Friday, June 18, 2010

[ac-i] Keindonesiaan dalam Perspektif Papua

 

Fadhal Alhamid, pemuda Papua yang menjadi pembicara pertama dalam Dialog Nasional Pemuda bertajuk "Menyoal Identitas Kebudayaan Indonesia", mengatakan bahwa Belanda tidak melakukan penyerbuan atau praktek penjajahan di tanah Papua. Alih-alih merusak atau membunuh, Belanda justru menggelar pendidikan dan juga pembangunan bagi masyarakat Papua.

Terkadang, ketika orang kecewa dengan pemerintah Indonesia, orang kemudian bernostalgia dengan jaman Belanda yang dianggap baik, termasuk soal pendidikan.

"Kalau ajar membaca… 'ini api, api menyala, babi lari'. Sesuatu yang kemudian mengakar dalam realita. Sekarang, 'ini pak madi, pak madi ke sawah'. Siapa pak madi? Sawah mana? Orang papua tidak kenal sawah. Orang papua kenal hutan sagu."

Terlepas dari perbedaan sejarah, kebudayaan, dan ras dengan kebanyakan negeri-negeri di Indonesia, Fadhal berharap Papua dapat diterima dalam keragaman Indonesia. Papua semestinya diberi ruang untuk turut membentuk dan mewarnai identitas keindonesiaan.

Namun, persoalannya tidak mudah. Dalam berbagai iklan yang setiap hari tayang di ruang-ruang media massa, apa yang disebut cantik itu adalah orang yang berambut lurus dan berkulit putih. Dan kriteria itu membuat orang Papua, di tanahnya sendiri, sulit untuk mengisi posisi-posisi tersebut di pasar, seperti bank atau supermarket.

Bahkan, ketika ada kontes putri kecantikan yang dibuat oleh kelompok Dharma Wanita di Papua, putri-putri (suku) Dani diajak untuk menjadi putri Jawa, yakni dengan memakaikan sanggul dan kebaya pada tubuhnya. Padahal, perspektif kecantikan bagi orang (suku) Dani bukan itu.

"Perempuan yang cantik itu yang tangannya kuat. Kepalanya kuat untuk memanggul itu noken. Dia orang yang pandai mengurus kebun, pandai mengurus anak, pandai mengurus babi. Itulah perempuan Papua, perempuan Dani yang cantik.

Fadhal juga mencatat persoalan militerisme di papua. Menurutnya, pemerintah dan militer Indonesia lebih merasa terganggu ketika bendera bintang kejora berkibar ketimbang sekolah dan layanan kesehatan tidak berfungsi. Nasionalisme Indonesia hanya hadir dalam bentuk pos-pos militer dan bendera merah putih.

Kalau ada yang menaikkan bendera Bintang Kejora, pemerintah dan militer Indonesia tidak pernah menanyakan kenapa bendera tersebut dinaikkan. Kalau ada yang menaikkan bendera, maka tindakan keras langsung diambil: tangkap, adili, penjara.

"Padahal kalau ada yang kasih naik itu bendera, itu bisa saja karena anaknya tidak lolos itu pegawai negeri, gajinya sekian bulan tidak dibayar, atau karena hutannya dirampas," kata Fadhal.

Selanjutnya saksikan di sini atau di
http://wisataloka.com/wisatalokatv/keindonesiaan-dalam-perspektif-papua/


Salam,
TM. Dhani Iqbal

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment