Tuesday, September 15, 2009

[ac-i] bulan sastra

 

menyambut bulan bulan an
ih geje hehe

Jurnal Sastratuhan Hudan: manusia dan bahasa - edisi yang dimatangkan

- selalu orang kini berhutang pada orang masa lalu. Yakni pada bahasa -

Medium Bahasa

Adalah kesadaran yang mengeram dalam badan yang menjadi cikal bakal bahasa – bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Kesadaran yang menyadari dunia. Maka awal mula medium bahasa adalah adalah badan tempat di mana kesadaran berdiam.

Asal badan dari tanah hitam, dari unsur-unsur alam. Unsur-unsur alam seperti tanah, air, atau udara, yang bermetamorfosa menjadi badan manusia. Atau menjadi badan binatang di dunia hewan. Tanpa kesadaran manusia tak lebih dari dunia benda-benda, yang tak sanggup bermetamorfosa menjadi tubuh manusia. Hanya anasir-anasir alam yang terpisah. Tapi benda-benda hidup, bukan barang mati. Karena tak suatu pun yang ada di dunia adalah benda mati. Semua bergerak dalam dan dengan caranya sendiri. Kau dengarkah burung memanggil namaku di suatu waktu?

Benda-benda seolah gula dan kopi yang letaknya berdekatan, tapi tak suatu tanganpun yang mengaduknya dengan partikel-partikel air, sehingga gula dan kopi bercampur, berproses menjadi format baru: air kopi yang kita minum pada suatu malam, saat hujan berjatuhan di teras rumahmu.


Bahasa Adalah Mahluk

Seperti manusia adalah mahluk, yang berdimensi tubuh dan jiwa (kesadarannya), maka demikianlah bahasa adalah mahluk. Tepatnya: kesadaran yang telah berpindah tempat, dari badan manusia kini menempati rumah barunya yakni bahasa. Huruf, kata, dan kalimat kini menjadi tubuh dari kesadaran yang berpindah tempat ke dalam bahasa. dan tentu: badan bisa mati, kembali ke asalnya lagi: tanah. Mati dari pengertian awam: tubuhnya tak ada, telah bersatu kepada tubuh awalnya lagi yakni tanah itu. Tapi kesadaran tak bisa mati. Karena kesadaran itu adalah jiwa, adalah roh, adalah zat yang sampai kapanpun tak bisa mati.

Maka pengertian tentang kematian menjadi relatif. Bukan mati tepatnya, tapi suatu pelepasan dari gejala alam pulang ke rumahnya: badan yang bersatu dengan tanahnya kembali. Tanah yang hidup, tanah yang mengolah dan menumbuhkan kehidupan dengan olahan kerjasamanya. Yang suatu ketika menciptakan kertas dan pena untuk menulis huruf a – tanda dari aksara, bahasa itu. A, yang ditarik dari garis dan dibelokkan menjadi a yang kita kenal, yang di dalamnya ada suatu pergerakan atom-atom. A sebagai huruf yang tidak mati, bukan benda mati. Tapi bergerak di dalam dirinya sendiri. Dengan caranya sendiri. Berjungkir dengan resah dan gelisah sebagai watak manusia juga.

Tapi bahasa adalah mahluk yang pasif. Bahasa tak bisa lagi melakukan argumentasi sebagai mahluk kesadaran yang aktif. Tapi bahasa menjadi mahluk yang hidup dengan keadaannya yang pasif itu. Dan ini disebabkan oleh sifat bahasa sebagai mahluk atau sebagai zat yang tidak bisa mati.

Bahasa menjadi mahluk aktif ketika ia me dan di "rangkai" kan oleh sang pengguna bahasa. adalah menarik melihat gejala manusia itu: detik di mana ia berkata-kata (kalau direkam), atau detik di mana ia menulis, maka pada dasarnya ia telah melahirkan mahluk baru, mahluk dari pecahan jiwa kesadarannya, atau rohnya, yang dalam posisi aktif membentuk mahluk baru yang dalam posisi pasif, dalam pengertian, kini ia tak bisa lagi bergerak, tapi telah mengeram dalam tubuh barunya, yakni huruf, kata, kalimat, sebagai tanda atau lambang aksara, itu.

Aktifnya bahasa sebagai mahluk "pasif" ini terjadi saat sang pengguna bahasa bersama huruf, kata, dan kalimat, membentuk atau memformat dirinya ke dalam cerita. Dalam ceritalah bahasa sebagai mahluk baru bernama bahasa ini membuat dirinya menjadi aktif kembali. Jadi sifat bahasa sebagai mahluk adalah memformat dirinya ke dalam cerita. Dan ia membutuhkan jembatan gantung yakni manusia.

Aktifnya mahluk baru bernama bahasa ini adalah melalui bayangan dalam pikiran yang ditunjuknya. Misal kata bulan darah pada puisi, di mana bulan darah menjadi suatu bayangan dalam pikiran bagi mahluk lain yang bernama manusia, saat berinteraksi dengan mahluk lain bernama bahasa.

Bayangan dalam pikiran itulah yang melahirkan rangkaian lain yakni lintasan hati, suatu tahap di mana melalui pembayangan akan sesuatu yang lain, manusia menghadirkan kenyataan lain, yang berlintasan dalam pikiran yang bisa digandeng bersama bayangan awal, atau melawan dan dilawankan kepada bayangan awal. Bulan darah membayangkan kematian harapan tapi sekaligus menghadirkan lintasan indah dan bahagianya nikmat sebuah percintaan.

Atau melalui saran. Di mana suatu bahasa mensarankan pembacanya untuk melakukan tindakan, mengalami suatu katakanlah kesedihan atau kegembiraan. Jadi saran dalam bahasa melahirkan keinginan, kehendak, bagi manusia yang bersentuhan bahasa.

Kalau bahasa itu adalah mahluk sebagaimana kita adalah mahluk, maka adalah menarik bagaimana melihat bekerjanya mahluk bernama bahasa dengan keinginan dan harapannya, kontradiksi dan absurditasnya, di mana pikiran dan perasaan dilibatkan atau terlibat di dalamnya.

Maka kini kita sampai kepada kenyataan bahwa bahasa, sebagaimana manusia, bisa berbahagia atau menderita. Bahwa sebagaimana manusia bahasa bisa marah, memendam kemarahannya, atau meledakkan kemarahannya. Bahwa bahasa bisa mencapi ketinggian dan keagungan serta keindahan, tapi juga bahasa bisa turun kelembah bawah berupa kehinaan, kepapaan, dan ketidaan. Dan untuk semua itu, bahasa sebagaimana manusia, pun melakukan politik atas setiap unsur dirinya saat berinterkasi demi dan untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya.


Politik Bahasa

manusia yang tenang, manusia yang gelisah tak hendak diam, sama ada dan sama benarnya di dunia. Manusia yang tenang mungkin menjadi massa yang banyak, yang kerap dalam sejarah kita lihat menjadi seolah nomor belaka bagi kaum politisi, bagi kamu pemodal yang menguasai industri, sebagai manusia massa yang adalah asset (di) dominatif karena "ketenangan"nya, yang terbaca sebagai manusia massa yang terberi, tak mendaya daya gunakan potensinya, atau daya daya gunanya karena suatu takdir memang terberi untuk menjadi manusia massal, namun pun begitu tetap menyumbang pada kemanusiaan dari sudut menggenapkan jumlah massa manusia.

Tapi tak menyumbangkan suatu peran signifikan yang mewarnai dunia. Ada tapi hanya dalam jumlah. Ada tapi hanya untuk ter dan di dominasi. Dan biarkanlah gejala ini. Kita toh tak bisa melakukan akselerasi terhadap suatu yang telah ditetapkan oleh dan di langit yang tinggi. Bahkan di sini kita bisa menarik suatu kesan: nabi nabi dikirimkan demi dan untuk suatu permainan dadu antara tuhan dan mahluknya. Dadu diputar dan kembali ke tuhan lagi. Dadu diputar dan manusia bahagia dan menderita. Dadu diputar dan lahirlah bahasa.

Kita hendak berbicara tentang mahluk manusia yang aktif, yang tak hendak diam tapi gelisah terus, yang didorong oleh suatu impuls, suatu obsesi, suatu kerinduan untuk melihat suatu tata yang adil di dan antar manusia, dalam relasi di dan antar organisasi dan antar negara juga. Mahluk manusia yang menyumbangkan sesuatu dari basis daya daya dalam dirinya, yang potensial dan riel, yang mungkin dan bisa mengubah dan memberi warna pada dunia, dunia kini dan mungkin pula dunia nanti. Manusia yang memiliki daya jangkau melewati lintasan lintasan sejarah.

Hidup adalah struktur seperti negara adalah struktur yang semestinya hidup, seperti manusia adalah organ organ yang saling bekerja sama, seperti negara yang bagian bagian organ organisasinya juga saling bekerja sama. Ideal mungkin membuat hidup tenang, tapi jelas bukan suatu dinamik dalam bingkai menemukan. Ketenangan tak pernah menemukan apapun. Seperti alam yang tak teruji batas kekuatannya sendiri, begitulah manusia yang tenang tak pernah bisa menguji batas amarah dan kesabarannya sendiri. Batas ketinggiannya atau batas daya tahannya saat menderita.

Selalu dunia adalah dunia tempat di mana daya daya diuji oleh sejarah, oleh laku yang dikategori buruk dan busuk, manipulatif dan jahanam. Tapi selalu juga manusia tampil dalam dikotomiknya: fitri, baik dan agung. Atau busuk dan jahanam. Dinamik kedua watak ini bisa kita sebutkan sebagai pembentuk pahlawan dalam masa konolial dari suatu bangsa, dan kutukan dari suatu bangsa atau bangsa lain yang melakukan kolonialisasi dan imperialisasi. Begitulah faktanya tapi begitlah kedua watak watak baik dan buruk yang tergantung pihak mana menilainya, sehingga memerlukan suatu tanda petik di antara kata kata itu. Tapi yang jelas telah melakukan dinamik sehingga dunia berkembang dan bergerak ke depan. Layar Indonesia terkembang, kata takdir alisjahbana sekian tahun lamanya. Tapi layar terkembang itu kini tak lain adalah layar kuncup juga. Atau pernah terkembang lalu kuncup lagi. Atau bahkan mungkin tak pernah terkembang sama sekali.

Kita tak hendak berpanjang panjang dengan hal yang sudah menjadi pengetahuan sejarah kemanusiaan ini, tapi kita hendak menekankan suatu sikap dari watak kesadaran, yang pada dunia manusia bisa membuat ia menderita atau bahagia. Yang telah menjadi tekanan pada hidupnya sehari hari. Dan kini setting apa yang dialami oleh dinamik dalam alam manusia itu kita pindahkan kepada bahasa – sebagai suatu perpanjangan dari kesadaran, dari jiwa, dari roh yang kini telah berpindah dan berdiam ke dalam bahasa sebagai mahluk baru selain mahluk manusia.

Apakah watak di manusia berbeda saat di bahasa? apakah kesadaran aktif manusia berbeda dengan kesadaran pasif yang nota bene adalah jejak dari kesadaran aktif yang kini telah berpindah tempat ke dalam bahasa, itu? Bagi saya adalah sama. Hanya satu yang membedakan, seperti yang telah disebutkan di depan tadi. Yakni dalam bahasa mahluk kesadaran itu tak lagi bisa melakukan argumentasi aktif. Karena argumentasi aktifnya kini telah berpindah karakteristiknya. Yakni ke dalam cerita dengan cabang cabang sebutan pembentuknya.

Kalau wataknya sama maka sungguh bahasa sebagai mahluk bisa menderita dan bisa bahagia, sebagai manusia juga. Derita dan bahagia yang darinya telah melahirkan ketinggian dan kebermaknaan, keindahan dan kedalaman. Manusia agung melahirkan inspirasi, mimpi, dan imajinasi baru akan dan tentang manusia. Bahasa yang agung pun melahirkan hal yang sama. Maka mahluk manusia dan mahluk bahasa yang telah mengeram dalam tubuh aksara, sama sama bisa melahirkan keagungan tapi sekaligus sama sama bisa melahirkan kebusukan.

Kini kita masuk ke dalam isyu centralnya. Yakni bagaimana bahasa ini bisa bahagia atau menderita. Bagaimana bahasa ini bisa menjadi agung atau turun ke lembah kehinaan. Bagaimana bahasa ini bisa memberikan mimpi, imajinasi, dan inspirasi baru bagi kemanusiaan dalam menjalankan kehidupannya yang rutin dan membosankan.

Maka kita sampai kepada sintaktik, semantik, dan pragmatik dalam bahasa, sebagai suatu kesatuan organik seolah dalam tubuh manusia. Dan sebagaimana manusia adalah roh kesadaran yang melalui organ organ fisiknya dalam mendinamik kesadarannya, begitulah bahasa itu melalui suatu struktur dalam bahasa yang mengimplikasikan keniscayaan bekerjanya ketiga aspek itu. Yakni aspeks sintak, seman, dan pragman.

Sintaktik adalah suatu jalinan huruf, kata, dan kalimat yang membentuk cerita. Ia bisa kita katakan anggota indera manusia seperti tangan, kaki, mata dan telinga, yang bekerja sama untuk dialiri oleh energi kesadaran yang membentuk makna atau semantik. Tata bahasa dalam pengertian sintaktik ini, adalah tubuh bahasa seperti tubuh manusia yang hanya semata eksis karena dialiri oleh energi kesadaran manusia, yang kini pindah dan mengeram ke dalam bahasa. energi yang membentuk makna atau semantik itu. Dalam suatu jalinan seperti koordinasi tangan dan kaki, mata dan telinga dan lalu mengalirlah kesadaran dan mengalirlah makna, dalam suatu relasi program dalam bahasa.

Katakanlah kaki kita pincang sebelah, maka lari kita jadi lambat. Kaki kita bukan hanya pincang tapi putus dan bahkan kedua kaki kita yang putus, maka kita menjadi manusia invalid. Tak bisa berlari. Dan terganggulah citraan mata kita atas sturktur tubuh kita itu. Tak maksimal lagi. Tak berguna lagi. Tak indah lagi. Tak bermakna lagi. Tapi semua itu pada skala terbatas yakni pada soal berlari. Adapun walau ia cacat, ia masih bisa mendayagunakan fungsi kemanusiaannya melalu inderanya yang lain, dan bahkan melalui bantuan atas kakinya yakni dengan memakai kaki palsu. Begitu juga dengan bahasa. dan bahasa yang pincang, atau invalid, dalam prosa dan dalam puisi adlah sama saja keadaannya. Sangat mungkin sintaktiknya kurang teratur, tapi semantik maknanya mampu terbang unggul. Sangat mungkin ia tak diikat dengan baik oleh suatu programatik, tapi totalitas semantik maknanya mampu melewati semua tetek bengek seolah siring siring di mana air bah mengalir, menjebolnya, atas mana suatu makna seolah burung garuda terbang tinggi. Bahkan dengan lain lain perkataan, seseorang boleh saja mengabaikan urusan sintaktik ini, tapi langsung memburu dan mengubur semantik makna dari totalitas suatu bahasa.
Bahasa yang bahagia, bahasa yang menderita

Kita harus menyadari bahwa kesadaran yang telah berpindah itu, yakni bahasa, asal muasalnya dari kesadaran yang mengeram dalam badan. Kita harus menyadari bahwa badan adalah dari tanah hitam. Dan kita pun harus menyadari bahwa roh penggerak badan dari suatu zat yang datang juga dari alam – bukan tanah, mungkin, tapi ada di alam. Ada di semesta raya. Tak suatupun di luar ada-nya, di luar semesta raya. Bahkan tuhan dalam bahasanya sendiri berkata bahwa ia meliputi alam, adalah ada-nya di semesta raya juga. Bahkan ada-nya di semesta pikiran kita. Apa jadinya tuhan kalau tak ada manusia? Tak dikenal oleh suatu pun. Orang kini dan orang dulu, atau orang kelak boleh punah, tapi tuhan tetap membutuhkan mahluk-nya yang lain untuk melihat segala kebesaran dan keanehan eksistensinya.

Dan antar roh dan badannya terdapat suatu ikatan yang aneh, suatu ikatan yang seolah saling merindu tapi juga saling membenci. Seolah benda yang ingin turun ke bawah sedang roh hendak naik ke atas. Maka badan inginkan kehinaan dan pikiran inginkan ketinggian. Kadang badan menarik pikiran ke bawah dan jatuhlah kita kelembah hina melalui badan. Kadang badan ngikuti pikiran dan tentramlah ia dalam masjid atau gereja. Begitulah karakteristik hubungan badan dan rohnya. Saling rindu saling benci, seolah gadis dan bujangnya: saling rindu saling benci. Seakan akan jinak jinak merpati. Tapi satu hal yang bisa ditarik bahwa baik roh dan badan itu, dan karena itu, saat ia berpindah ke dalam bahasa, maka kata dalam bahasa atau bahasa dalam kata merindukan asalnya semula. Yakni alam. Dan mendapatkan wataknya semula. Yakni sunyi dan misterinya seperti alam itu sendiri. Dan mendapatkan labirinnya seperti alam semesta yang tak terperi. Mendapatkan apa lagi? Bunyi, bunyi alam yang aneh, yang seolah suatu panggilan dari jauh agar kita mendekat. Seolah ada suatu dunia yang kita rindukan. Seakan kita berada di sebuah stasiun sunyi dan asing, sementara rumah dengan segala kenangannya memanggil kita untuk segera pulang. Agar kita jangan jauh jauh dari rumah. Agar kita pulang dan berkumpul dengan keluarga walau derita juga misalnya adanya. Atau mungkin bahagia. Atau campuran di mana batas bahagia dan derita berjalan bolak balik seolah kedua kaki kita yang mengayun, menempuh dan menembus malam yang sunyi dan sepi.

Puncak pendapatan itu adalah tuhan itu sendiri. Betapa tuhan itu tak terjelaskan. Seolah ada tapi tiada. Seolah tiada tapi ada. Betapa nasib tak terjelaskan. Betapa alam tak terjelaskan. Selapis selapis muncul kenyataan baru. Muncul hukum hukum alam baru. Betapa belahan belahan nasib baik dan nasib buruk terus berputar menunjukkan duka dan bahagianya manusia. Betapa alam binatang diam dan ada di sekitar kita, tapi kita tak tahu apakah mereka bahagia atau menderita. Kadang kita tatapi mata sapi yang melenguh sunyi. Matanya seolah menderita tapi tak terjelaskan apa deritanya. Bagaimana mungkin sapi bisa menderita? Apakah sebab sebabnya derita sapi? Karena betinanya disembelih dan karena ia melihat adegan penyembelihan itu? Kita tak tahu. Tapi kita tahu misteri yang diam dalam sorotnya yang tak terlukiskan. Dalam lenguhnya yang seakan panggilan dari tempat yang tak kita kenali. Dari sapi kita lalu tahu tuhan yang maha sunyi. Tuhan yang maha misteri. Tuhan pembentuk dunia. Mungkin orang hendak berkata, bukan tuhan yang membentuk dunia. Baiklah. Tapi siapa yang membentuknya? Terbentuk dengan sendirinya. Baiklah. Tapi bersiap siap untuk merontokkan azas pikiranmu sendiri. Yakni hukum sebab akibat yang dipuja oleh para pengguna kemampuan pikiran manusia.

Saya tidak tahu mengapa saya merasa hampa. Saya tahu hari kemenangan itu tinggal beberapa saat lagi. Mungkin karena saya tidak puasa sehingga tidak ada yang bisa saya rayakan. Merayakan kemenangan apa? Saya tidak berpuasa. Merayakan kemenangan apa? Saya tidak patuh padanya. Tapi benarkah saya tidak patuh padanya? Bagaiaman kalau saya katakana saya patuh padanya tapi saya telah kehilangan orientasi padanya. Seolah semua ini main main belaka dan saya adalah orang yang deprogram untuk bermain main. Memainkan langkah kiri dari kehidupan di dunia, dengan padanan langkah kanan juga dalam kehidupan yang sama.

Tapi ini memang urusan lain lagi. Tak terlalu langsung terkait dengan apa yang hendak saya katakan. Yakni bagaimana bahasa dalam sastra itu, seperti manusia dalam alam nyata ini, bisa menderita atau bisa bahagia.

Bahasa menderita saat ia dibenani oleh suatu kebohongan dan suatu kebusukan. Baik kebohongan pribadi apalagi kebohongan publik. Hasut dan fitnah misalnya. Bahwa keluarga anda komunis dan bahwa untuk itu seluruh keluarga anda harus dibantai, karena komunis, atau keluarga anda yahudi dan karena itu harus dimusnahkan karena beridentitas yahudi, maka bahasa menderita di sana. Ia mengalami invalid fungsinya sebagai pengemuka kebenaran. Alam tidak hendak berbohong satu sama lain dan alam hendak bekerja sama satu sama lain. Maka kalau kita abaikan daya dukung alam alam jadi seolah ngambek, lalu marah dan lalu meletuskan kemarahannya dengan banjir bandang misalnya. Dokumen penuh kebohongan itu membuat bahagia terdiam dan mati dalam dinamiknya sendiri. Lemas dan lesu di lembaran lembaran dokumen palsu penuh hasut dan hasrat membunuh.

Maka bahasa lalu tampil seolah manusia: ingin merebut keagungannya kembali. Ingin mengambil sifat kebenaran sebagai wataknya. Bahasa itu pun menyelinap ke dalam jiwa jiwa lain yang cenderung kepada kebenaran, yang cenderung gemar akan kemanusiaan yang bahagia, dan yang cenderung serta siap menderita atas resiko yang telah dipilihnya. (lagi diteruskan)


__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment