Sunday, June 13, 2010

[ac-i] Sekali Lagi,Kita cuma bisa marah jika dipulung orang ketimbang menghargai

 

Radar Tulungagung
[ Minggu, 13 Juni 2010 ]
Kehidupan Seniman Tradisi
Disyukuri meski Tanggapan Makin 'Jauh'

Zaman terus bergerak cepat. Tak banyak yang bertahan dalam berkesenian tradisi. Tapi tidak dengan Adam Sumeh dan Maryani. Keduanya eksis di kesenian kentrung dan macapat.

---

Saat bertamu ke rumahnya yang sederhana di Desa Dayu, Kecamatan Nglegok, Mbah Sumeh sedang santai. Pria yang bernama asli Adam ini adalah salah seorang seniman kentrung yang hingga kini tetap eksis. Saat ditanya tentang nama Sumeh yang melekat pada dirinya, pria kelahiran 1 Juli 1946 ini mengungkapkan nama itu didapatkannya saat masih pentas bersama grup ludruk sekitar 1975 silam. Saat itu, dia yang mendapat lakon lawak bersama dua rekannya mendapat nama Sumeh. "Ya sejak saat itu nama saya Adam Sumeh. Di KTP juga begitu. Pekerjaan seniman," kata bapak tiga anak ini.

Mbah Sumeh, kini dikenal sebagai salah satu seniman kentrung yang tersisa di Blitar. Grup kentrungnya yang bernama Tri Santoso Budoyo bisa disebut sebagai kelompok kentrung yang hingga tetap ada di bawah gempuran seni modern. "Ada juga di daerah Udanawu. Tapi memang sudah jarang," kata pria yang sudah ikut wayang orang sejak 1959 ini.

Sebelum jadi dalang kentrung seperti sekarang ini, Mbah Sumeh dulunya menjadi seniman wayang orang, ludruk, ketoprak dan jaranan. Saat main di kentrung, dia mengawalinya menjadi pancak atau penabuh alat pengiring kentrung. Baru sejak 1994 dia menjadi dalang kentrung. Yakni, sebuah kesenian warisan nenek moyang yang menyajikan sebuah kisah diselingi dengan lagu dari yang dinyanyikan sinden dan guyonan antara dalang, pancake, dan sinden. Dia mengaku tak pernah belajar secara khusus. Tapi karena sudah suka dengan segala sesuatu berbau kesenian, Mbah Sumeh bergaul dengan orang-orang yang telah lebih dulu terjun ke kesenian tersebut. "Kentrung itu kan warisan walisanga. Kisah yang disampaikan biasaya seputar kisah walisanga, keratin, dan kerajaan," terang Mbah Sumeh yang memang sumeh alias banyak senyum ini.

Kehidupan menjadi seniman terkadang memang tidak menentu. Namun, Mbah Sumeh bisa menggantungkan hidupnya dari kesenian kentrung. Sekali manggung di dalam kota, kelompok kentrung yang beranggotakan setidaknya lima orang ini dibayar Rp 1 juta. Harga itu, menurut Mbah Sumeh, cukup untuk dibagi dan dijadikan sumber penghidupan. Sebulan, paling sedikit tiga kali dia mendapat tanggapan kentrung. "Yang namanya rezeki makin disyukuri kan makin terasa nikmatnya," katanya.

Namun itu tidak menentu. Dia pun kadang digojlok oleh seniman muda lainnya. Yakni manggung makin jauh. Maksudnya bukannya tempat yang hingga ke luar kota atau luar negeri, melainkan tanggapan manggung yang berjarak lama. Kadang dalam setahun bisa dihitung dengan jari.

Kini, Mbah Sumeh berusaha melakukan regenerasi untuk pewaris kesenian tradisional tersebut. Menurut dia, kini anak-anak sekolah telah banyak yang mulai diajari kesenian tradisi ini. "Kadang saya diajak untuk mengajari mereka. Pertama-tama ya belajar nabuh kendang, terbang, ketipung dulu," kata Mbah Sumeh.

Sebagai salah satu seniman kentrung yang masih bertahan, Mbah Sumeh yakin bahwa masyarakat bakal terus menggemari kesenian tradisional ini. Meski hanya orang-orang tertentu. Namun hal itu cukup bisa membuat Mbah Sumeh terus berkarya sebagai dalang kentrung.

Demikian juga dengan Maryani. Menjadi seniman menurut Maryani merupakan panggilan hati. Sejak SMP, pria 46 tahun ini hobi menulis tembang. Hobinya itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh sang ayah yang menggeluti kesenian wayang orang. Saat kuliah, Maryani memilih mengambil jurusan Sastra Indonesia di Universitas Jember. Kuliah di jurusan sastra, membawanya ke dunia kesenian yang lebih kompleks. Maka, hobinya nulis tembang ditambah kemampuannya dalam dunia akting dan teater membuatnya aktif di dunia kesenian di kampusnya. Untuk mengasah kemampuannya menulis tembang, saat menulis surat buat orang tuanya dia diharuskan menuliskannya dalam tembang. "Jika tidak ditulis begitu, ndak dibales sama bapak," kenang Maryani.

Tidak hanya itu, pada 1989, Maryani yang juga sempat aktif di Kentrung Jos Jember, pernah turut mencicipi pentas nasional. "Saat itu, Kentrung Jos jadi ikon Jember. Sekarang ya dikatakan mati tidak, hidup tidak," kata suami dari Kuswidayati.

Pria asli Mangunan, Udanawu, ini dulunya sering berkeliling di berbagai daerah untuk pentas pertunjukan seni. Baik teater, kentrung, macapat dan lain-lain. Baru pada 1994 dia kembali ke tanah kelahirannya di Blitar. Dan hingga kini, selain sebagai seniman dia tercatat sebagai guru di SD Mangunan 2. "Dulu sebelum pulang ke Blitar ya keliling-keliling bersama teman-teman seniman," kenang Maryani.

Sebagai seniman tradisional, Maryani bersama rekan-rekannya di paguyuban macapat berusaha melestarikan kesenian warisan nenek moyang ini. Bagi pria yang hobi nulis tembang ini, banyak filosofi yang bisa diambil dari kesenian macapat. Dengan memahami macapat, maka banyak pelajaran yang bisa diambil tentang kehidupan. Bagi seorang seniman, tidak perlu banyak uang yang penting hati tentram. "Materi jika dipikir tidak ada habisnya. Nah, melalui macapat ini banyak misinya tapi mengeluarkan biaya sedikit saja. Banyak pesan yang bisa disampaikan tentang falsafah hidup," kata bapak dua anak ini.

Lantas pria yang punya nama pena Jantrapi Cantrik Panataran ini menceritakan 11 hal falsafah macapat yang dipelajarinya. Mulai dari mijil, maskumambang, kinanthi, sinom, asmarandana, gambuh, dandanggula, durmo, pangkur, megatruh hingga pucung merupakan simbol siklus kehidupan manusia mulai lahir hingga dikubur. "Tembang dalam sastra Jawa kan dibagi tiga. Tembang macapat, tengahan dan gedhe. Simbol dari alam dunia, kubur, akhirat," terang Maryani singkat.

Saking cintanya pada macapat, saat menikah Maryani menyertakan macapat sebagai mas kawinnya. Dia menuliskan Adyasmara. Yakni dua bait tembang asmarandana. "Istri pertama saya itu ya macapat itu, hehe," seloroh pria berjenggot ini.

Yang disayangkan Maryani sebagai seorang seniman adalah minimnya kesadaran bangsa Indonesia tentang betapa kuatnya kebudayaan yang dimiliki nenek moyang Indonesia. Melihat warisan kebudayaan, seperti candi, tembang dan aneka kesenian yang lain membuktikan bahwa nenek moyang Indonesia punya karakter kebudayaan yang kuat. Nah, untuk melihat kembali ke masa lalu Maryani mengibaratkannya bagai mengintip ke 350 tahun silam. "Pustaka kita telah banyak yang diusung ke Leiden. Tak heran orang Belanda, Australia, Amerika dan orang-orang asing lainnya lebih pinter daripada kita soal budaya kita sendiri. Dan ini butuh kesadaran dari kita sendiri untuk menggalinya. Coba pemerintah lebih peduli," sesal Maryani.

Kini bersama 27 paguyuban macapat yang tersebar di Blitar Raya, Maryani bersama rekan-rekannya berusaha untuk terus melestarikan khasanah warisan nenek moyang. (dha/cam)

 

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment