Saturday, September 19, 2009

[ac-i] kata yang tak sampai, membatalkan cintaku jauh di pulau

 

Jurnal Sastratuhan Hudan: kata yang tak sampai, membatalkan cintaku jauh di pulau

UIProfileImage UIProfileImage_LARGE


(terima kasih tuhan, walau engkau jauh, engkau selalu memberiku kesegaran berbahasa, yang bahaya.

tempat di atasnya aku bisa mengecap bahagiamu, walau aku menderita, juga atas
engkau yang jauh itu.

seekor hh tuhanku, tapi milikmu juga)

seperti orang pulang ke rumah, dalam sebuah larik dalam puisi, kata kata pun bisa tak sampai pada tujuannya. ada banyak kombinasi membuat keduanya bisa tak sampai. misalnya seseorang sedang berjalan, lalu mendadak ia kena serangan jantung, maka rumah di mana kakinya melangkah menembus malam itu, hanya bisa bertanya tanya, dan lalu merindukan tuan-nya kembali.

dan rumah itu, seperti kita kehilangan sesorang yang meninggal, hanya bisa menunggu sampai datang penghuni baru, dan atau ia tinggal meranggas di makan rayap, karena tak suatu pun orang atau sebuah keluarga yang hendak tinggal di sana.

atau orang tadi teringat sesuatu yang hendak dibawanya pulang, tapi tertinggal di sebuah tempat. sehingga walau rumahnya sudah dilihatnya, ia pun bergerak lagi menuju tempat di mana ia terlupakan barangnya.

pada dua kemungkinan itu, kita akan mencari suatu jalan untuk mencari arah arah lain dari penulisan puisi, atau seni kata pada umumnya. bahwa mungkinkah kita mengambil kasus nyata seperti manusia meninggal pada dunia kata kata, sehingga seperti ia yang meninggal tadi, sebuah larik puisi tak sampai sesuai larik yang memang semestinya dituliskan oleh seorang penyair.

katakanlah puisi chairil anwar, cintaku jauh di pulau. pada bait pertama, kita perlakukan bait itu seolah manusia yang meninggal tadi. artinya, masing masing larik dari bait itu kita ceraikan dari totalitas lariknya. tapi tidak untuk kematian larik itu sendiri. meninggal di sini, bahwa kita hanya mengubah totalitas larik, dan memberikan suatu kata baru, yang tentu saja membawa suatu imaji dan imajinasi baru pula.

maka apa yang kita dapatkan? puisi chairil jelas menemukan pembelokan. soalnya, apa yang disediakan oleh pembelokan semacam itu? ataukah ia menjadi makin kreatif, atau kita telah bersalah kepada chairil karena telah memperkosa dunia puisinya.

baiklah kita coba. dan larik pertama dari bait pertama puisi charil berbunyi demikian:

"cintaku jauh di pulau".

lalu larik keduanya:

"gadis manis, sekarang iseng
sendiri".

berbekal pada kebebasan penuh kepada pembaca atas sebuah puisi, bahwa terserah kita bagaimana mau membaca demi pemaknaan terhadap suatu puisi, dan walau kita tahu ada konvensi yang datang dari tradisi penulisan puisi, dan niscaya pula membawa dampak pada cara membaca puisi.

tapi kini kita melanggar keduanya itu, dan hendak menjadikan puisi chairil secara lain. secara apa dan yang mungkin kita bayangkan.

bait pertama itu, jelas si aku lirik dalam puisi sedang berbicara akan gadisnya. gadis yang disebutnya "kini iseng sendiri", karena berada jauh di pulau yang lain. di mana? entah. sepanjang puisi yang memikat ini chairil tak menjelaskannya. hanya pulau. bahwa kekasihnya tinggal di pulau yang jauh dari dirinya.

segera muncul kias dari kata "pulau" ini. kias bahwa pulau memang sebuah daratan yang bernama pulau. atau pulau sebagai sesuatu ideal, atau yang diidealkan. kalau cara kias ini yang kita pakai, maka segera muncul metapora ganda dari kedua larik atau satu bait chairil itu. bahwa telah terjadi transposisi dari kedua metapor yang hendak dituju oleh chairil, atau hendak capai oleh chairil. persis seseorang yang tadi mati yang hendak pulang ke rumahnya. dan sangat kebetulan, dalam kasus puisi ini, sang aku lirik dalam puisi pun meninggal alias mati - di ujung larik akhir dari bait akhir puisi chairil.

transposisi atau bergeraknya dari pulau menjadi gadis, jadi tujuan bernama pulau itu dipindahkan oleh sang penyair, atau dibayangkannya, kepada seolah seorang gadis, gadis manis, yang kini iseng sendiri.

apa yang menarik dari pemindahan semacam ini, kalau pulau atau gadis itu adalah suatu ideal yang katakanlah ideologi, suatu keyakinan personal terhadap hidup dan kehidupan pada chairil, dan suatu keyakinan terhadap suatu bangunan ide besar pada negara atau masyarakat, maka kita lalu mulai berhadapan dengan rahasia yang tersembunyi, yang mungkin sang penyairnya sendiri tak memaksudkannya. yakni: bahwa suatu ideologi itu bisa iseng, tapi suatu ideologi itu bisa sangat menggoda seolah seorang gadis remaja. tetapi walau menggoda dan walau remaja, ia bisa iseng, ideologi itu. yang artinya karena isengnya maka ia pun bisa mati. maka kini kita mendapati pulau yang bergerak menjadi gadis dan gadis yang bergerak menjadi ideologi. ideologi yang iseng dari segenap wajah wajah isengnya - jahil dan jahat umpamanya. sehingga ia pun mati dan ditinggalkan oleh pendukungnya sendiri.

atau para pendukung ideologi itu tak percaya lagi kepada suatu abstraksi yang ditarik ke tingkat bangsa itu. atau bahkan mungkin diklaim untuk dipaksakan dengan kohersif atau edukatif, kepada sebuah atau suatu bangsa.

tapi ideologi itu telah meninggal. persisi seperti aku lirik dalam puisi chairil: meninggal - perahunya belum sampai, tapi ajalnya sudah datang lebih dahulu.

"amboi! jalan sudah bertahun kutempuh!
perahu yang bersama 'kan merapuh!
mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sampai
berpeluk dengan cintaku"

saya sudah menarik pulau dan gadis chairil ke dalam suatu kritik imajinatif dalam sastra. bahwa begitulah yang mungkin disediakan teks tentang kelimpahan maknanya. kini saya akan bergerak seperti apa yang saya katakan semula. yakni membuat larik pertama itu tercerai dari tubuh induknya - larik itu. dan saya
akan memulainya dengan suatu kombinasi atas apa yang akan saya lakukan.

"cintaku jauh di pulau".

kini saya potong: "cintaku jauh", saya pisahkan dengan "di pulau".

terjadi patahan dari laju bahasa, saat "jauh" di pisahkan dengan "di". seolah "jauh" itu hendak tergelincir ke jurang. hendak jatuh ke jurang. dan "di"nya pun di seberang sana juga hendak jatuh ke jurang. begitula kita bisa membayangkan sebuah larik dalam puisi: seolah suatu lompatan berkuda yang dilakukan oleh hero
dalam sebuah novel. di mana penjahatnya dengan kuda melambung melewati jurang tapi hanya sampai ke tepi seberang sana - ia harus berjuang naik ke atas jurang.

di tepi jurang. jadi kedua entitas itu terputus. tapi ada dalam momen mencekam. bahkan bisa dikatakan momen mati hidup. atau momen sakratul maut dari kata kata.

dalam larik chairil tadi: ada suatu jembatan yang kini seolah jembatan sudah jatuh ke tepian jurang, dan harus kita tegakkan kembali untuk rebah sebagai jembatan. "di" harus kita kembalikan kepada "jauh". sehingga tegak lagi larik itu menemukan kekokohannya: cintaku jauh di pulau.

tapi kita tak hendak melakukan itu. dengan sengaja, kita malah ingin menceraikannya. maka apakah isinya "jauh" dan "di" di sana? hingga ia menemukan sakratul maut kata katanya, tapi dengan tenaga penuh, dan terutama dengan imajidan imajinasi lain lagi.

cintaku jauh
dataran ibu
di pulau

tiga entitas yang saya letakkan sejajar itu, telah mengubah total larik pertama chairil: cintaku jauh di pulau.

"dataran ibu" bukanlah jembatan rebah seperti hero dan penjahatnya tadi. tapi benar benar sejajar dan tak terhubungkan. ia bukanlah sebuah hal yang dipisahkan oleh jeda, di mana ia adalah sambungan dari "cintaku jauh", dan bukan pula dengan jeda yang sama, merupakan lanjutan dari "di pulau". tapi sungguh tiga buah ide yang terputus. yang kini tidur dan rebah berjajar bersama.

"cintaku jauh
dataran ibu
di pulau"

apakah maknanya? hendak apa kita dengan mendekonstruksi larik pertama puisi chairil cintaku jauh di pulau itu? tidak untuk apa. dalam suatu arti, ia telah menjadi bahasa mati dari suatu bahasa hidup dari larik chiaril. dalam arti yang lain, kita menemukan keajaiban bahasa yang bisa memetamorfoskan dirinya, di mana kita bisa mengatakan, bahwa tuhan telah membatalkan keinginannya sendiri untuk agar adam berdiam di surga selamanya: diamilah surga ini wahai adam.

"dataran ibu" menjadi suatu semacam casus beli dari kehendak tuhan atas operasi penundaan sabdanya yang pertama, dengan mengabarkan sabdanya yang lain: wahai malaikat, sesungguhnya saya hendak menurunkan manusia ke dunia.

namun demikian, kita hendak menghelanya ke suatu kemungkinan makna baru yang lain. makna yang kokoh dalam dirinya sendiri. makna yang sudah kita berantakkan dari makna awal yang dikandung oleh satu bait puisi chairil. dan itu bisa terjadi saat kita, dengan operasi bahasa puisi yang sama, melakukan penceraian pada larik kedua dari bait pertama puisi chairil. yakni: "gadis manis, sekarang iseng sendiri".

dan itu mudah saja, setidaknya jauh lebih mudah dengan larik pertama tadi: makna larik akan berantakan saat kita membuang sebutan waktu di sana: sekarang. dan sisa larik kita letakkan dengan menjuntai ke bawah.

"gadis manis
iseng sendiri"

ada bau tipografi di sini, di mana ketiadaan tanda baca menjadi suatu jeda dari iseng yang bersambung kepada gadis manis. yang artinya gadis manis itu iseng sendiri. tapi saya hendak membacanya dalam bukan secara pandangan mata - indera mata. tapi dalam secara pikiran. di mana dalam pikiran saya akan melakukan stop dalam bahasa. sehingga larik itu dalam pikiran saya, menjadi dua larik yang terpisah tanpa harus mengacu satu sama lain. tapi tak mungkin: secara bahasa puisi ia adalah niscaya: iseng adalah penjelas dari gadis manis. tapi bisa dalam suatu kehendak imajinatif di dalam pikiran saya. menjadi dua hal yang saya anggap terpisah. walau secara pemaknaan ia bersambungan. maka stop bahasa yang saya lakukan itu, adalah semata hendak mengatakan bahwa dalam pikiran, semua gejala benda dan peristiwa bisa kita ayunkan sesuai imajinasi yang kita kehendaki.

tentu saja ada aura anakronisme di sini. suatu pemaksaan bahkan perkosaan atas makna bahasa yang terberi. itu tidak mengapa. sebab saya hendak mengembalikannya ke dalam situasi kepenolakan. bahwa manusia, misalnya, betapapun rasionalnya sebuah informasi dalam kitab suci, terbuka saja peluang bagi dirinya untuk mengatakan tidak dalam pikiran. tidak dalam pikiran, itulah makna dari dua larik yang juntaiannya bersambungan itu.

baiklah. saya akan meninggalkan diri saya yang mempunyai kehendak bebas untuk menerima atau menolak, untuk mencari suatu bentuk lain yakni suatu repetisi dekonstruksi yang saya kerjakan di dalam teks budaya, tapi dengan pengacuan dekonstruksi tuhan atas dirinya sendiri, seperti yang telah saya peragakan di atas itu.

kini diri saya berpindah ke fungsi lain. yakni fungsi kedua sebagai orang yang menceraikan diri saya sendiri. dan kini berdiri sebagai seseorang yang menatapi suatu upaya dekonstruksi dari orang lain - orang lain saya sendiri itu.

maka kini saya menghadapi suatu kebulatan dari hasil pemutusan, atau pemenggalan, dari suatu pembatalan dan penundaan sebuah finalitas dari teks puisi.

teks chairil sudah porak poranda. kita kini berhadapan dengan sebuah teks yang sama sekali baru.

cintaku jauh
dataran ibu
di pulau

gadis manis
iseng sendiri

dua larik itu, lamat lamat, dan secara lembut, terasa meruapkan keanehan akan eksistensi kita di dunia. sebuah keberadaan yang tak bisa kita tolak kecuali harus menerimanya.

hudan hidayat
filsuf kaum sastrawan


__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment