Wednesday, June 16, 2010

[ac-i] Jurnal Seksualitas Gandrung akan segera terbit

 


Jurnal Seksualitas Gandrung akan segera terbit. Untuk berlangganan, bisa menghubungi:
Sardjono Sigit <sardjono.sigit@gmail.com>.

Salam,
Soe Tjen Marching (pemred Jurnal Gandrung).

 

 

EDITORIAL

(Oleh Soe Tjen Marching)


Kalau kita sedang berhasrat melakukan hubungan seks, lalu nebeng pada tetangga, reaksi yang sangat mungkin adalah, sang tetangga ini menggebuki kita (kecuali bila ia baik hati dan amat terbuka).  Tapi anehnya, isu atau diskusi seksutalitas itu sendiri seringkali ditebengkan pada topik-topik lainnya, seperti kesehatan, moralitas, hukum dan pendidikan.  Seakan seksualitas itu hanya bayi yang selalu dititipkan ke sana kemari, sehingga bahasan seksualitas seringkali tidak menjadi "dewasa".  Ia dibatasi oleh orang tua angkatnya, yang gemar memperlakukannya dengan semena-mena.  Seks seringkali dihubungkan dengan penyakit di dalam kesehatan, sumber kebejatan dalam moralitas, dan pelanggaran dalam hukum dan pendidikan. 

Sistem patriarki di Negara kita pula yang menjadikan seks sebagai alat kontrol.  Pemimpin agama, pejabat, ilmuwan dan penentu kebijakan yang umumnya laki-laki, begitu getol menyekap seksualitas dengan definisi yang baku dan menjadikannya "momok" - cermin ketakutan tersendiri dari mereka yang mempunyai kekuasaan, sehingga mereka tidak mengijinkan masyarakat memandang seks sebagai kenikmatan.  Tapi, ini bukan berarti bahwa para pembuat peraturan itu juga membatasi diri dalam seks.  Justru seringkali, mereka membuat peraturan sedemikian rupa, sehingga dapat memonopoli kenikmatan tersebut.  Karena itu, pelacuran untuk pejabat kelas tinggi marak tapi rapi tersembunyi, poligami bagi lelaki (poligini) dapat diterima.  Lalu, jangan tersentak bila pejabat tinggi atau pemuka agama yang gemar mendengungkan moralitas tiba-tiba kedapatan mempunyai gundik di bawah umur atau simpanan yang waria.  Sedangkan bagi masyarakat, yang didengungkan dari seksualitas adalah fungsinya (sebagai prokreasi), sedang kenikmatannya dilenyapkan bila perlu. 

Manusia menjadi mesin-mesin yang digunakan untuk tujuan politik tertentu.  Memang, dalam masyarakat otoriter, tubuh selalu menjadi obyek kuasa.  Dengan memanipulasi dan mengekang tubuh, para penguasa dengan mudah dapat melumpuhkan manusia untuk tunduk kepada tujuan mereka.  Otoriterisme sedemikian ini yang membuat gender dan seksualitas menjadi statis dan biner di Indonesia, walaupun seksualitas sendiri sangat tergantung pada setiap manusia yang mengalaminya.  Dengan kata lain, seksualitas itu bisa amat beragam dan seringkali tidak bisa dipilah-pilah dalam definisi tertentu.  Bila dibatasi dengan binerisme (antara perempuan dan lelaki saja), maka yang terjadi adalah pemenjaraan manusia: Bukan lagi definisi itu yang melambangkan manusia, tapi justru manusialah yang harus dicetak menurut definisi.  Tidak saja biner yang menjadi batasan, aktifitas seksual yang tidak melibatkan manusia dengan sesamanya juga seringkali dikutuk.  Padahal dalam beraktifitas, kelamin manusia juga memungkinkan untuk mencapai kenikmatan dengan yang bukan manusia.  Tapi, ada beberapa fungsi biologis yang tidak memungkinkan.  Sama halnya dengan besi yang tak bisa menarik kayu.  Bagaimana hal ini ditemukan?  Tentu saja dengan mengalami sendiri.  Seks harus dialami untuk mempelajarinya.      

Bukankah ilmu pengetahuan ada, untuk lebih memahami semesta beserta ide-ide dan isinya?  Ilmu pengetahuan tidak diciptakan supaya semesta beserta isinya ini bisa dicetak sesuai kaedah.  Bagaimana mungkin manusia menitahkan matahari untuk mengitari bumi?  Walaupun kebodohan seperti ini seringkali terjadi dan dapat fatal akibatnya.  Galileo sempat dikucilkan karena ia tidak menyetujui teori sang penguasa.  Tapi, nasibnya tidak separah Giordano Bruno yang harus dibakar hidup-hidup.  Dan karena begitu takutnya Gereja Katolik akan pendapat Bruno, lidahnya ditancapi paku-paku besi dan mulutnya disekap, sehingga ia tak bisa bersuara lagi di depan publik saat digeret ke kayu api. 

          Namun masih saja, banyak orang terlalu percaya terhadap keabsahan ilmu pengetahuan yang memberi jawaban eksakta.  Sebab itu, pamor humaniora di negeri kita ini seringkali jatuh, karena ia tidak memberi jawaban yang hitam-putih, walaupun selalu ada perbedaan antara alam dan persepsi manusia.  Tapi seringkali, kita terlalu percaya, apa yang kita tangkap di dalam persepsi kita itu sama dengan yang di luar kita, tanpa mau memelajari dan berpikir kembali.  Lalu, penghukuman, pembunuhan, dan penyiksaan manusia terjadi karena klaim yang dianggap paling benar dan satu-satunya yang mungkin.  Klaim yang mengabaikan penelitian lebih lanjut: Bahwa alam itu sendiri mengandung kemungkinan yang tak terhingga.  Kecongkakan dan kebakuan yang seringkali membawa akibat mencelakakan.  

Bukankah hal ini sering terjadi dalam seksualitas?  Kecairan seksualitas yang tak diindahkan, hasrat dan kenikmatan yang dilupakan.  Lalu, diganjarlah mereka dengan hukuman yang mengerikan: Rajam untuk perempuan yang bersetubuh di luar nikah, gantung bagi homoseksual, penjara bagi waria.  Apakah mendengar dan menikmati tubuh sendiri adalah sebuah kejahatan, walau mereka yang dihukum ini tidak pernah mengganggu siapapun?  Sedangkan para koruptor kelas kakap dan pemimpin agama yang melakukan pelecehan dapat lolos begitu saja, padahal jelas-jelas mereka telah memangsa dan merugikan orang lain?  Berapa manusia yang kebebasan dan haknya telah dirampas oleh para petinggi hukum yang picik?

          Kemudian, penentu kaedah ini pula yang terbelit dengan definisi mereka sendiri.  Bila seks adalah hal yang negatif dan mengancam stabilitas bangsa (bahkan sempat disetarakan dengan narkoba), apa saja yang termasuk di dalamnya?  Mereka lalu mengidentifikasi tubuh dan baju terutama perempuan, atau beberapa keintiman anggota tubuh seperti berciuman.  Namun, bagaimana dengan anggota tubuh lelaki dan keintiman tubuh yang lain?  Bagaimana dengan hasrat yang bangkit karena memandang lelaki yang bertelanjang dada?  Bagaimana dengan bayi yang menghisap payudara ibunya?  Dan semua manusia (baik yang dianggap pendosa maupun pastor, nabi dan ulama) melewati vagina ibu mereka ketika dilahirkan.  Apakah mereka lupa bahwa mereka lahir karena adanya seks?     

          Seks menjadi amat sempit (sebatas peraturan), namun bersamaan dengan itu juga meluas kemana-mana (interpretasi pikiran kotor memungkinkan hal ini).  Ia ditekan dan diulur sesuai dengan wacana penguasa.  Yang luput dari perhatian justru dampak yang nyata, yang jelas-jelas harus dihindari dan diajarkan kepada masyarakat sejak dini, seperti: rasa hormat terhadap manusia ketika melakukan hubungan seks sehingga pelecehan dapat terhindari, aktifitas yang aman sehingga penyakit kelamin tidak menyebar.  Bukannya moral dan dogma, yang mengelabui manusia dan memaksa mereka untuk mengingkari beragam kemungkinan tubuh serta orientasi dan perilaku seksual mereka, yang membutakan dan  membodohkan.    

          Karena itulah Jurnal Gandrung diterbitkan untuk memberi wacana bagi kayanya aspek seksualitas manusia.  Seksualitas dan gender dipandang sebagai bagian integral manusia yang beragam, dengan harapan bahwa topik seksualitas tidak lagi dianggap seperti bayi jahanam (Soe Tjen Marching, pemred Jurnal Gandrung).


__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment