Sunday, September 27, 2009

[ac-i] tamlikha

 

Jurnal Sastratuhan Hudan: tamlikha

UIProfileImage UIProfileImage_LARGE



Inilah kisah tentang raja Decyanus - seorang raja kafir dan bangga dengan kekafirannya. Kejamkah dia? Oh, jelas dong! Masa sih tidak kejam? Tapi kekejamannya Decyanus hanya menyangkut soal kekafiran. Di luar itu, Decyanus adalah seorang raja yang lembut dan suka puisi - juga novel, lukisan, film, dan, tentu saja, tarian telanjang.

Hanya kalau sudah menyangkut kekafiran, raja Decyanus suka lupa daratan. Bukan apa-apa, soalnya Decyanus merasa dirinya Tuhan, yang memerintah seluruh alam. Karena Tuhan, jadi berhak disembah dong. Gimana sih kamu? Kamu kan rakyat. Oh tidak! Kamu kan ciptaanku. Ya, ya, ciptaanku. Jadi wajib harus menurut padaku. Lagi pula mengapa kamu tidak menurut? Kan aku semua yang membangun ini? Coba kalau tidak kuadakan, apa kamu bisa makan? Tidak, kan? Hayo, kamu, menteriku. Siapa yang menguasai pabrik-pabrik itu? Saya, Raja. Nah, benar kan kataku. Dan kamu, jenderal... he, jangan ngantuk! Bosan hidup apa, di depan saya kok kamu merem-merem begitu. Ayo, pegang burung! Awas kalau kamu tidak pegang! Tak matiin... dan jenderal itu terburu-buru takut memegang burungnya. Kamu tahu kan gaya memegang burung? Ya, ya, kedua tangan memegang anu-nya kita, dengan badan sedikit dibungkukkan, dan mulut mengembang senyum sopan. Harus sopan dong. Sebab itulah langgam iramanya. Kalau tidak? Ya coba saja sendiri, pengen tahu... Nah, jenderal, apa yang kamu kuasai? Siap Raja, gunung-gunung, bukit-bukit... Wah ini malah lebih hebat lagi... Kalah menteriku... Jenderal yang takut kalau-kalau membuat kesalahan, cepat-cepat berkata... Tidak Raja, semua itu kerja sama juga. Dengan siapa? Ya dengan semua orang. Ya siapa semua orang itu? Tikus? Anjing? Kecoa? Masak tidak ada namanya? Ya salah satunya dengan bapak-bapak menteri juga. Oo... siapa lagi? Anu, Raja. Anu? Anu apa? Anunya kamu? Tidak, Raja. Maksud hamba dengan anak Raja juga... Oh, bagus itu... Memang harus begitu. Lha, kalau tidak dari mana anak saya cari makan? Paham? Paham, Raja. Bagus, bagus. Sekarang, coba ceritakan statistik. Statistik? Wah payah kamu... Dan menteri yang mewakili itu membungkuk, maaf Raja... Ha! Siapa ini? Mana dia? Durno, di mana kamu? Sakit, Raja, Hm... Pantas, pantas. Sudah, sudah. Hayo Menko, wakili Durno yang lagi sakit. Statistik? Siap, Raja. Statistik menggembirakan. Terjadi peningkatan kekafiran. Apa? Siap, Raja. Anu, mereka sekarang hampir di seluruh pelosok merata telah menyembah Tuan. Bagus, bagus. Bahkan telah pula membuat patung Tuan Raja, di tengah kota, untuk disembah. Bagus, bagus. Dari emas, Tuan. Dari emas? Ya. Wah banyak juga ya duitnya? Ah, kecil la itu, Tuan, demi untuk Tuan, mereka siap berkorban. Bagus. Sekarang mereka lagi rapat. Rapat? Ya. Apa yang dirapatkan. Biasa, Tuan. Kebulatan. Kebulatan? Kebulatan apa? Anu, Tuan. Agar tidak ada yang menyimpang, keluar dari barisan penyembahan ini. Maksudmu, agar mereka makin menyembahku, bagitu? Benar, Tuan. Bagus, bagus. Tapi... Apa? Tapi apa? Decyanus memandang tajam stafnya itu. Oh, ya, saya lupa, Decyanus ini paling tidak suka mendengar kata-kata "tapi". Sebaliknya paling senang mendengar kata-kata "beres", atau "siap". Siap, Raja. Beres, Raja. Inilah kata-kata yang paling disukainya. Dan hari itu, Menko itu telah mengucapkan kata "tapi". Menko itu bukan tidak tahu, bahwa Decyanus tidak suka kata tapi itu. Hanya, mau bagaimana lagi? Mereka sudah benar-benar pusing dibuat oleh Tamlikha dan kawan-kawannya. Dibujuk, tidak mau. Diberi harta, tidak mau. Diancam, ee... malah nantang! Mati di tangan Tuhan. Dan Decyanus bukan Tuhan. Jadi kami tidak mau menyembah Decyanus. Mau bunuh? Bunuhlah. Mau penjarakan? Silahkan. Apalagi? Pokoknya kami tidak mau. Sorry saja ya! Dan juru runding yang sayang dengan kemudaan dan keberanian mereka, dengan lemah lembut memberi kesempatan. Ngapain sih... apa yang dicari? Kamu melawan, dia tetap juga jaya. Tidak diganti-ganti. Berkuasa sepanjang masa. Coba, baca dong riwayat perlawanan di negeri ini. Ayo, siapa yang tidak mereka taklukkan? Hariman? Havelaar? Darsam? Badut? Semua menyerah dan akhirnya tunduk kekenyangan, bukan? Ya itulah kenyataannya. Memang negeri kita negeri takut sekarang ini. Tidak ada yang tidak takut dengan Decyanus. Entah kalau Bintang yang jauh tinggi di langit itu. Tapi tunggulah, kalau-kalau Decyanus mati, atau setidaknya tidak berkuasa lagi... He! Kamu ini ngomong apa? kata Tamlikha tiba-tiba. Apa kamu tidak takut dibunuh Decyanus? Omonganmu tidak loyal begitu. Aku? Oh, aku ngomong apa tadi ya? Ah, enggak kok, aku ngomong biasa saja. Wah, sampeyan ini salah rekam. Jangan begitu dong, nanti posisiku jadi sulit. Ya sulitnya sendiri, orang kamu yang ngomong kok. Ya sudah, sudah. Hm... Begini saja... kamu tak kasih kesempatan lari, tapi anggap saja omongan saya tadi tidak ada ya? Bagaimana? Baik. He, adakah kita dengar omongan orang ini tadi? Omongan apa? Itu lho, kalau-kalau Decyanus mati... Oh, tidak pernah dengar. Nah, oke? Oke.

Begitulah ceritanya hingga Tamlikha dapat melarikan diri ke sebuah gua di pinggir kota mereka. Tapi begitulah pula ceritanya sampai Decyanus meledak di tengah-tengah anak buahnya.
"Tolol semua. Tai anjing. Bagaimana mungkin mereka bisa lolos? Apa kerja kalian? Tidur? Semua orang di negeri ini dan bahkan di seluruh dunia harus menyembah saya. Tidak seorang pun boleh tidak menyembah. Hm... Pasti ini ulah pengkhianat... Aku sudah katakan pada Sabur, intel harus kerja yang rapi..."

Mendadak Decyanus memanggil anak buahnya itu.

"Sabuuurrr...!"
"Ya,Tuan..."
"Ya Tuan, ya Tuan, bagaimana ini?"
"Anu, Tuan..."
"Anu apa lagi ini..."
"Maaf, Tuan, bolehkah hamba berbisik di telinga Tuan?"
"Berbisik? Aneh, omong kok pakai bisik-bisik segala. Ya, silahkan."

"Terima kasih, Tuan," kata Sabur dengan wajah berseri. Sabur pun mendekat ke telinga raja. Karena telinga itu kotor (telinga itu penuh dengan bekas-bekas informasi yang tidak jelas warnanya: hitam, putih, merah, kuning, hijau, ungu, campur aduk jadi satu) maka bau busuk yang meruap dari telinga raja Decyanus membuat Sabur ingin menutup hidung. Sejenak Sabur jadi ragu-ragu. Kalau tak tutup hidungku, raja tahu dan dia bisa marah. Nanti aku dikira tidak loyal. Tapi kalau tidak tutup hidung, apakah aku tahan dengan bau itu? Ah, sudah, tak tahankan saja. Hitung-hitung pengorbanan. Mana ada sih kesuksesan tanpa perjuangan? Kau sih masih mending, sekedar mencium bau busuk. Lha orang lain, bukan mencium tapi mengunyah dan menelan kotoran orang. Hayo, untung mana coba? Ya, untung saya. Makanya, cepat dekati kuping raja. Lagi pula kalau ini berhasil... ha-ha-ha... aku pengen lihat mukanya nanti... ha-ha-ha..."
Sabur membisikkan beberapa kalimat sakti.

"Ha! Apa? Konspirasi? Konspirasi siapa?"

"Sssttt... Jangan keras-keras, Raja... Nanti mereka keburu tahu... Sungguh kok... Orang saya lihat sendiri... Bahkan sempat ngerekam..."
"Coba ulangi... Yang jelas, biar aku tidak salah tangkap... Maklum sudah tua... Sudah uzur..."
"Anu, Raja... Dia katakan pengaruhilah orang, susun kekuatan, nanti tak dorong dari dalam. Singkatnya, teori pembusukan, Raja!"
"Bangsat Murtopo! Hm... jadi dia bilang semua ini? Ah, dari dulu aku sudah curiga. Hm... jadi benar dia..."
Mendadak raja berteriak keras sekali.
"Pengawaaalll...!"

Pengawal datang tergopoh-gopoh.

"Ya, Raja..."
"Panggil Murtopo ke sini. Sekarang!"
"Sekarang, Raja? Tengah malam begini?"
"He, budak, tugas kamu ikuti aku. Kalau kataku panggil, panggilah. Bukan bertanya. Mengerti?"
"Mengerti, Raja..."
"Orang kok sukanya bertanya-tanya..."

Tidak lama kemudian Murtopo datang.

"Siap, Raja. Kalaulah boleh bertanya, ada apakah gerangan sampai Raja memerlukan saya tengah malam begini?"
"Tidak usah kau banyak bicara, Murtopo. Di depan mulutmu seperti madu. Tapi di belakang kayak ter. Hayo, ngaku! Awas kalau tidak ngaku. Saya bunuh kamu!"
"Tapi, Raja... Kalaulah boleh bertanya, apa yang harus saya akui? Saya tidak mengerti..."
"Tidak mengerti, tidak mengerti, belagak pilon lagi... Kamu kan mau melakukan kudeta. Iya, kan?"
"Kudeta? Kudeta apa?"
"Sudah, akui saja. Kalau mengaku mungkin saya bisa berubah pikiran. Hukumanmu pembuangan. Itu di sana kelihatannya diplomatnya enggak becus kerja. Nah, kau gantikan saja dia. Demi jasa-jasamu yang lalu. Sudahlah, tak kasih... Tapi, kalau kau tak mau mengaku, sungguh, akan kubakar kau di alun-alun tengah kota!"

Murtopo bimbang. Kalau tidak mengaku sudah jelas nasibnya: mati dibakar. Decyanus tidak pernah main-main. Meski murah senyum, dia akan melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya. Tapi kalau mengaku maka kemungkinan hidup terbuka lebar. Paling dibuang ke luar negeri. Tapi apa yang harus diakui? Apakah berkaitan dengan pemeriksaanku terhadap Tamlikha dan kawan-kawannya? Rasanya tidak mungkin. Aku memang mengatakan... Tapi kan mereka sudah berjanji... Lagi pula aku melihat sendiri kok mereka pergi ke batas kota dan menghilang ditelan alam raya. Hm... Jangan-jangan itu ulah bajingan itu... ya, ya, ini pasti ulahnya! Entah bagaimana caranya, tapi pasti dia mengetahui pembicaraanku dengan Tamlikha... Lalu ditambahinya bumbu... Sialan, mestinya aku tidak perlu katakan mau jadi wakil, sehingga tidak jadi sasaran tembak seperti ini...

Mortopo yang terpojok mulai bekerja menyelamatkan diri.

"Maaf, Raja. Kalaulah boleh bertanya, apakah semua ini ada kaitannya dengan Tamlikha dan kawan-kawannya?"
"Nah, rupanya mulai mengaku sekarang ya!"
"Bukan begitu, Raja. Sebenarnya, sungguh saya tidak mau melakukan kudeta. Kudeta apa? Memang gampang mengambil alih kekuasaan. Tapi dari pada nyawa saya hilang, ya lebih baik saya ngaku."
"Lho, jangan begitu. Saya tidak mau pengakuan paksaan. Saya mau benar-benar dari kesadaran. Tapi, sesungguhnya, benar enggak sih sampeyan ini mau mengkudeta saya...? Jangan-jangan malah sontoloyo itu yang punya gawe..."

Murtopo yang melihat raja ragu-ragu dengan cepat mencuri kesempatan itu.

"Percayalah pada saya, Raja. Sayalah hambamu yang paling setia. Coba, berapa tahun saya sudah mengabdi pada Raja dan berapa tahun orang yang menyebar isyu ini mengabdi pada Raja? Kan lamaan saya? Lagi pula ngapain saya mau kudeta? Tidak, kok. Tuan adalah raja saya. Langit dan bumi jadi saksi!"
"Hm...?"
"Bagaimana, Raja..."
"Ya, ya, hm..."

Dan kembali raja mengguntur berteriak.

"Pengawaaalll...! Tangkap Sabur dan bawa ke sini. Cepat!"
"Ya Raja, tapi tidak salahkah saya? Sabur? Kan dia anak emas Tuan?"

Raja menggumam (dalam hati). Bajngan, orang sekarang sudah berani tanya-tanya segala ya? Kok lain dengan dulu? Apa mereka yang berubah atau saya yang sudah kelewat tua? Hm... Jangan-jangan saya kelewat tua. Ya, sebenarnya saya sih sudah capek, memerintah negeri mimpi ini. 1000 tahun, bayangkan! Apa tidak kelamaan tuh? Lama sekali. Tapi mau bagaimana lagi... Orang setiap kali saya mau mundur bajingan-bajingan ini tahan-tahan terus... Jangan sekarang, Yang Mulia. Kalau Tuan mundur, bagaimana semua yang sudah kita bangun ini...?

Sabur datang, tangannya diborgol. Di depan Raja, borgol dilepas. Sabur berlutut dengan khidmat sekali.
"Daulat Tuanku, Raja saya di langit dan di bumi. Pusat segala penyembahan. Pemberi segala kesenangan hidup. Yang tiada pernah salah dan tiada tercela. Apa benar gerangan sampai saya ditangkap begini?"
"Babi busuk. Jangan bersandiwara. Mengapa mau mengkudeta saya? Ayo, jawab!"

Sabur melongo. Kakinya gemetar. Aroma Perancis meruap dari tubuhnya. Murtopo tersenyum, mampus kau sekarang, anjing kencing. Ha-ha-ha... Coba-coba ngelawan gua... ha-ha-ha...

"Pengawal, bangunkan seluruh penduduk negeri. Suruh kumpul di alun-alun. Hidupkan api pembakaran!"
"Api pembakaran? Jadi pak Sabur mau dibakar? Tapi apa benar salahnya?"
"Persetan. Pokoknya saya akan bakar malam ini. Sebagai pelajaran kepada siapa yang coba-coba menentang Decyanus, raja di raja, penguasa alam raya dan segenap isinya."

Maka sibuklah pengawal-pengawal Decyanus, mengetuk pintu-pintu penduduk yang terlelap setelah seharian bekerja. Bangun, bangun. Ambil obor. Bawa ke alun-alun. Nyalakan api unggun. Ada apa? Siapa yang akan dibakar? Apa salahnya? Sabur. Sabur? Anak emas raja? Apa ada Sabur lain lagi? Ayo cepat, jangan telat!

Di tengah malam buta, keluarlah mereka dari rumah masing-masing dengan obor di tangan. Menuju alun-alun kota. Mereka keluar dari gang-gang, menuju jalan sambil bernyanyi... Decyanus raja kami. Penguasa langit dan bumi. Pemberi kesenangan hidup. Tiada tuhan sesudahnya.

Seorang lelaki dengan pesawat Cesna baling-baling kecil melayang di atas orang-orang itu. Lelaki ini sedang terbang seorang diri menembus malam, membawa ecstasy pesanan orang kaya di luar negeri, dan sekarang takjub melihat pemandangan di bawahnya. My God! Siapa mereka? Negeri apa ini? Obor-obor itu indah sekali. Kelap-kelip macam lampu-lampu di film-film Hollywood. Lelaki itu berdecak kagum, lalu membidikan kameranya tiga kali, dan menghilang ditelan malam.

Dengan obor di tangan, orang-orang itu membentuk lingkaran, mengelilingi api yang menjilat-jilat dengan ganasnya. Sebuah mobil melaju kencang dan berhenti persis di samping api pembakaran. Seorang lelaki keluar, membuka pintu belakang mobil, dan turunlah Sabur sambil melambai-lambaikan tangannya macam bintang film. Orang pasti mati ini, pikir Sabur, sekalian saja tak buat teaterikal yang menarik hati. Sedap ditonton. Enak didengar. Dan sekalipun penduduk negeri sudah ditelikung Decyanus, tapi toh wartawan pemburu berita masih mengejar-ngejar juga. Dari mana? CCN. Itu? ABC. Itu? Washington Post. Dan itu Der Spiegel. Lho, mana wartawan awak sendiri? Tidak ada. Tidak ada? Ha! Mengapa tidak ada? Mana saya tahu? Lihat itu mereka sudah menembakkan kameranya pada Sabur. Jadi diamlah. Mari kita tonton. Jarang lo lahir tontonan menarik macam ini.

Seorang wartawan mendekat, nyogok penguasa, minta diadakan konferensi pers. Penguasa menolak, tapi dollar yang ditawarkan diambilnya. Tapi sebentar saja, Pak. 15 menit. Tidak bisa. Ini soal bahaya. Top secret. 10 menit, Pak? Tidak bisa! 5 menit? He, tidak bisa? You don't know ya? Sementara mereka berdebat, rakan-rakannya yang lain sudah memburu Sabur. Pak Sabur, dapatkah demokrasi ditegakkan dengan pengorbanan Anda ini? Anda keliru meluruskan pertanyaan, kata Sabur. Rumusan yang tepat begini: siapa lagi yang berani mengorbankan diri, sehingga demokrasi bukan impian lagi? Oh, I am sorry, Pak Sabur. Jadi siapa lagi? Siapa lagi apa? Ya siapa lagi yang berani mengorbankan diri? Lho, mana saya tahu. Tugas saya bukan menilai orang. Tugas saya berbuat. Dan kalau perbuatan saya dinilai salah, monggo. Kiblat saya bukan pada mereka, tapi pada Yang Di Atas. Tapi apakah Yang Di Atas tahu, Pak? Tahu apa? Ia tahu apa yang dikatakan Bapak tadi. Ia jelas tahu dong... Wong Dia maha tahu kok. Gimana sih you ini... Bukan begitu, Pak. Soalnya kalau Yang Di Atas itu tahu... Mengapa tidak ada gerakan dari langit, apa masih menunggu ya? Tapi menunggu apa... Gerakan apa maksud kamu? Itu Pak, hujan batu, seperti pada zaman-zaman Nabi dahulu. Lho, apa sekarang zaman nabi-nabi? Ya tidak. Lha, itu. Tidak dong... Zaman Nabi hujan batu, zaman kita hujan peluru. Mengerti? Sudah, lihat tuh Decyanus sudah keluar dari tandunya dan mengambil posisi untuk menghukum saya. Ya, terima kasih Pak. Selamat berjuang. See you later, my darliing...

Melihat Decyanus datang tiba-tiba pengawal tadi beringas. Mereka mendorong wartawan dengan paksa dan merebut kameranya. Tapi kuli disket itu melawan sambil berlari mendekati kawannya yang memfilmkan kejadian itu. Pengawal mundur. Wartawan menantang. Ayo sini, kalau berani. Ha-ha-ha... takut ya... Nah, ketahuan belangnya sekarang... Ha-ha-ha...

Sabur dibawa ke hadapan Decyanus. Decyanus menghisap cerutu dan menghembus-hembuskan asapnya ke muka Sabur. Ciumlah cerutu dari Havana ini, Sabur. Sebab sebentar lagi tanganku akan mengirimmu ke neraka... Neraka? Tiba-tiba Sabur ketawa bergelak. Ha-ha-ha... Decyanus marah. He, babi, jangan ketawa! Apa yang kamu tertawakan? Sudah mau game aja kok masih neko-neko. Bukan neko-neko, Decyanus. Ha! Apa?! Kau tidak memanggil saya Raja lagi ya? Lho, untuk apa saya memanggil kamu Raja, orang sebentar lagi saya akan mati. Oh, ya benar juga. Hm... Jadi benar-benar ya kau ini mau kudeta. Ah, tadinya aku masih belum percaya juga, tapi rupanya benar kau mau kudeta...

Decyanus termenung-menung di depan api unggun itu. Jadi orang yang paling kupercayai saja masih mau membunuhku. Huh, padahal aku sudah memberi segalanya untukmu. Ya, apa lagi yang kurang? Harta? Tahta? Wanita... Apa lagi? Huh, kalau begitu jangan-jangan orang-orang banyak ini tidak menuhankan aku. Pura-pura semua. Di depanku saja mengangguk memegang burung, ngaku kafir, Decyanus Tuhan kami, Tuhan langit dan bumi... Tapi apa benar sih kamu Tuhan langit dan bumi? Mengapa gemar benar ngaku-ngaku Tuhan? Apa katamu? Oh, jadi kau mau ikut-ikutan pula ya? Oh tidak. Aku kan hanya tanya, apa benar kita ini memang tuhan. Tapi kau kan tahu aku paling tidak suka ditanya begitu. Yang lain boleh saya berikan. Isteriku pun boleh kau ambil. Bahkan nyawa anakku. Tapi predikat Tuhan itu, itulah satu-satunya sumber kebahagiaanku di dunia. Lihat, aku masih dapat hidup sampai 2000 tahun. Coba, memangnya dari mana kekuatan itu kalau aku tidak mempertuhankan diriku? Mengertikah kamu? Tidak, aku tidak mengerti. Lho, bagaimana kamu ini? Sudah beberapa tahun kamu ikut aku. Coba? 2000 tahun. Ya itu. 2000 tahun kan bukan waktu yang singkat, meski tidak pula terlalu panjang. Mestinya kau sudah mengerti. Masak sih tidak mengerti. Tapi kan memang ada Tuhan yang sebenarnya? Tuhan pemilik matahari. Penggenggam segala urusan. Diam! Jangan sekali lagi kau bicara begitu padaku. Nanti kau akan mengalami nasib yang sama dengan Sabur ini. Sabur? Ah, mengapa aku lupa dengan babi ini. Lihat dia enak-enakkan lek-lekan tidur-tidur ayam. Hm...

"He, Sabur, jadi sekarang berakhirlah hidupmu!"
"Suka-suka kaulah. Emang gua pikirin!"
"Bangsat! Pengawal! Bakar orang ini sekarang!"

Pengawal melepaskan bolgor di tangan Sabur. Sabur bertindak seperti orang baru bangun tidur. Dia menguap. Tubuhnya bergerak-gerak melemaskan. Obor-obor bergoyang. Di tengah malam buta itu mereka bernyanyi dengan gembira. Decyanus Raja kami. Tuhan dari negeri mimpi. Semoga kekal selamanya. Abadi sepanjang masa.

Tubuh Sabur diayun-ayunkan, dalam upayanya menuju api pembakaran. Satu, dua, dan pada saat yang menentukan itu tiba-tiba terdengar teriakan mengguntur kuat sekali, memecah keheningan malam, menembus hutan-hutan, lalu sebuah sinar menerangi langit yang hitam kelam penuh bintang. Turunlah Tamlikha dengan anjingnya, melesat dari pertapaannya di dalam gua. Serupa bayang-bayang raksasa berpakaian hijau. Tidak, bukan raksasa, tapi lebih besar lagi. Sampai-sampai kepalanya menyundul langit, badannya memenuhi seluruh angkasa. Dan gamisnya yang berwarna hijau tua melambai-lambai menutupi bumi. Demi melihat Tamlikha, Raja dan orang-orang yang berkumpul terkesima. Mulut mereka melongo, macam melihat iblis di siang hari. Mulut yang terbuka menganga itu tentu menyenangkan buat lalat-lalat hijau, yang saban raja mengadakan pesta selalu hadir, karena tahu bakal ada yang membusuk, mati dibunuh atau mati karena mabuk. Maka masuklah lalat-lalat itu ke mulut yang menganga, juga ke mulut Raja. Tapi... Aduh! Tak tahan aku baunya... Makan apa mereka ini...? Bangkai yang membusuk berulat aku masih tahan, malah tambah nikmat. Tapi mulut-mulut yang terbuka ini... Ampun, barangkali inilah bau nanah dari neraka... Tobat, aku tak tahan, hup, aku terbang saja ya...? nah segar aku merasa di luar. Tapi apa itu? Mahluk UFO ya...? Lho, tapi itu temanku. Anjing yang bersamaku sering ngais-ngais di warung Padang. Tamlikhakah dia? Tamlikha bersama anjingnya? Kisah tua yang datang dari kitab suci? Tapi mengapa lain benar jadinya? Di kitab suci tidak begini, mereka ada di dalam gua, tidur tenang menyembah Tuhan. Atau akukah yang bermimpi? Tapi mimpikah semua ini? Atau fantasi? Fantasi seorang pengarang berkaca mata, agak kurus dan sakit hati melihat dunia, dan sekarang menuliskan kisahnya agar tidak gila. Sebab rasa sakit yang dipendam konon menyebabkan skizoprenia. Ha-ha-ha... Hai lalat-lalat, jangan bicara kau. Kau memang ada dalam perumpamaan Tuhan. Tapi sekarang ini soal besar. Soal hidup dan mati. Tidak termakan kau lagi. Baiklah aku diam. Lagi pula lihat Tamlikha dan anjingnya sudah mengecil, kembali seperti sedia kala. Karena itu Decyianus jadi berani lagi padanya.

"Jadi kamu yang bernama Tamlikha?"
"Ya."
"Mana kawan-kawanmu yang lain?"
"Ada. Tidur di dalam gua."
"Mengapa tidak diajak serta?"
"Untuk apa? Urusan seperti ini cukup aku sendiri. Tidak perlu melibatkan mereka. Iya, kan? (bertanya pada anjingnya. Anjing berkata ya benar, kecillah urusan ini. Enteng).
"Tahukah kamu, urusan apa ini?"
"Tahu."
"Apa?"
"Untuk saya, menyelamatkan orang yang bernama Sabur ini. Entah untuk kamu. Aku tak peduli."
"Mengapa kamu ingin menyelamatkannya? Apa kamu berkomplot? Berkonspirasi?"
"Tidak."
"Kalau tidak, lalu apa? Tahukah kamu, kamu bisa kehilangan nyawa dengan datang kesini?"
"Tidak."
"Tidak apa?"
"Tidak tahu."
"He, jangan mutar-mutar bermain kata. Kau lihat itu di sana, barisan pedang dan tombak. Cambuk kuda dan belati. Mana jalanmu lagi menyelamatkan diri? Ayo jawab yang benar! Mengapa, mengapa kau keluar dari pertapaanmu di gua? Untuk apa?"
"Tadi sudah saya katakan, untuk menyelamatkan orang bernama Sabur ini."
"He, Sabur ini bukan orang, tahu? Dia milikku. Aku yang menciptakannya sampai dia jadi besar begini?"
"Tapi dengan apa kamu menciptakannya?"
"Ya dengan bisnis tentu saja. Tolol! Cobalah tanyakan padanya. Bagaimana sampai dia menjadi gendut begini!"
"Tidak, saya tidak main-main. Saya punya orang tua. Itu, kemarin yang kau bunuh di pinggiran kota kemarin, karena tak mau ngasih tahu di mana aku berada. Itulah bapakku. Dan kamu, adakah bapakmu? Atau sampeyan anak haram jadah, yang lahir di rel kereta api?"

Bukan main marahnya Decyanus mendengar ini. Matanya melotot, tangannya mengepal, ia sudah mau berteriak memanggil pengawal, tapi Tamlikha dan anjingnya cepat-cepat berkata, "Eittt jangan panggil pengawal, jawab dulu pertanyaan saya!" Dan orang-orang yang memegang obor di bawah sana tertawa. Sementara kamera terus bekerja, menyiarkan secara langsung ke manca negara. Salah satu teman Decyanus dalam kekafiran di luar negeri menelpon, agar jangan banyak cingcong lagi, tapi langsung habisi. Ngapain sih pake ngomong-ngomong. Inginnya begitu, tapi ada tivi yang nyiarkan secara live, dan apa kata orang-orang nanti. Persetan kata orang! Sekarang yang penting kita atau orang. Kita, kan? Sudah, panggil saja Decyanus, biar saya bicara langsung. Tak beres-beres bicara sama kamu! Tidak bisa! Mengapa tidak bisa? Pokoknya tidak bisa. Kami tidak mau didikte! Anjing buduk, 1000 tahun ini kamu makan dari mana? Dari pinjaman saya kan? Lha salah sendiri dong, kenapa mau minjami? Sudah, sudah, aku dipanggil Decyanus ke panggung. Enggak tahu, ada apa lagi orang tua ini....

He, Mortopo, kumpulkan tukang sihir kita. Tukang sihir? Memangnya mau apa? Sudah tak usah tanya-tanya. Kumpulkan saja mereka sekarang. Mortopo pergi dan sejenak kemudian balik lagi dengan tukang sihir yang terbaik dari seluruh negeri.

"Ini dia, Raja."
"Semuanya?"
"Ya, semuanya. Tidak ada lagi yang baik setelah mereka. Tukang tenung, santet, paranormal, penyampai maksud, pelindung, tukang obat, pokoknya lengkap dah. Tinggal bilang mau apa. Tidak sekejap mata, apa yang kita mau sudah tersedia. Bukan begitu, Bapak-Bapak?"
"Ya, ya... He-he-he..."

Mereka semua naik ke panggung di belakang Decyanus. Decyanus berbicara dengan Tamlikha.

"Tamlikha, marilah kita tentukan pemenangnya sekarang. Kau atau kami yang tergeletak tak bernyawa!"
"Tapi bagaimana kalau aku menang? Apakah perjanjiannya masih berlaku, bahwa kau akan menyembah Tuhan? Tuhan Yang Maha Esa? Yang menciptakan kau dan aku?"
"Ya..." kata Decyanus, ragu-ragu.
"Mengapa ragu-ragu? Ayo, tegas saja. Orang rezim ini sudah mau habis kok!"
"Ha! Apa kau bilang?"
"Oh, kurang jelas ya? Kamu sih, yang ditampung kotoran melulu. Jadi congean itu telinga! Makanya dengarkan yang benar dong. Aku ini jarang bicara dua kali. Biasanya sekali cukup. Tapi tidak apalah, kali ini saja. Aku bilang: waktumu telah tiba, perubahan akan datang. Malapetaka akan terjadi. Bumi gonjang-ganjing. Kecuali kalau kau mau bertobat dan mengakui kesalahanmu. Karena itu, sembahlah Tuhan Yang Maha Tinggi. Kalau tidak tanggung sendiri!"

Decyanus murka, gerahamnya bergetar dengan keras. Kumisnya menegang. Tangannya mengepal. Matanya melotot. Ketika dia membuka suaranya, pada saat itulah gigi palsunya terpental ke udara dan seekor burung melayang menangkap gigi itu dengan paruhnya dan membawanya ke hadapan majelis burung-burung di puncak gunung. Coba teliti gigi ini, mengapa tidak kenyang-kenyangnya menggigit kita-kita, sampai kawan-kawan pada berguguran satu persatu, kata pemimpin burung-burung itu. Seekor burung dengan sigapnya mengeluarkan teropong dan mengamati gigi palsu itu. Rupanya dia tidak menemukan penyebabnya. Sekali lagi dia meneliti, kalau-kalau nyelip, tapi hasilnya sama: tidak ada penyebabnya. Maka segeralah disimpulkan, bahwa kesukaannya menggigit orang karena bawaan sejak dia dilahirkan ke dunia. Tapi ini gigi palsu, tolol! Bagaimana bisa bawaan! Lha kalau begitu apa sebabnya menurutmu? Terus terang aku sudah menyerah. Jangan marah dong. Sama-sama burung ini. Ya, tapi kerja yang benar. Jangan malas-malas begitu. Masak neliti gigi itu saja tidak bisa! Sudah, sana, kirim lagi gigi palsu ini kepada pemiliknya. Siapa tahu Decyanus sekarang benar-benar membutuhkannya. Nah, gitu dong, kalem. Kan santai jadinya. Oke, aku terbang ya... Daa...

Decyanus menerima gigi palsu yang diantarkan burung itu dengan khidmat sekali, macam orang menerima bendera pusaka. Gigi itu dipakainya dan kembalilah Decyanus kepada watak aslinya: kafir, kejam, dan sekarang bernafsu besar untuk mengusut Tamlikha.

"Tamlikha, jadi kau sudah berani meramalkan kejatuhanku ya!"
"Oh, bukan meramal. Itu yang dikatakan Tuhan kepadaku."
"Tuhan lagi yang kau bawa... Baiklah, tuhan... Ayo, kapan kau bicara dengan tuhan? Kapan terakhir bertemu?"
"Kemarin."
"Di mana?"
"Di dalam diriku."
"Jadi kau ini tuhan, begitu?"
"Bukan."
"Lalu apa, ayo dong jelaskan! Kalau tuhan itu memang ada, aku kepingin melihat rupanya. Apa pakai kaca mata, begitu. Atau lelaki atau perempuan. Apa sama dengan diriku ini?"
"Oh, ini bukan Langit Makin Mendung. Juga bukan Rintik yang buta. Ini adalah Tamlikha, seorang pemuda yang bertapa di sebuah gua, dan sekarang turun ke bumi dengan anjingnya."
"Aku tidak mengerti!"
"Memang tidak perlu dimengerti!"
"Lalu bagaimana?"
"Sembah saja!"
"Apa yang perlu disembah?"
"Tuhan, tolol! Sudah, mana tukang sihirmu itu, suruh maju. Tak layani!"
Mortopo, penasihat pribadi Decyanus, protes.
"Bagaimana, Raja... Mengapa begini?"
"Sudah, diamlah. Kamu lihat saja."
"Tapi kalau kalah bagaimana? Tuan kan Tuhan? Apa kita akan menjadi penyembah Tuhan yang lain? Aku tidak rela..."
"He, diam kataku! Mengerti? Kalem. Lihat saja. Kan tukang-tukang sihir kita itu pada pakar semua? Orang kau sendiri yang bilang kok."

Murtopo diam, tapi gelisah dan berbisik dengan kepala pengawal. Kepala pengawal turun dan memanggil komandan lapangan. Komandan lapangan pergi sesuai instruksi.

"Jadi akulah yang melempar atau kamu?" kata penyihir-penyihir itu.

"Kamu," jawab Tamlikha, dan tiba-tiba di tangannya menyembul tongkat Nabi Musa. Anak buah Decyanus melemparkan tali-tali yang tiba-tiba menjelma jadi ular yang besar, bergerak ke arah Tamlikha dan anjingnya. Anjing Tamlikha takut dan berbisik; Tamlikha menyuruh agar tenang, lihat saja dan jangan banyak omong. Ketika ular besar itu sudah mendekat seolah mau menelan mereka, Tamlikha pun melempar tongkat Nabi Musa dan tongkat itu menjelma jadi ribuan ular-ular kecil, yang dengan rakus dan buas mengeroyok ular para penyihir Decyanus, sehingga habis dimakan dan kini tinggal tulang yang besar dan panjang. Ular-ular itu masih ingin bergerak dengan ganas dan buas, tapi Tamlikha dengan perlahan bersiul memanggil mereka. Ular-ular itu kembali dan menjadi tongkat.

Para penyihir Decyanus tertunduk berlutut dan dengan air mata bercucuran menyatakan iman kepada Tuhan. Orang-orang yang memegang obor di seputar panggung tercekam sampai obor-obor berjatuhan. Api dengan cepat merayap menuju panggung. Tamlikha bertanya kepada Decyanus apakah sekarang sudah percaya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi? Decyanus tidak menjawab. Tiba-tiba wajahnya terlihat tua. Panas api terasa di atas panggung. Waktumu tinggal sedikit, mau mengaku atau tidak! kata Tamlikha. Api mulai memakan papan panggung. Pada saat itulah Decyanus berkata dengan mata terpejam dan leher menegang, "Ya, saya percaya, bahwa Tuhan yang maha esa adalah saya!" lalu api menjilati tubuhnya sampai hangus tidak berbekas lagi.

hudan hidayat

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Search Ads

Get new customers.

List your web site

in Yahoo! Search.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Celebrity kids

and families

Surviving in

the spotlight

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment