Monday, June 14, 2010

[ac-i] Jawapos : Opini Pendet

 

 
  Opini
[ Kamis, 27 Agustus 2009 ]
Menjernihkan Konflik Serumpun
Oleh: Ahmad Sahidah

DUA tulisan tentang isu pencaplokan tari pendet oleh Dewa Gde Satrya berjudul Klaim Tari Pendet oleh Malaysia (Jawa Pos, 24/8/09) dan Siti R. Susanto berjudul Konflik Klaim Kebudayaan (25/8/09) mengandaikan isu lama tentang keranjingan negara tetangga kita itu mencuri hasil kebudayaan Indonesia. Tentu, kasus tersebut menyeret tuduhan sebelumnya seperti batik, lagu Rasa Sayange, dan reog Ponorogo serta menambah keyakinan khalayak di sini untuk menista saudara serumpunnya sebagai maling.

Benarkah gambaran tersebut? Benarkah negara bekas jajahan Inggris itu mencuri karya Indonesia untuk diakui sebagai miliknya? Di antara sederet karya, yang sering dikemukakan diklaim adalah batik. Padahal, menurut Wan Hasmah, mahasiswi PhD di Universitas Teknologi Mara (UiTM), Malaysia mengakui batik itu berasal dari Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam sejarah usul yang dipatrikan di Museum Batik Negara Malaysia.

Lebih jauh, Majapahit sebelumnya memberikan hadiah batik kepada Kerajaan Melaka. Bagaimanapun, jika ditilik dengan cermat, corak batik Malaysia berbeda dari Indonesia, baik motif maupun bahan. Masalahnya, karena banyak warga dan keturunan Indonesia di sana, batik-batik tersebut mendapatkan permintaan yang besar dan menyerbu masuk tanpa bisa dicegah, sehingga melalui celah itulah ''peniruan'' mungkin terjadi.

Persoalannya, apakah salah keturunan Jawa di Malaysia memanfaatkan karya nenek moyangnya untuk digunakan sebagai identitas, sedangkan pada waktu yang sama mereka telah mengalami naturalisasi sebagai warga Malaysia?

Mengapa kita tidak pernah mendengar gugatan orang Jawa terhadap budaya gamelan yang dimainkan orang Suriname keturunan Jawa? Salahkah orang Malaysia keturunan Bugis mengakui epik Galigo sebagai miliknya, mengingat perdana menteri yang sekarang, Najib Tun Razak, adalah keturunan Bugis yang telah menjadi warga negara di negeri serumpun tersebut?

Jawaban pertanyaan itu tentu tidak hanya berupa ya dan tidak. Sebab, batas-batas tersebut menjadi cair setelah pengalaman hubungan kedua negara ini sering naik-turun.

Kerja Sama dan Konflik

Kalau dirunut ke belakang, sejak Kerajaan Majapahit dan Melaka, perselisihan telah meruyak. Namun, pada masa yang sama, bagian dari dua negara ini juga pernah bahu-membahu bekerja sama melawan liyan. Misalnya, Aceh membantu Kedah, negeri utara Malaysia, melawan Siam (sekarang Thailand).

Bukan hanya itu, hubungan mesra tersebut telah memungkinkan orang Aceh diberi tanah untuk dihidupkan, seperti di Pulau Pinang, jauh sebelum Francis Light, asal Inggris, pada 1786 menyulap pulau mutiara itu menjadi kota modern. Dari hubungan tersebut, banyak keturunan Aceh yang berkewarganegaraan Malaysia berhasil dalam segala bidang. Misalnya, bisnis, politik, dan akademis.

Malahan, pada zaman prakemerdekaan, 1920-an, Tan Malaka menyusuri tanah Semenanjung untuk bersama-sama pegiat kemerdekaan lokal melawan penjajah. Rustam A. Sani, sosiolog terkemuka keturunan Minangkabau, dalam buku Social Roots of the Malay Left (2008) menulis dengan terang benderang bagaimana kaum kiri Indonesia, Djamaluddin Tamin, Tan Malaka, Budiman, Sutan Djenain, Alimin, dan Mohammad Arif, menggelorakan pergerakan orang Melayu setelah revolusi Jawa dan Sumatera dipadamkan Belanda. Dari pertautan itu, lahirlah Kesatuan Melayu Muda yang dikenal sebagai pemprakarsa perlawanan terhadap kolonialisme melalui gerakan bersenjata.

Selanjutnya, tidak aneh jika konflik muncul antara dua negara ini, masyarakat terbelah. Contoh yang paling jelas adalah penolakan almarhum Hamka, novelis dan ulama, terhadap gagasan konfrontasi Presiden Soekarno karena bukan saja alasan agama, tapi juga sejarah hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan yang sangat erat.

Negara yang terakhir itu layaknya salinan fotokopi dari induknya, yang kata Hamka dulu disebut Melayu, bukan Menang Kerbau, satu sebutan yang digagas Belanda. Dukungan Jawa tentu lebih total pada Ganyang Malaysia karena tak mempunyai hubungan historis seperti Minang, meski pengaruh Jawa sangat kuat karena pada masa Kesultanan Demak banyak prajurit yang dikirim ke Melaka untuk melawan Portugis.

Teori Mimesis

Teori tersebut mengandaikan bahwa seseorang merasa kehilangan sesuatu ketika barang miliknya diambil atau dipinjam orang lain. Keadaan semacam itu sering terjadi pada anak kecil.

Apakah kasus tari pendet mencerminkan teori itu? Siapa pun bisa mencocokkan atau malah mengajukan teori lain untuk menyangkalnya. Secara umum, seseorang akan meradang jika miliknya diambil orang lain.

Masalahnya, kepemilikan tersebut berkaitan dengan hasil kebudayaan yang mengandaikan sejarah penciptaan yang rumit. Misalnya, tari pendet. Bukankah unsur-unsur Hindu begitu kuat di dalamnya yang notabene merupakan warisan India kuno?

Hakikatnya, kedua negara ini mengandaikan pengalaman sejarah panjang yang berjalin kelindan, berbahasa Melayu sebagai lingua-franca dan berlatar belakang alam Nusantara sebelum akhirnya terpisah menjadi dua negara berdasar warisan batas teritorial penjajah, Belanda dan Inggris.

Dalam karya Tuhfah al-Nafis Raja Haji Ali diterangkan betapa orang-orang Bugis telah melakukan penetrasi kepada kesultanan Melaka, sehingga memberikan warna kebudayaannya. Demikian pula, Aceh pada masa kerajaannya telah menjajah negara bagian Malaysia sekarang. Karena itu, tak ayal banyak kebudayaan negeri Serambi Makkah tersebut dipraktikkan di buminya yang baru.

Dalam teori mimesis juga dijelaskan, bahkan walaupun barang yang dipinjam saudaranya itu sudah tak diperlukan, si pemilik ''boneka'' tersebut merengek karena ternyata boneka itu terasa begitu penting, itu pun setelah digunakan orang lain. Tampak, kasus klaim Malaysia terhadap karya ''Indonesia'' mengandaikan keadaan seperti itu.

Masalahnya, setelah barang tersebut dikembalikan oleh saudara yang lain, apakah si pemiliknya akan merawat atau malah menelantarkannya dan disimpan di gudang?

Jauh dari sekadar hiruk-pikuk ini, tidakkah ini bisa dilihat sebagai keberhasilan kreativitas bangsa Indonesia melakukan penetrasi kebudayaan pada negara tetangganya, sebagaimana dilakukan India dan Tiongkok terhadap Malaysia. Sederhana, bukan? (*)

*) Dr Ahmad Sahidah , dosen Peradaban Islam dan Asia, KDU College Pulau Pinang, Malaysia


__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment