Wednesday, September 16, 2009

[ac-i] Re: Anak Sekolah 'Allochtoon' - dan Wanita Muslim ber-Jilbab

Dan seandainya yang menyaksikan "kecelakaan" yang dialami oleh si pengendara sepeda itu adalah sorang pemuda facist atau "skin head"umpamanya, apakah sang facist itu akan menolong?. Bolehkah kita pastikan tidak? Silahkan setiap orang menjawabnya sendiri-sendiri. Saya tidak berpihak pada fasisme, tidak pada ras diskriminasi, tidak pada "skin head"dan sebangsanya. Baru-baru ini saya membaca head line pada sebuah koran Belanda yang mencetak dengan huruf-huruf tebal dan besar: : "BISAKAH KITA MENYEBUT KATA < MAROKKO> TANPA MENJADI SEORANG FASIS?". Begitulah situasi yang dialami orang-orang alochtonen pada umumnya di Belanda. Meskipun orang Marokko yang menjadi tekanan, tapi sesungguhnya berlaku untuk semua yang non Belanda totok. Ini sebuah kenyataan. Tapi bukan satu-satunya kenyataan bila kita mau jujur dan berani berterus terang. Diskriminasi tidak terjadi pada satu pihak meskipun yang berdominasi adalah selalu di pihak tuan rumah(Belanda totok yang fasis). Saya sendiri dan juga pengalaman-pengalaman orang lain yang saya dengar, diskriminasi juga dilakukan oleh yang satu ras, ras Asia dan Afrika. Tidak jarang saya didiskriminasi oleh bangsa yang satu ras dengan saya( tak usahlah saya sebutkan bangsanya). Banyak sekali contohnya. Umpamanya bila sedang memerlukan pertolongan atau layanan umum, bila yang akan menolong atau yang bertugas melayani adalah dari bangsa dari ras yang bukan Eropah(katakanlah dari latar belakang imigrant asing), sering-sering mereka menunjukkan sikap yang diskriminatif: tidak antusias, tidak ramah, antipatik hingga mencari pasal untuk menolak layanan karena yang dihadapinya adalah cuma seorang Aziaat atau yang lainnya lagi yang bukan Eropah "asli" yang padahal dia sendiri juga seorang Aziaat yang yang lainnya lagi tapi merasa dirinya sudah "Belanda"atau Eropah sepuhan. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri, setidaknya di Belanda. Bahkan diskriminasi di bidang Bahasa juga terjadi di antara sesama Aziaat . Umpamanya seorang Aziaat yang sudah sangat mahir Bahasa Belandanya berani menghina, atau meremehkan serta merendahkan sesama rasnya yang masih kurang atau jelek bahasa Belandanya. Contoh-contoh begini masih sangat banyak yang dialami oleh sesama Aziaat: ASIA MENDISKRIMINASI ASIA di negeri imigran mereka. Bahkan tidak jarang Indonesia mendiskriminasi Indonesia dan ini lebih pahit lagi untuk diceritakan meskipun selalu bisa diceritakan.

Soal tolong menolong, siapa menolong siapa, sering-sering sangat unik dalam peradaban manusia. Kita tahu cerita-cerita tentang nabi Ibrahim (Abraham, jadi bukan Ibrahim yang sekarang ini) . Nabi Ibrahim terkenal sebagai orang yang sangat menghargai dan menghormati tamunya, siapapun mereka. Suatu hari seorang garong terkenal mengetuk pintu rumah nabi Ibrahim dan meminta perlidungan di rumahnya karena dia sedang dikejar petugas keamanan yang berusaha menangkapnya. Nabi Ibrahim dengan sungguh-sungguh memberikan pertolongan pada si garong dan memberi perlindungan di rumahnya dan bahkan diberinya makan minum dan baru pada besoknya, setelah aman dari pengejaraan "polisi"sang garong atau perampok kawakan itu keluar dari rumah nabi Ibrahim dengan aman. Dalam hal ini kita temui orang baik(nabi) menolong orang jahat( garong, perampok kawakan). Sekarang apakah tidak mungkin terjadi dalam situasi tertentu orang jahat (umpamnya sang fasis atau "skin head"menolong oang baik-baik (Ibrahim isa umpamanya) dalam situasi khusus atau istimewa?.
Yang pasti betul, bahwa kita harus berterima kasih pada setiap orang yang menolong kita, siapapun dia itu dan kalau bisa berbuat seperti yang dibuat oleh Nabi Ibrahim, juga tidak ada salahnya. Tanpa sedikitpun bermaksud untuk mereduksi pertolongan wanita berjilbab dan seorang anak kecil alochton yang berusaha memolong Ibrahim Isa dalam kemalangan jatuh terjerembab di dekat stoplicht, saya juga ingin membuat perbandingan-perbandingan yang saya dan juga orang lain alami dalam dunia yang masih penuh diskiriminasi rasial ini. Namun juga harus adil karena diskriminasi rasial tidak tidak harus dihadapi dengan emosi semata tapi juga dengan rasa adil, kewarasan, dan selalu berusaha obyektif. Bukankah begitu, bung Isa yang saya kagumi? (tak usah dijawab, saya menghormati "tabu" yang bung anut).
asahan.

----- Original Message -----
From: isa
To: HKSIS@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, September 15, 2009 11:13 PM
Subject: [HKSIS] IBRAHIM ISA – CATATAN PARTIKELIRAN – (IV) - Anak Sekolah 'Allochtoon' - dan Wanita Muslim ber-Jilbab



IBRAHIM ISA – CATATAN PARTIKELIRAN – (IV)

Rabu, 16 September

-----------------------------------------------------------------------


Anak Sekolah 'Allochtoon'

dan Wanita Muslim ber-Jilbab


Beberapa waktu yang lalu, hari Kemis, aku mengalami hal yang samasekali diluar dugaanku. Tapi bangga juga sebagai orang 'allochtoon' di Belanda.


Memang betul, yang akan kuceriterakan ini ada kaitannya dengan seorang anak sekolah atau 'bocah' 'allochtoon'. Dan, seorang wanita yang juga 'allochtoon', serta ber-jilbab. Di Belanda, menurut catatan CBS – Jawatan Statistik Pusat – warganegaranya terbagi atas dua kategori. Satu yang disebut 'autochtoon' – yang bapak-ibunya kelahiran Belanda. Dan satu lagi, yang disebut 'allochtoon', yang salah satu dari orangtuanya kelahiran asing. Bisa bulé, yang imigran, yang putih, hitam, sawo-matang, dan kuning sipit. Di Holland arus rasisme dan anti-orang asing khususnya orang asing yang berwarna, apalagi yang Muslim, cukup keras. Meskipun minoritas, tapi sangat vokal. Mereka membeda-bedakan warganegara, antara yang 'autochoon' dan yang 'allochtoon'. Maka menimbulkan perdebatan yang sering-sering sengit sekali.


Bagaimana tidak menimbulkan perdebatan sengit? Warganegara dibagi-bagi atas dua katagori begitu. Katakanlah, ada yang a s l i , yaitu yang autochtoon. Mereka itu menganggap dirinya lebih berhak untuk berdiam di tanah Belanda, karena 'ke- asli- annya' itu. Lalu, ada yang bilang, kalau begitu perumusannya, bagaimana dengan Beatrix itu, Ratu Kerajaan Belanda. Menurut penggolongan itu, jadinya Beatrix tergolong 'allochtoon'. Bukankah bapaknya, yaitu Pangeran Bernhard, asalnya warganegara Jerman??? Tambahan lagi, suami Ratu Beatrix, yaitu Pangeran Clause almarhum, tadinya juga warganegara Jerman. Tambah lagi: Putra Mahkota, Pangeran Willem Alexander, anaknya Ratu Beatrix kawin dengan warganegara Argentina. Wah,wah, wah, lalau kemana mau dikatagorikan kewarganegaraan putri-putri Willem Alexander dan istrinya Maxima. Apakah beliau itu, 'autochtoon', ataukah lebih tepatnya, 'allochtoon'? Kan jadi repot sendiri! Ulahnya CBS bikin macam-nacan katagori penduduk. Mungkin bukan begitu maksudnya! Dimaksudkan secara adminstratif saja membagi-bagi demikian itu.


OK-lah! Sekarang ini, kita tidak memperdebatkan tentang 'allochtoon' dan 'autochtoon'. Apakah benar yang 'autochtoon' itu adalah yang asli-Belanda, dan oleh karena itu lebih berhak tinggal di Belanda. Sedangkan yang 'allochtoon' itu adalah pendatang, jadinya semacam 'non-pri' menurut istilah zaman Orba di Indonesia dulu.


Tidak, kita tidak diskusi mengenai soal ini. Barangkali lain kali saja!


Baca terus!


* * *


Kuteruskan cerita PARTIKELIRAN ini. Pagi itu cuaca cerah. Matahari memancarkan sinar hangatnya. Ada sedikit angin sejuk. Tak ada hujan. Cuaca yang ideal, fikirku. Enak sekali untuk bersepeda.


Jadi, aku ingin bersepeda ke klinik gigi memenuhi 'pengaturan' dokter. Jarak rumah kami ke klinik gigi itu tak seberapa. Tidak sampai seperempat jam bersepeda sudah sampai. Naik bus juga bisa. Tapi dari rumah harus jalan kaki dulu. Kira-kira sepuluh menit ke halte-bus. Menantikan bus berikutnya. Beberapa menit saja. Terkadang, kalau waktunya kebetulan tidak nge-pas, terpaksa nunggu sampai 10 menit.


Walhasil, aku fikir, lebih baik bersepeda saja. Sehat! Pernah dokter bilang: Antara naik mobil dengan berkendaraan umum, pilihlah kendaraan umum. Kalau bisa bersepeda itu lebih baik. Jalan kaki adalah yang paling baik. Itu paling sehat, kata dokter.


* * *


Untuk menghemat waktu, bersepedalah aku ke dokter gigi.


Pada suatu perempatan, jalan sepeda yang khusus itu memotong jalan mobil. Di situ ada 'stoplicht'. Lampu pengatur lalu-lintas, menentukan siapa yang boleh jalan lebih dulu. Siapa yang harus tunggu. Kebetulan lampu merah menyala pada 'stoplicht'. Jadi aku harus berhenti. Turun dari sepeda, menunggu sampai menyala lampu hijau.


Biasanya bila menghentikan sepeda dan turun, caranya, aku mengangkat kaki kananku kebelakang. Menyentuh tanah, sepedapun terhenti. Aku turun dari sepeda. Tapi kali ini cara aku berhenti dan turun dari sepeda, lain. Aku turun dari sadel langsung meluncur ke depan menjejakkan kaki ke tanah. Celaka . . . . . .! Selangkanganku tertahan batang sepeda, sehingga kedua kaki tidak mantap jejak ke tanah. Berdiriku jadi labil sekali. Dan . . . . . aduh mak, aku jatuh terjerembab! Saat itu baru terkilas di fikiran . . . memang tubuh ini sudah tidak seperti dulu lagi. Sudah 'senior'! Berani-beraninya masih ingin bersepeda. Nyatanya memang masih mampu bersepeda. Cuma kali ini saja agak sial.


Terjerembab ke tanah, aku terjatuh total. Masih untung, tak ada bagian kaki atau tangan yang patah. Inilah orang Indonesia namanya. Sudah jatuh terjerembab di jalan masih merasa u n t u n g . Karena tak ada yang cidera.


Tapi aku sulit bangun. Masih terduduk di tanah. Nah, ketika itulah terjadi yang diluar dugaanku . . . . . . Seorang anak sekolah 'allochtoon' yang kebetulan ada disisiku sedang menunggu lampu hijau, segera memegang lenganku. Ia mencoba mengangkat badanku. Tentu tidak bisa. Beratku 75 kg. Anak itu umurnya kita-kira 11 tahun. Tetapi cepatnya ia berreaksi memegang tanganku mengagumkan. Ia bertanya keadaku: Gaat het meneer? Apa engak apa-apa tuan? Anak sekolah yang 'allochtoon' itu tidak mungkin jadi tumpuanku untuk berdiri dari jatuhku.


Ini yang lebih-lebih diluar dugaanku: Seorang wanita berjilbab, Muslim asal Marokko, melihat anak itu tidak mampu mengangkatku, segera mencengkam lenganku yang sebelah satunya. 'Gaat het wel meneer?, katanya sambil membantu aku berdiri. Dua orang: Satu anak sekolah 'allochtoon' dan yang satunya adalah wanita berjilbab asal Maroko, berdua mengangkat aku berdiri. Baru aku bisa bangkit. 'Hartelijk dankt, hartelijk dankt', kataku. Dan aku meneruskan jalan ke klinik dokter gigi, yang letaknya beberapa puluh langkah di seberang situ. Setiba di klinik, aku minta pada asisten dokter selembar plester. Jariku luka dan berdarah karena jatuh.


Ketika kembali pulang bersepeda, aku memifikirkan terus. Memang benar kata orang-orang bijak bahwa, di dunia ini, kapan saja selalu ada orang-orang yang baik hati. Tidak peduli apakah dia itu anak-anak 'allochtoon', ataukah perempuan Muslim yang berjilbab.


Yang mengherankan ialah: Bukankah wanita berjilbab tadi itu adalah seorang Muslim? Di Belanda sini pernah terjadi, ketika aku hendak menyalami seorang wanita berjilbab pada suatu kursus, ia tersenyum saja. Tetapi menolak menjabat tanganku. Saya Muslim, katanya. Aku ingat, memang ada aliran Islam, yang melarang wanita bersentuhan dengan priya yang bukan muhrimnya. Yang tidak ada hubungan kekeluargaan.


Tetapi, wanita berjilbab yang cepat sekali memegang lenganku dan membantu aku berdiri itu, rupanya tidak berfikir ke situ lagi. Ia melihat ada orangtua yang terjatuh dan perlu dibantu. Maka ia ulurkan tangan Muslimatnya dan membantu orang tua ini.

Kebetulan aku juga Muslim. Sesungguhnya belum tentu wanita itu tau bahwa aku juga Muslim. Yang penting baginya, ada orang yang perlu dibantu, maka ia ulurkan tangannya. Tidak mempersoalkan lagi, apakah orang yang perlu bantuannya itu, muhrimnya, atau bukan! Kasus ini menunjukkan moral tiggi di kalangan perempuan berjilbab Muslim asal Maroko.


Anak sekolah yang 'allochtoon' itu, lho. Begitu sigapnya ia mengulurkan tangan membantu orantua yang memerlukannya. Seperti spontan saja anak itu membantu orangtua yang terjatuh. Tidak mungkin anak itu bisa bertindak demikian, tanpa ada latar belakang pendidikan di rumah maupun di sekolah.


Mengapa dua kasus 'allochtoon' ini kuangkat sedemikian rupa? Soalnya: Karena tidak jarang sementara pers, elitenya, termasuk politisi di Belanda, bersikap rasisa. Mereka begitu itu, demi lebih banyak memperoleh suara dalam pemilu. Mereka suka menyerukan isu: 'Dulukan 'orang-sendiri'. Disas-suskan juga bahwa banyak kriminil berasal dari warga yang 'allochtoon'. Tentu itu bohong. Tidak sesuai dengan kenyataan


Mereka sibuk melakukan kampanye rasisme anti yang 'allochtoon', anti yang dianggapnya asing, meskipun mereka itu lahir dan dibesarkan di Belanda dan berbahasa Belanda baik.


* * *


------------------------------------

blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/artculture-indonesia/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/artculture-indonesia/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:artculture-indonesia-digest@yahoogroups.com
mailto:artculture-indonesia-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
artculture-indonesia-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

No comments:

Post a Comment