.

tapi tidakkah "beribu" juga adalah suatu sembunyi-nya waktu dalam kejadian - beribu kali aku datang ke rumahmu mengetuk pintu, tapi kau tak mau membukakan pintu untukku. beribu itu tak mungkin terjadi di luar waktu. harus dan mesti di dalam waktu. maka sekali lagi kita mendapati makna mandiri, yang sudah dua kali memperagakan dirinya kepada kita. bukan sebagai kemandirian larik tapi kemandirian "kata", kata yang memiliki kenangannya sendiri dan tampil menunjukkan dirinya kepada kita.

kata mandiri sebagai waktu itu merapat dan menggabung ke dalam dua waktu dalam puisi: beribu saat dalam kenangan.

"dalam" sebagai jangkar juga adalah waktu, dalam berarti lama-nya sesuatu sebagai isi dari "dalam".

dalam waktu sebulan sri mulyani akan pergi ke afrika, dan itulah "dalam" waktu itu.

maka nampak bahwa kita dikepung oleh waktu. dilingkupi oleh waktu. waktu melingkupi kita dan kita ada dalam waktu. tapi waktu juga menjadi ruang dengan tiap empat kata di sana, adalah ruang di mana peristiwa dalam waktu itu terjadi.

waktu berjalan tak bisa mendiri tanpa ruang-nya.

tapi tidakkah "surut" juga adalah waktu? dan "pelahan" juga adalah waktu.

waktu jua yang memisahkan kita, setelah terjadi kisah cinta. waktu yang merenggutkan, dan, astaga!: apakah yang direnggutkan waktu itu? hari? jam? mana hari dan mana jam-nya? lalu kita tahu bahwa waktu adalah benda yang abstrak. kita tahu telah terjadi perpindahan waktu: surut pelahan, kata sapardi. tapi mana surut pelahan-nya? kita hendak memegang undur pelan pelan itu. seorang serdadu menghilang dan kita bisa memegang tubuhnya. tapi tubuh waktu? sekali lagi kita berhadapan dengan yang abstrak. seolah kita hendak memegang tuhan: mana badannya. yang maha abstrak.

sajak ini memakaikan semua kata dalam dua larik-nya, dengan sepenuhnya "waktu dalam ruang"-nya.

tapi apakah hanya sajak ini? tidakkah sajak lain bisa kita operasikan waktu dan ruang yang baru kita peragakan ini? lalu kita tahu kita memang hidup dalam ruang dan waktu, yang abstrak. tapi puisi membawanya ke dalam tubuh kata yang konkret sebagai imaji dan metapora dalam puisi.

***
"kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh"

waktu bisa kita saksikan dari jejaknya - jam yang kita pandang di rumah tua kita sendiri. waktu yang memutar dan menumbuhkan tubuh bumi, dan tubuh kita sendiri. kelak ia "berhenti", di suatu waktu, saat tubuh kita pun mati. maka dalam pengertian "ada" di dunia, nyatalah waktu tak abadi saat ditarik ke tubuh personal: di mati, waktu berhenti. riwayat tak maju lagi ini mengalamatkan pada kita, bahwa waktu bukan saja bisa dicegat entah di tikungan mana, tapi waktu, walau telah "kita" cegat, tetaplah sebuah "saat" yang tak kunjung juga menampakkan dirinya: kematian itu "nyata" bagi tubuh - lihatlah, kita tak eksis lagi. tapi waktu, walau telah "berhenti", tak kunjung terlihat nyata. saat tubuh menghilang dan beberapa pasang tangan menaruh tubuh kita ke "lubang dalam lubang", sang pengantar jenazah melihat wajah waktu yang tak juga "nyata". selalu, "ada" dan "tiada" menampakkan dirinya. ada jam dinding yang berputar dan ada tubuh kita yang berjalan, tapi waktu-nya, tak kelihatan.

"seperti" waktu "seperti" itu pulalah suara: tak terlihat ada-nya. seperti waktu seperti itu juga suara: "terlihat" ada-nya di gromofon tua. chopin yang menyayat atau mozart yang melagukan requiem. nyanyian kematian bergema tapi sesaat telah hilang lagi. tadi "ada" nyanyian kematian itu. tapi kini telah meluncur ke "tiada". ada-nya suara ada-nya ada dalam "gromofon tua". di negeri kita "belenggu" pane telah dipatahkan. ada makna-nya telah menghilang, tapi ada-aksara-nya masih terekam dalam buku-buku. saat kita melagukan nyanyian "yah" dalam novel, saat itu pulalah kita mendengar satu suara - suara yah yang "ada". tapi sejenak lagi angin membawanya pergi: ke mana suara yah tadi? tadi kudengar suaranya berputar di kenang jiwaku. tapi kini hanya angin dan hening.

(ke mana suara gadis dari masa laluku dulu?)

maka dengarlah:

kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

prefiks "se" itu, telah mengayun suara dalam waktu juga: sewaktu kini menjadi se-suara.

"sewaktu detik pun jatuh"

kini berputar ke

"sesuara". kita mendengar "detik"nya, kini kini telah lenyap juga.

maka "se", bisa berputar, bukan sekedar kata keterangan, tapi "tiada" yang berwatak eksistensial. tiada yang mengayun dari ada itu. "sewaktu" dan "sesuara", kini menjadi "se-ada" dan "se-tiada".

'bumi menerima tanpa mengaduh"

di tubuh mana penerimaan semacam itu? ikhlas tanpa suara memang tanah yang kita injak setiap hari. seperti kita tak pernah berterima kasih pada manusia, seperti itu pulalah langkah kaki kita meminjak tubuh bumi, tanpa suatu kalipun berucap: terima kasih tanahku, lihat aku sudah ribuan kali menginjak tubuhmu. tapi tubuhmu menerima tubuhku tanpa suara. detik kakiku melangkah menginjak tubuhmu, detik itu pula "suara dari tubuh"mu tak pernah kudengar. dulu kau berucap pada-nya dalam gema kata kata: tolonglah jangan saya, menerima beban maha hebat ini. aku tak sanggup, katamu. masih kudengar duka abadi-mu semacam itu. berputar ke sini hari ini. tapi kini kau diam saja, tanpa mengaduh, sewaktu detik kakiku jatuh pada tubuhmu.

"sewaktu detik pun jatuh"

tapi "detik" siapa sebenarnya yang jatuh di situ - di tubuhmu, tubuh bumi yang "mati" itu. detik jam dari jam yang terus berjalan? sewaktu detik pun jatuh, adalah sewaktu bandul jam terus menggerakkan tubuh dari isi bumi - peristiwa yang mengusung benda benda. tapi darimana jalannya tiap benda dan tiap peristiwa? sewaktu detik pun jatuh, adalah sewaktu peristiwa terjadi atau dalam bahasa puisi, detik pun jatuh. jadi sewaktu detik pun jatuh adalah kabar dari langit yang dijatuhkan kepada kita-manusia, dan kita-bumi di semesta. sewaktu detik pun jatuh menjadi suatu nasib pun, ditetapkan pada tiap mahluknya. bumi menerima tanpa mengaduh, menjadi bumi-manusia yang tak pernah menyangkal akan tuhannya. menjadi bumi dan segenap isinya yang diam saja akan takdir tuhannya. inilah alamat ketinggian dalam puisi: benda benda (bumi itu), dan peristiwa peristiwa (detik itu) telah diangkat penyair ke wajah asalinya - tuhan yang entah di mana kerajaannya.

dia ada
tapi entah di mana

bayang bayang kita memanjang hendak menangkapnya, tapi yang ada hanya ruang yang samar. "mengabur batas ruang, kata puisi. maka lagi, kita "ada", adanya kita sedang berhadapan dengan tuhan yang "tiada".

boleh kita ganti kata itu - tuhan, sebutkanlah kata yang lain dari suatu yang bersifat transendental: ilmu. logos-nya adalah wajah "akal yang tak terlihat juga".

ada dan tiada telah berputaran dalam puisi sapardi djoko damono ini.

"kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh"


"kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang bayang kita memanjang
mengabur batas ruang"

***
"kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara"


tanda yang menjadi penanda,

(dua kapital dalam sajak sapardi ini - sajak putih, adalah putih dari suatu lambang beningnya alam dan beningnya hati - putih yang memungkinkan kita mendengar hal yang dalam hiruk, akan luput dari mata batin kita, yang tak putih lagi, mungkin hendak hitam - penuh jelaga, "sepi" manusia itu, dalam sajak sapardi yang lain, sajak pembuka bagi satu buku puisi dukaMu abadi, prologue)

telah berputar, dalam gerak kata penuh kontemplasi atas datangnya dunia, yang dicerap secara "fenomenologis", oleh puisi. dalam putaran "Kasih tanpa suara", ke "Kata membuat kita begitu terpencil/di luar cuaca".

oleh suatu putaran semacam itu, "kita pun bisa tersekat dalam pesona", sewaktu "pesona" itu pun "memanggil manggil", pesona dunia yang datang dengan lambat lambat sebagai ruang renung yang menampakkan, atau, lebih tepat, mengundang kita, yang karenanya, "tercekat dalam pesona".

"Kasih tanpa suara" semacam itulah, yang membuat kita tercekat dan terpesona atas gerak diriNya, yang meresap ke dalam dunia, dalam satu gerak di mana "tercekat dan terpesona" "kita" itu, adalah sekaligus membuat kita "terpencil" - terpencil "di luar cuaca".

"sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca"

"di luar cuaca" memang mandiri sebagai satu baris puisi. "di luar cuaca" sebagai kemungkinan dua arti: cuaca di luar - cuaca yang ada di luar, "di luar cuaca". sebagai kemungkinan artinya yang lain, adalah "di luar cuaca" ini. maka dua kemungkinan artinya ini, sama sama telah menempatkan sang "cuaca" di luar dirinya. inilah baris puisi ini, kalau ia berdiri sendirian. tapi baris ini bisa menjadi milik baris sebelumnya, yakni baris "sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil", "di luar cuaca". maka dalam saling terobos seperti itu, "di luar cuaca" menjadi keterpencilan kita seakan, atau seolah, "cuaca yang ada di luar itu". tapi di manakah sebenarnya kita berada? tidakkah "cuaca" sebagai gerak cakrawala adalah bersama kita "adanya dalam dunia"? jadi "di luar cuaca", di manakah "cuaca itu gerangan berada?". di manakah kita yang "terpencil", akibat "tercekat dan terpesona", kepada dan dari, "Kasih tanpa suara", itu?

maka dua baris puisi ini, melakukan sembunyi diri dari satu "tiang puisi", ke "tiang puisi" yang lain. seolah ada dua macam "keterpencilan". yakni kita-manusia yang terpencil, dan cuaca-cakrawala yang ada di sebuah tempat - terpencil, dari kita=manusia.

***
sajak membuat ambigu dalam dirinya, dengan mengapungkan kata. dalam puisi kata kata memang sering mengapung: tubuhnya siap ditarik baris depan dan baris belakangnya, siap melayani dan merengkuh dunia. dengan cara seperti itu, kata (tepatnya: rangkai-kata), dalam puisi, "berhenti", dan "memulai", seolah penari: ia siap ditarik nada dari bunyi musik. tak pernah kata dalam puisi membawa kata ke mati. situasi kata yang mati, tak memungkinkah kenyataan dunia yang hendak berdiam, mekar, dalam kata. dunia ini sendiri mengapung dalam pandangan. kadang seolah nampak, kadang ia mengabur lagi. kemarin hal ihwal begitu jelas di mata saya, kini satu sentuh lain atas dan dari hidup, telah mengaburkan pandangan saya yang benderang. mudah untuk memutuskan, tapi tak mudah untuk menetapkan. ahmadiyah sesat kata orang, tapi ibu ibu dan anak anak dalam naungan keyakinan itu, lihatlah, bahagia hidupnya dan alim tindak tanduknya.

dunia yang berhenti sebagai "tatapan atom", oleh kaum ilmuwan alam, pun menampakkan dirinya serba tak pasti. seolah hendak mengecoh kaum pencari ilmu, yang mengejar kestabilan dalam medan pikiran, dengan menerapkan prosedur empirik dari kerja otak yang memungut bukti empirik, dunia atom itu mengingatkan kita dengan kerja kepenyairan sutardji calzoum bachri yang bisa kita baca dari "kredo puisi"nya.

"dalam (penciptaan) puisi saya, kata kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata kata meloncat loncat dan menari nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar mandir dan berkali kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya."

dan kredo sutardji itu terjadi juga dalam dunia atom dengan hukum atom, seperti yang kita lihat di bawah ini. saya memang belum pernah melihat "atom" dengan pandangan alat bantu. saya hanya sering melihat batu yang diam, batu yang bereksistensi dalam dirinya sendiri seperti kata sartre, atau kata siapapun yang hendak kita jadikan rujukan. tapi dengan "ilmu", adakah alternatif lain selain "percaya", bahwa kaum ilmuwan memang melihat apa yang dia lihat, seperti apa yang mereka ceritakan kepada dunia. situasi seperti ini seolah kita dalam keadaan, saya belum pernah melihat bulan. saya memang memandang bulan di malam hari. tapi bulankah yang saya pandang itu? kata orang itu bulan, yang saya pandang dan yang orang lain pandang. baiklah. kalau begitu kita sama sama memandang bulan. sampai kelak datang ilmu lain dan berkata itu bukan bulan tapi matahari.

maka saya menurunkan capra, fisikiawan pemeluk budha itu. ia menulis dalam bukunya "titik balik".

"menurut teori quantum, materi itu selalu resah, dan tidak pernah diam. sejauh yang dapat digambarkan, materi terdiri atas unsur unsur pokok yang lebih kecil - molekul, atom, dan partikel partikel - unsur unsur pokok ini berada dalam keadaan bergerak secara terus menerus. secara makroskopis, alam materi di sekitar kita mungkin kelihatan pasif dan lamban, tapi ketika membesarkan sebuah batu atau sepotong logam yang 'mati' itu, kita melihat bahwa batu atau logam sebenarnya penuh dengan aktivitas. semakin dekat kita melihatnya, semakin kelihatan hidup benda itu. semua materi di lingkungan kita terdiri atas atom yang berhubungan dengan atom ataom lain dengan berbagai cara untuk membentuk suatu keragaman struktural molekul yang luar biasa yang tidak kaku dan tidak pula diam, melainkan bergetar sesuai dengan temperatur dan selaras dengan getaran panas lingkungannya. di dalam atom yang bergetar itu elektron elektronnya terikat pada inti atom dengan kekuatan listrik yang mencoba menjaganya sedekat mungkin, dan elektron elektron itu menanggapi pembatasan ini dengan berputar dengan kecepatan yang luar biasa. di dalam inti atom itu, selanjutnya proton dan neutron ditekan menjadi volume yang sangat kecil dengan kekuatan nuklir yang sangat besar, dan akibatnya bergerak ke sana kemari dengan kecepatan yang tak terbayangkan.

dengan demikian, fisika modern menggambarkan materi sama sekali bukan sebagai sesatu yang pasif dan lamban, melainkan berada dalam gerakan yang bergetar dan menari nari tanpa henti yang pola dan iramanya ditentukan oleh konfigurasi molekul, atom, dan nukilir. kita telah menyadari bahwa tidak ada struktur statis yang dialaminya. ada suatu stabilitas tapi stabilitas ini merupakan salah satu keseimbangan dinamis, dan semakin jauh kita menembus ke dalam materi, semakin banyak yang kita perlukan untuk memahami hakikat dinamisnya, untuk memahami pola polanya."

begitulah benda yang kita lihat diam itu, ternyata bergerak seolah gila dalam dirinya. seolah wajah bahasa yang penuh ketidakstabilan bekerja dalam dunia benda. dunia materi semacam itu pula yang tampil dramatis kepada ilmuwan alam seperti yang dituliskan oleh capra dalam buku yang sama, saat menggambarkan perasaan einstein menghadapi dunia atom dalam tatapan ilmu fisika modern.

"semua usaha saya untuk menyesuaikan landasan teori fisika dengan pengetahuan jenis baru ini telah gagal sama sekali. rasanya seolah olah tanah tempat kita berpijak telah diambil dari bawah, tanpa ada landasan kuat lainnya yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk mendiringan bangunan."

atau seperti yang dicatat capra atas heisenberg, yang berjalan termangu mangu sambil berkali kali berkata kata dalam hatinya: "mungkinkah alam ini absurd sebagaimana yang tampak pada kita dalam eksperimen eksperimen atom ini?"

itulah wajah sang sunyi saat menurunkan dirinya atas dunia. wajah yang dalam ungkapan sapardi dalam puisi, telah "membuat kita begitu terpencil", tersekat dan terpesona, "di luar cuaca."

***
(manusia diciptakan dalam keadaan resah dan gelisah. kalau senang ia tertawa, kalau sedih ia berduka. ia dikejar oleh ketakutan akan kemiskinan. ia dicipta dari tanah hitam. rohnya dari cahaya. dan sayalah yang maha cahaya)

itulah suara dari kitab suci, yang sering dikatakan kaum ilmuwan atau pengikut ilmu, atau mereka yang terpesona dengan kemajuan ilmu dengan berlebihan, dan karena itu fanatik, sebagai mitos. dunia tak pernah bisa ditangani oleh mitos, tapi oleh ilmu. karena ilmu adalah cahaya akal budi seperti yang dikabarkan, dan dipraktekkan, oleh eropa abad penuh cahaya.

(kita di mana saat itu? saat ilmu tumbuh di eropa dengan mengerami kebajikan yang datang dari dunia filsafat yunani. dan kita di mana kini?)

tapi dunia juga adalah kabar dari susunan "piramida kurban manusia" ala berger, yang telah memetakan mitos yang datang dari dua isme besar - isme kapital dan isme sosial. jadi ilmu akhirnya mitos juga. dunia memang persis seperti yang diterakan oleh "tuhan kaum yunani", sebagai 'mitos sisipus", yang telah dengan indah dihidupkan camus dalam esainya. atau mitos evolusi dawin dengan seleksi alam dan perjuangan untuk terus hidup. dan marx pun memang telah terbukti sebagai mitos, dengan kerinduan platonik di ranah sosial, sebagai "kelak akan tercipta masyarakat tanpa kelas", "sewaktu" kaum borjuis ini hancur oleh hantu yang diangankan membayang-bayangi eropa - hantu komunisme. atau dalam wajah negeri kita sendiri, mitos juga yang diperagakan oleh amien rais sebagai lokomotif kaum reformis menjelang dan sesaat tumbangnya sebuah orde, bahwa kita akan membangun, dan dihidupi, oleh sebuah tatanan yang hingar bingar, menunjukkan utopia masyarakat yang bahagia di banyak media massa.

kaum fisika datang dengan kata kata: dunia benda ternyata resah gelisah dan menari nari gila di kedalaman benda. sutardji datang dengan kredo, biarkan kata bebas menempuh gila dari kebebasannya sendiri. saya pun datang dengan kabar yang diterakan oleh kitab suci: tertundanya hasrat surga dan terlemparnya manusia ke dunia. sebagai kebenaran yang dibatalkan oleh tuhan itu sendiri. sebabnya? mana kita tahu. hanya dia yang tahu. akibatnya: itulah dunia paradoks yang harus kita hidupi. dan bahasa mencatatkan dunia paradoksal semacam itu. karena itu biarkan para pengarang naik ke "lauh mahfuz"nya sendiri. mencari dan menyibak rahasia yang dipendamkan tuhan atas takdir dan nasibnya sendiri. kotak pandora itu telah ditanam ke dalam tubuh manusia. biarkan para pengarang membukanya dan mencari in absensia-nya dalam bahasa.

"perahu kertasku hendak berlayar", kata sapardi, "jangan ada tangan yang menahannya. "biarkan perahu kertas kita-manusia ini sampai entah ke lautan mana."

apa yang aneh dengan resah dan gelisah seperti itu, kalau tubuh manusia datang dari tanah hitam, dan kalau tanah hitam, dalam tatapan kaca mata ilmuwan alam, adalah benda yang resah dan gelisah juga di kedalamannya. menari nari gila tak tentu rupa dikedalamannya. apa yang aneh pula kalau bahasa pun resah dan gelisah, sebagai resah dan gelisahnya situasi descent manusia, atau ditanamnya tanah hitam ke dalam tubuh. seolah semua itu membuka ke satu jurusan: tubuh sebagai medium dan tubuh sebagai kotak pandora yang ditanam dalam badan. kotak dibuka maka berlompatanlah resah dan gelisah ke dalam wujud nyatanya: bahagia sesaat untuk ditawar oleh resah gelisah lagi. bahagia sesaat untuk ditawar oleh resah dan gelisah lagi.

resah dan gelisah, orang mengatakannya sebagai harapan dari hidup yang dibayangkan agar lebih baik. untuk lebih baik manusia melompat ke dalam konsep usaha. nasib berhenti di ujung pena kita ini kalau pena tak kita isi dengan tinta lagi. tapi tujuh lautan tinta dan tujuh batang pena semata hanya mencatatkan bahagia yang telah dibatalkan dalam simbolik: surga bukan tempat adam dan hawa kini dan saat ini. surga adalah tempat di mana ruang dan rentang yang dibentangkan bernama biografi semesta, yang hitungan aritmatikanya tak terkira kira: milyaran tahun ke belakang dan milyaran tahun ke depan.

di sanalah kita tercekat, dan terpesona, "di luar cuaca". maka dalam pembacaan seperti ini, larik yang berdiri sendiri, sebagai "di luar cuaca", adalah di antara surga yang telah ditinggalkan dan surga yang kelak akan datang. di antaranyalah kita berada, terapung apung, "di luar cuaca".

saya tak yakin sapardi, saat menuliskan puisi ini, atau terutama, saat khususnya menuliskan larik akhir puisinya, berpikir seperti apa yang saya pikirkan. sama dengan tak yakinnya saya ada kritikus yang paling berteori sekalipun, mampu mem-bor sajak ini dan menemukan kecerahan makna seperti yang sedang kita tuliskan. saya pun tak juga yakin kepada diri saya sendiri saat terlibat dalam pembacaan. semua keyakinan saya datang saat saya sedang menulis. seolah tanah hitam dalam badan saya bangkit dan menari nari dengan resah dan gelisah, mabuk dan mengalami trance yang membuat benda benda nampak telanjang di depan mata bahasa saya. semua bekerja otomatis saat kita sedang menulis. adakah "lauh mahfus" dalam badan saya sedang bekerja saat saya sedang menulis? adakah kotak pandora yang ditanam dalam badan saya membuka dengan sendirinya saat saya sedang menulis?

tapi tidakkah tulisan ini pun, adalah ada dan adanya ada "di luar cuaca". kalau adanya "di luar cuaca" maka untuk apakah kita menulis? tidakkah itu adalah wajah absurd dari mitos sisipus yang berputar putar di ujung jari jari saya saat sedang mengetikkan tiap kata kata yang datang dari in absensianya jiwa saya sendiri.

sajak datang dengan kecerahan tapi kecerahan apa yang kita dapatkan, kalau diri kita manusia terapung "di luar cuaca". kini hendak kembali mundur ke surga lagi tak bisa. kini hendak berlari ke surga di masa depan pun dihalangi waktu.

waktu, ruang dan waktu, adalah "di luar cuaca" itu.


Hudan hidayat
pendiri dan pemimpin redaksi jurnal sastra tuhan hudan

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment