Radar Mojokerto -JAWA POS Grup
[ Selasa, 22 Juni 2010 ]
Ketika Warisan Dunia, Wayang Kulit Menjadi Barang Dagangan Pinggir Jalan
Wayang Doplek pun Dijajakan di Emperan Toko
Wayang kulit telah ditetapkan menjadi warisan dunia oleh PBB. Namun, karya luhur itu justru asing di negeri sendiri.
FENDY HERMANSYAH, JOMBANG
---
Tak mengherankan ketika budaya luhur bangsa mulai luntur. Begitu juga ketika Darmo melintas di kawasan pertokoan depan Pasar Citra Niaga (Pasar Legi).
Laki-laki tua giat memegang kemonceng dari bulu ayam. Ia singkirkan baik-baik debu dan daun yang berterbangan di atas dagangannya. Kemarin (20/6) siang Kartono Gimo, baru saja selesai menata ratusan lembar wayang buatannya. Kerajinan yang memiliki filosofi tinggi itu didirikan bersandar pada papan penutup sebuah toko emas. Sisanya, ia tidurkan dengan rapi.
Usai membersihkan debu yang menempel di wayangnya, ia beranjak membersihkan lokasi sekitar tempat ia menggelar dagangan. Pria 55 tahun itu mengaku berasal dari Wonocolo, Wonogiri. Kali ini ia sedang mencoba mengais rezeki di Kota Santri. Maklum, berdasar pengalamannya, Jombang punya banyak peminat wayang buatannya.
Kerajinan tokoh-tokoh pewayangan buatan Gimo-panggilan Kartono Gimo, itu terbuat dari kertas doplek. Bahan dasar itu ia peroleh dengan mudah di kota asalnya. Dengan keahlian membuat wayang puluhan tahun, Gimo meracik ide dengan doplek. Jadilah wayang doplek.
Gimo terpaksa memilih emperan toko sebagai lokasi berdagang. ''Sudah jadi kebiasaan," kata bapak berputra empat ini. Biasanya ia mengikuti pagelaran wayang di kota-kota yang menghadirkan dalang kondang. Memeriahkan sebuah pementasan wayang, bergabung dengan pedagang kaki lima yang biasanya datang di keramaian.
Namun, lantaran pentas wayang masih sepi, ia beralih berjualan di Jombang. "Pagi tadi saya datang," tutur suami dari Harini ini. Hari itu, ia berharap pada takdir akan lakunya wayang-wayangnya. "Ya ndak mesti. Tapi ya banyak yang beli," katanya optimis.
Untuk harga wayang sendiri cukup bervariasi. Harga disesuaikan dengan besar-kecilnya wayang serta tingkat kesulitan pembuatan. Kisarannya antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000. Sebanyak 200 lebih wayang ia bawa dari Wonogiri.
''Saya sudah 20 tahun lebih bergelut dengan wayang," cerita Gimo. Sejak kecil lingkungan tinggalnya lekat dengan kesenian Jawa khususnya wayang. Hingga, ia pun bisa membuat wayang oleh peran ayahnya. Tahun 1980-an, ia sering berjualan di Wonocolo Surabaya. Kala itu wayang memang dipentaskan rutin. Sehingga, ia tinggal menggelar kerajinannya tiap malam jumat. Pembeli mayoritas dari penonton wayang itu sendiri.
Kian jarangnya pementasan wayang, ikut menyurutkan penghasilannya. Apalagi, ditambahkan dengan munculnya layar lebar atau bioskop. Tontonan yang mengandung tuntunan pun mulai jarang ditampilkan.
Padahal, menurut Gimo, di wayang itu mengandung filosofi kebudayaan Jawa, dan Indonesia pada umumnya. "Wayang itu simbol bagi Indonesia," tandasnya. Lebih jauh ia bercerita. Wayang itu cerminan manusia. Karakter manusia tercermin pada lakon-lakon yang ada di pewayangan. Sifat manusia muncul dengan perilaku tokoh yang dimainkan dalang.
"Wayang itu dibuat oleh orang yang weruh sadurunge wineruh," katanya sambil berfilosofi. Wayang juga mengandung liku-liku permasalahan manusia. "Itu (wayang) memang disiapkan untuk manusia," katanya. Gimo menejelaskan pilihannya menjadi perajin wayang kulit adalah suatu suratan takdir. Ia tak mengeluh.
Gimo menuturkan, kala berjualan, berfikir bagaimana mengeluarkan pengeluaran sedikit mungkin. Salah satunya dengan tidur bersama karyanya di emperan toko. ''Daripada untuk ongkos becak ke kontrakan, kan mending tidur disini. Bisa menghemat biaya," pungkasnya. (lal)
Wayang kulit telah ditetapkan menjadi warisan dunia oleh PBB. Namun, karya luhur itu justru asing di negeri sendiri.
FENDY HERMANSYAH, JOMBANG
---
Tak mengherankan ketika budaya luhur bangsa mulai luntur. Begitu juga ketika Darmo melintas di kawasan pertokoan depan Pasar Citra Niaga (Pasar Legi).
Laki-laki tua giat memegang kemonceng dari bulu ayam. Ia singkirkan baik-baik debu dan daun yang berterbangan di atas dagangannya. Kemarin (20/6) siang Kartono Gimo, baru saja selesai menata ratusan lembar wayang buatannya. Kerajinan yang memiliki filosofi tinggi itu didirikan bersandar pada papan penutup sebuah toko emas. Sisanya, ia tidurkan dengan rapi.
Usai membersihkan debu yang menempel di wayangnya, ia beranjak membersihkan lokasi sekitar tempat ia menggelar dagangan. Pria 55 tahun itu mengaku berasal dari Wonocolo, Wonogiri. Kali ini ia sedang mencoba mengais rezeki di Kota Santri. Maklum, berdasar pengalamannya, Jombang punya banyak peminat wayang buatannya.
Kerajinan tokoh-tokoh pewayangan buatan Gimo-panggilan Kartono Gimo, itu terbuat dari kertas doplek. Bahan dasar itu ia peroleh dengan mudah di kota asalnya. Dengan keahlian membuat wayang puluhan tahun, Gimo meracik ide dengan doplek. Jadilah wayang doplek.
Gimo terpaksa memilih emperan toko sebagai lokasi berdagang. ''Sudah jadi kebiasaan," kata bapak berputra empat ini. Biasanya ia mengikuti pagelaran wayang di kota-kota yang menghadirkan dalang kondang. Memeriahkan sebuah pementasan wayang, bergabung dengan pedagang kaki lima yang biasanya datang di keramaian.
Namun, lantaran pentas wayang masih sepi, ia beralih berjualan di Jombang. "Pagi tadi saya datang," tutur suami dari Harini ini. Hari itu, ia berharap pada takdir akan lakunya wayang-wayangnya. "Ya ndak mesti. Tapi ya banyak yang beli," katanya optimis.
Untuk harga wayang sendiri cukup bervariasi. Harga disesuaikan dengan besar-kecilnya wayang serta tingkat kesulitan pembuatan. Kisarannya antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000. Sebanyak 200 lebih wayang ia bawa dari Wonogiri.
''Saya sudah 20 tahun lebih bergelut dengan wayang," cerita Gimo. Sejak kecil lingkungan tinggalnya lekat dengan kesenian Jawa khususnya wayang. Hingga, ia pun bisa membuat wayang oleh peran ayahnya. Tahun 1980-an, ia sering berjualan di Wonocolo Surabaya. Kala itu wayang memang dipentaskan rutin. Sehingga, ia tinggal menggelar kerajinannya tiap malam jumat. Pembeli mayoritas dari penonton wayang itu sendiri.
Kian jarangnya pementasan wayang, ikut menyurutkan penghasilannya. Apalagi, ditambahkan dengan munculnya layar lebar atau bioskop. Tontonan yang mengandung tuntunan pun mulai jarang ditampilkan.
Padahal, menurut Gimo, di wayang itu mengandung filosofi kebudayaan Jawa, dan Indonesia pada umumnya. "Wayang itu simbol bagi Indonesia," tandasnya. Lebih jauh ia bercerita. Wayang itu cerminan manusia. Karakter manusia tercermin pada lakon-lakon yang ada di pewayangan. Sifat manusia muncul dengan perilaku tokoh yang dimainkan dalang.
"Wayang itu dibuat oleh orang yang weruh sadurunge wineruh," katanya sambil berfilosofi. Wayang juga mengandung liku-liku permasalahan manusia. "Itu (wayang) memang disiapkan untuk manusia," katanya. Gimo menejelaskan pilihannya menjadi perajin wayang kulit adalah suatu suratan takdir. Ia tak mengeluh.
Gimo menuturkan, kala berjualan, berfikir bagaimana mengeluarkan pengeluaran sedikit mungkin. Salah satunya dengan tidur bersama karyanya di emperan toko. ''Daripada untuk ongkos becak ke kontrakan, kan mending tidur disini. Bisa menghemat biaya," pungkasnya. (lal)
- Ribuan Siswa Tak Tertampung
- Kawasan Industri Dinilai Amburadul
- Satukan Tekad Menuju Kebersamaan
- Dianggarkan Rp 156 Miliar
- Komnas HAM Setujui Investigasi
- Provinsi Tak Beri Lampu Hijau
- Dua Pengendara Tewas
- Anak Tukang Donat Kena Hidrocephalus
- Butuh Dana Rp 128 Miliar
- Dandim Siap Duduk Bareng Empemania
HALAMAN KEMARIN
- Jalanan Bopeng Mojokerto
- Dewan : Anggaran Minim
- Melongok Pentas Salawat 1.000 Rebana Sabtu Pon
- Berkas Pembakar Mobil Wawali Dilimpahkan
- Potong Pohon Tewas Kesetrum
- Dari Penerapan Sistem Resi Gudang (SRG) di Jombang
- Bakal Dibawa ke Ranah Hukum
- Raperda Ketertiban Umum Belum Ada
- Biaya Tebang Tebu Membangkak
- Tak Ada Mutasi hingga Bupati Dilantik
__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment