Facebook 31 Maret 3010 : Tiga Penulis Penyair Aidit Catatan dari Brussel (19): Oleh : A. Kohar Ibrahim MUNGKIN sekali hal ihwal ini hanya terjadi dalam sejarah Republik Saya ketengahkan ketiga bersaudara tersebut dalam rangkaian catatan ini karena mengingat peran mereka masing-masing sebagai insan budaya umumnya, khususnya dalam kehidupan seni dan sastra. Peran yang cukup signifikan dalam sejarah Republik Kebetulan, lantaran kegiatan tulis-menulis di koran atau majalah, saya sempat mengenal Tiga Penyair Aidit itu. Sempat jumpa sekian kali dengan yang pertama. Sempat kenal ketika di Kemudian, ketika saya sudah hijrah dari Tiongkok dan bermukim di Eropa Barat, Belgia, saya ketahui bahwa D.N. Aidit telah wafat secara tragis dalam prahara Teror Putih Ketiga di Indonesia setelah terjadi Peristiwa 30 September 1965. Sedangkan Sobron, adiknya, juga akhirnya hijrah dari Peking ke Sesungguhnyalah, mengangkat-angkat ketiga penulis bersaudara Aidit ini bukan ide baru saya saat ini, melainkan sebagai penegasaan kembali dari apa yang sudah pernah saya lakukan hampir sedasa warsa lalu. Ketika saya mengedit majalah Kreasi nomor 17 (1994). Nomor istimewa yang kami beri judul "Ziarah". Sekalipun sudah sekian lama, namun hal-ehwalnya saya pikir masih tetap relevan, faktual lagi aktual. Jutseru ketika problematikanya yang mendasar dan besar serta berkaitan dengan sejararah Republik Dalam kata pengantar dari penyaji Kreasi nomor 17 tersebut (dengan menggunakan nama-pena Dipa Tanaera), saya utarakan bahwa dalam waktu yang hampir bersamaan sampai dua naskah berjudul sama: Ziarah. Masing-masing dari Perancis dan Belanda. Yang satu berupa sajak, sedang yang lainnya cerpen. Selain kesamaan waktu dan judul, ada pula kesamaan lainnya, yakni berupa sandangan nama-keluarga. Yang tak mungkin sirna dalam sejarah bangsa Selanjutnya saya tegaskan pula, bahwa tujuan penerbitan Kreasi nomor "Ziarah" itu memang tak lain tak bukan kecuali sebagai kelanjutan untuk memberi sumbangan sajian kreasi seni dan opini. Dalam rangka memperkaya kepustakaan dan untuk dijadidkan bahan pertimbangan bagi tersusunnya sejarah budaya dalam artian yang luas. Sejarah yang utuh dan yang benar. Bukannya yang dipenggal-penggal dan yang dipalsukan sebagai yang terjadi di bawah rezim Orde Baru. Untuk itu, antara lain saya utarakan kutipan yang patut jadi renungan. Yang pertama canang dari sejarawan Dr Taufik Abdullah yang disiarkan "DeTIK" 15 Februari 1994: "Hendaknya kita sadar benar, bahwa munculnya pemerintah yang disebut Orde Baru ini, adalah di atas puing-puing tragedi nasional yang luar biasa." Sedangkan sejarawan terkemuka lainnya, yakni Dr Abdurrachman Surjomihardjo dengan berani dan tegas mengkonstatasi, bahwa: "Sejarawan Pembunuhan-pembunuh Seperti saya utarakan dalam edito Kreasi nomor 17 itu, D.N. Aidit memang tewas secara tragis sebagai salah seorang korban prahara Teror Putih yang dilancarkan kekuatan Orde Baru dengan segala kekejian dan propaganda-hitam- "Di dalam otobiografinya, Suharto samasekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau sejuta. Justeru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam Kompas Minggu 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Suharto, yaitu bahwa dia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Suharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Suharto sendirilah yang bertanggungjawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Suharto yang, menurut Jasir, mengatakan : 'Bereskan itu semua!' ". Begitulah tingkah-ulah algojo dari kaum perampok kekuasaan dan kekayaan negara RI yang dikepalai oleh Jenderal HMS. Selaras dikte yang diterimanya dari kaum neo-kolonialis dan imperialis (nekolim) yang dikepalai oleh imperialis AS dalam kerangka Perang Dingin dan kontra-revolusi membendung gerakan kemerdekaan rakyat-rakyat Kaum nekolim memang tidak rela menyaksikan kebangkitan bangsa-bangsa terjajah untuk mencapai kebebas-merdekaan. Untuk itu dilakukan berbagai rekayasa dari yang halus-licik sampai pada yang terkeji berupa penangkapan bahkan pembunuhan para sosok tokoh atau pemimpin gerakan kebangikitan nasional. Begitulah yang di alami Patrice Lumumba di Kongo, begitu pula yang di alami Bung Karno dan para pemimpin gerakan nasional Dalam rangka mengungkap peristiwa mandi darah di katistiwa itu, saya perkuat argumentasi edito saya tersebut dengan mengutarakan konstatasi John Gitting (the Guardian 8-9 September 1990): "Pembantaian yang diperingati secara resmi adalah yang terjadi pada 30 September 1965 malam atas diri 6 jenderal dan seorang perwira yang ditangkap dalam kup dan tubuhnya dimasukkan ke dalam sumur di dekat lapangan terbang Halim di pinggir kota Jakarta. Di Lobang Buaya itu kini terdapat suatu monumen di lapangan terbuka yang sesuai dengan versi resmi membenarkan tindakan tentara dalam melancarkan pembasmian komunis, dan melapangkan jalan bagi berkuasanya Jenderal Suharto... Monumen bagi ketujuh korban itu meliputi beberapa hektar Dan salah satu korban yang tak bermakam itu adalah D.N. Aidit. Maka kian bermakna saja karya tulis yang saya terima dalam waktu hampir bersamaan dan yang juga berjudul sama dari dua saudara sang korban kezaliman itu: "Ziarah." Dengan itu pula, edisi khusus Kreasi nomor 17 itu sekaligus juga merupakan pertanda kongkret sekaligus simbolis akan keturut-sertaan kita untuk "berziarah" pada sang Dipa Nusantara. Yang dalam karya prosa berupa cerpen Sobron Aidit disebut sebagai Bang Amat. Sedangkan Asahan Aidit melagukan kesedih-resahan yang amat mengesankan dengan gayanya yang khas dalam sajak berkisahnya yang monumental. Menghantar kita pada penghayatan kehidupan dengan segala cita-cita impian dan ilusi yang bertabrakan dengan realita pahit-getir tak terperikan. Maka tak ayal lagi saya jadi teringat dengan seberkas sajak-sajak karya D.N. Aidit "Lumpur dan Kidung". Salah satunya justeru mengungkapkan rasa solidaritasnya pada kebangkitan rakyat Dunia Ketiga. Khususnya pada rakyat Kongo yang pemimpinnya tewas dibunuh CIA dan kaki-tangannya. Seperti yang dialaminya sendiri beberapa tahun kemudian. Sajak yang disusun di Jakarta 14 Februari 1961 itu berjudul "Yang Mati Hidup Kembali", sebagai berikut: Yang Mati Hidup Kembali Lama nian aku tak menangis tidak karena mata sudah mongering atau mati membeku dingin tapi kali ini, dengan tak sedar hati kepala penuh tak tertahankan butir butir air mata membasahi koran pagi Orang hitam berhati putih itu dibunuh siputih berhati hitam! Tapi bukankah pembunuh terbunuh? Lumumba sendiri hidup selama-lamanya Lumumba mati hidup abadi Kini dunia tidak untuk siputih yang hitam tapi untuk semua putih, kuning, sawomatang, hitam ... Kini udara penuh Lumumba karena Lumumba berarti merdeka. Makna dan metamorfosa baris-baris puisi itu sangat mendalam dan memikat hati saya. Seorang pejuang kemerdekaan menyatakan hommage pada pejuang lainnya. Dan yang lebih menarik lagi, diapun akhirnya mendapat hommage dari pejuang pembebas-merdekaan lainnya pula. Yang juga, selain ketua partai komunis dan negarawan, adalah seorang penulis dan penyair. Yakni dari Mao Zedong: Belasungkawa Untuk Aidit (dalam irama Pu Suan Zi) Di jendela dingin berdiri reranting jarang, beraneka bunga di depan semarak riang apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama, di musim semi malah jatuh berguguran Kesedihan tiada bandingan, mengapa gerangan diri mencari kerisauan, Bunga telah berguguran, di musim semi nanti pasti mekar kembali, simpan harumwanginya hingga di tahun mendatang. Sajak Mao tersebut kami jadikan sebagai "pendahuluan" bagi penerbitan "Ziarah" (Kreasi nomor 17) itu. Selain pengungkapan rasa solidaritas, kitapun bisa memaknai baris-baris puisi Mao Zedong baik dalam metamorfosanya maupun makna waktu atau periodisasi kehidupan manusia. Bagi orang Tionghoa yang perkembangan peradabannya sudah beribu-ribu tahun itu, masalah waktu itu tolak-ukurnya bernuansa lebih lama lebih panjang. Semusim, setahun, bisa sedasa warsa, bisa seabad dan selanjutnya. Yang pasti segala sesuatu bergerak abadi. Begitulah hal-ihwal para korban kezaliman yang tak terperikan itu, khususnya tokoh tokoh yang dibunuhi oleh sejarawan maupun yang secara fisik oleh rezim Orde Baru, sekalipun hendak ditutup-tutupi atau dilupakan sudah sekian dasawarsa, namun akan senantiasa muncul kembali. Akan selalu berupaya muncul kembali hingga tercapainya penyelesaian atau kecerahan. Seperti dengan berziarah. Seperti dengan menyalakan terus pelita perjuangan mengungkap kegelapan demi menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. *** Catatan : CdB 19 pertama kali disiar edisi cetak & online Harian Batam Pos 9 Juni 2003. Disiar ulang Galeri Esai Situs Sastra Nusantara Cybersastra. Biodata A.Kohar Ibrahim : http://16j42. Kumpulan Tulisan A.Kohar Ibrahim: http://16j42. |
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment