Senin, 21 April 2008 | 00:31 WIB
Ketika pertama berjumpa di Pelabuhan Pungur, Batam, agak terperangah juga melihat penampilan lelaki muda itu. Bersama anak lelakinya yang berusia 2,5 tahun, lelaki ber-"jubah" hitam dengan sedikit strip putih tipis di bagian tepi busananya itu pun tersenyum dan mengulurkan tangan. Ia mengajak bersalaman.
Tarmizi dari Komunitas Seni Rumahitam," kata lelaki berbusana serba hitam itu memperkenalkan diri. Anak lelakinya pun mengenakan setelan baju koko berwarna serba hitam, seakan ingin memberi aksentuasi pada komunitas yang ia pimpin: Rumahitam!
Tarmizi bukanlah pemimpin sebuah sekte atau mengorganisasi kelompok eksklusif dengan ideologi tertentu. Simbol warna hitam sebagai ciri khas keberadaan komunitas yang ia kelola—termasuk pada sejumlah bangunan tempat tinggal, warung, dan rumah baca mereka yang juga dicat hitam—di kawasan Sekupang, Batam, hanyalah semacam penanda.
"Tak ada kaitan sama sekali dengan ideologi para anggota komunitas," kata Tarmizi (35), lelaki kelahiran Rumbai, Riau, namun dibesarkan di kampung halaman ibunya (Nuraini) di Rao, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Adapun ayahnya, (almarhum) Saidul Nasution, berasal dari Sumatera Utara.
Rumahitam sebagai anak ideologis Tarmizi memang mengandung makna simbolik. Bagi Tarmizi, "rumahitam" adalah sebuah sudut pandang tentang Batam yang kian tak ramah pada lingkungan sosial dan budaya lokal.
Di tengah atmosfer kesenian di Batam yang mandek, Tarmizi melakukan "perlawanan" lewat puisi yang ia tulis dari balik dinding tripleks di rumah liar—masyarakat Batam menyebutnya "ruli"—yang ia huni di kawasan Batuaji. Isinya memang lebih banyak mengungkap sisi kelam di balik gemerlap lampu warna-warni pembangunan di Pulau Batam.
"Kami di Batam memang hidup bagaikan di rumah yang hitam. Sebagian besar orang cenderung mengikuti sesuatu yang buruk, sebuah lingkungan yang hitam dan kelam. Saya merasa tinggal di sini, di rumah yang hitam itu. Tetapi, kalau mau jujur, kondisi semacam ini juga menyungkupi negeri ini: Indonesia!" kata Tarmizi.
Sebagai penyair, nama Tarmizi memang belum menasional. Tetapi, label semacam itu tak begitu penting jika melihat "ketokohan"-nya dalam konteks gerilya kesenimanannya. Ketika pembangunan kebudayaan tak mendapat tempat di tengah gemuruh mesin pabrik dan industri di Pulau Batam, warga pendatang ini justru menawarkan setitik cahaya.
Sebuah komunitas seni ia dirikan pada 21 April 2000. Di tengah kegersangan Kota Batam, Tarmizi menggelorakan sebuah gerakan kebudayaan untuk mengangkat marwah Melayu. Para sopir taksi, buruh pabrik, pedagang asongan, hingga yang berstatus pegawai negeri lulusan perguruan tinggi ikut bergabung. Mereka menenggelamkan diri dalam berkesenian, di mana Melayu sebagai basisnya.
Gerakan kebudayaan yang digagas dari ruang pengap di pondok tinggalnya yang beratap bahan karet bekas di kawasan Batuaji itu menemukan bentuk setelah mereka pindah ke daerah Sungai Harapan, Sekupang, pada 2001. Gerakan yang ia bangun ternyata mampu meyakinkan Ketua Otorita Batam (saat itu) Ismeth Abdullah. Tarmizi pun "dipinjami" lahan 2,5 hektar untuk dikembangkan menjadi semacam kawasan budaya-kreatif.
"Di sinilah kami membangun 'permukiman' baru, baik secara fisik maupun simbolik. Artinya, kawasan ini sekaligus sebagai ladang kreativitas yang harus ditanami, dipupuk, disiram, sehingga seni dan budaya (Melayu) bisa tumbuh subur," ujar Tarmizi.
Berawal dari nol
Delapan tahun sudah berlalu. Selama kurun waktu itu, puluhan bahkan ratusan pencinta seni di daerah ini keluar-masuk komunitas yang ia bangun dari nol tersebut.
Ketika dipinjami lahan oleh Otorita Batam, Tarmizi hanya mampu mendirikan pondok kecil berukuran sekitar 4 x 5 meter. Dinding dan atapnya pun masih terbuat dari ban bekas yang dicat warna hitam.
Tak ada sumber air bersih, juga penerangan listrik. Hanya lampu teplok yang menemani malam-malam perbincangan mereka tentang masa depan Melayu di pulau industri ini. Banyak yang mencibir, tetapi Tarmizi jalan terus.
Meski secara fisik jauh dari memadai untuk disebut sebagai "pusat kebudayaan", tetapi dari sinilah cikal bakal berkembangnya Komunitas Seni Rumahitam hingga menemukan bentuknya seperti sekarang. Kini, walau belum sepenuhnya berjaya, mereka sudah memiliki sejumlah rumah tinggal, "wisma tamu", panggung untuk latihan dan pementasan, rumah baca, serta warung makanan yang lebih menyerupai semacam kafe.
Di sini pula beragam kegiatan disuarakan: mulai dari seni teater, tari, seni rupa, seni kriya, seni sastra, hingga upaya penggiatan seni tradisi yang ada di Batam dan sekitarnya. Nama "Rumahitam" pun sudah laku "dijual". Bahkan, beberapa partai politik mulai melirik mereka untuk diminta mengisi acara kesenian di sela kegiatan pertemuan partai.
"Sebagai pribadi, kami orang-orang Komunitas Seni Rumahitam tetap independen. Undangan dari siapa pun dan dari partai mana pun kami penuhi sejauh komitmen mereka untuk kesenian," kata Tarmizi.
Manusia pekerja
Ketika pertama kali datang ke Batam tahun 1994, selepas menamatkan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Padang (1993), Tarmizi sempat terlunta-lunta selama beberapa tahun di Batam. Ijazah SMKI yang ia sodorkan ke perusahaan atau di pabrik yang ada di pulau milik para pendatang ini tak bersambut. Tak ada yang mau menerima dia.
Tarmizi bekerja serabutan. "Yang penting halal," ujar suami Efmilia (34) ini. Sebagai pedagang asongan atau penjual es buah, ia lakoni. Tak jarang Tarmizi ikut bekerja sebagai kuli bangunan. Sesekali ia mendapat pesanan menulis papan nama toko dan restoran. "Pokoknya kerja apa saja yang bisa menghasilkan duit," ujarnya.
Bekerja untuk menghidupi diri sendiri bukan hal baru bagi Tarmizi. Sejak kelas IV SD ia sudah berjualan "kue junjung" di kampung halaman ibunya di Rao. Saat di SMP, selain berjualan rokok batangan, pada dini hari sebelum fajar menyingsing, Tarmizi bekerja sebagai kondektur angkutan umum.
"Nambang, begitu istilahnya," kata Tarmizi, anak keenam dari sembilan bersaudara pasangan Saidul Nasution dan Nuraini.
Hampir dua tahun, saat duduk di kelas II dan III SMP, malam-malam yang dingin ia habiskan dengan tidur di mobil. Sebab, pada pukul 04.00 pagi Tarmizi sudah harus berteriak-teriak di jalan yang sepi, mencari penumpang yang akan diangkut ke pasar di pusat kota Rao. Sementara pada pagi hari itu pula ia masih harus ke sekolah.
Mencari pendapatan untuk hidup dan biaya sekolah juga ia lakukan saat melanjutkan ke SMKI di Padang. Bedanya, sejak di SMKI basis pemasukannya lebih banyak berasal dari "usaha"-nya berkesenian. Selain dari honor tampil di sejumlah pertunjukan, tak jarang ia diminta bergabung memperkuat tim kesenian Kota Padang berpentas di sejumlah kota di Malaysia dan beberapa kota di Sumatera.
Pengalaman hidupnya yang keras semacam itu ternyata banyak membantu menghidupi Komunitas Seni Rumahitam. Bahkan, awal April lalu, mereka mampu menyelenggarakan Temu Sastrawan Sumatera 2008.
"Lumayan sukses," kata Tarmizi. (ken)
hebat bang tarmizi...maju terus di tengah arus ganjil peradaban ini....hehehehe.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment