Tuesday, September 1, 2009

[ac-i] BAGAIMANA MALIBORO? Simak di Majalah MATA JENDELA Taman Budaya Yogyakarta), Volume I Nomor 2/2009

 

TELAH TERBIT EDISI MALIOBORO

Majalah MATA JENDELA Volume I Nomor 2/2009

Terbitan Taman Budaya Yogyakarta (TBY)

 

 

Identitas dan Jantung-Hati Malioboro

 

Malioboro  kini menajdi poros perdagangan dan ekonomi. Malioboro dengan aneka kegiatan perdagangan selalu bergerak semarak dengan sejumlah toko, swalayan, mall, hotel, penjual aneka jasa cinderamata, dan sejumlah pedagang kerajinan. Malioboro juga  dijejali becak dan andong. Aneka maakan cepat saji juga tumbuh di sepanjang Malioboro. Seniman jalanan pun beraksi menjajakan suara dan alunan musik, baik tradisional maupun modern, silih berganti. Makin padat dan penat.  Asap kendaraan bermesin makin memanaskan udara dan menyerobot kenyamanan. Belum lagi soal gangguan kriminal seperti: pencopetan, pemalakan, gendam, dan pukul harga mengiringi citra negatif Malioboro.

 

Malioboro memang mulai menanggalkan rasa Yogya yang semestinya berhati nyaman dengan keramahan, sumanak, rumaket, dan  berbudaya semua insannya. Senyum khas Yogya semakin jarang ditebarkan untuk menyapa ketika tamu berwisata, atau ketika ada orang lain bertandang ke Malioboro. Tradisi pada Hari Kartini di Malioboro yang wajib mengenakan kebaya dan pakaian Jawa semestinya dilakukan setiap hari. Arsitetur dan bangunan megah modern yang terlanjur ada di Malioboro, setidaknya dapat diredam dengan berpakaian adat Mataraman. Malioboro pun semakin kelihatan antara tuan rumah (host)  dengan tamunya (guest). Para pengelola andong wisata di Malioboro telah melakukan penegasan identitas dengan berbusana Mataraman. Adakah kesadaran baru seluruh  para pihak pemangku kebijakan pewisata untuk menyamankan (kembali) Malioboro dengan busana Jawa Mataraman?

 

Malioboro tak lagi senyaman 25 tahun lalu ketika masih nyaman untuk melukis. Malioboro makin semrawut karena banyak kepentingan bercokol di sana. Malioboro sepertinya banyak menanggung beban masalah, dan penyakit kapitalisasi pusat kota. Jalur transpotasi dan megapolusi di Malioboro yang makin pekat, sejatinya kurang layak untuk pengunjung yang berjubel, sehingga sudah saatnya moda transpotasi diganti monorel atau kereta listrik. Nyaman, hijau, bersih, aman dan ramah adalah jantung Malioboro di Yogya. Sementara, hati Malioboro adalah keramahan, ketulusan, kedamaian, dan kebersamaan yang patut dipelihara di sana.

 

Malioboro cermin diri Yogyakarta sebagai Kota Budaya. Kalau belum mencapai tingkat berbudaya, semestinya atraksi seni pertunjukan tradisi maupun modern dapat digelar di sepanjang trotoar Malioboro secara gratis, atau apresian membayar secara sukarela. Ngamen gaya Didik Nini Thowok setiap bulan, semestinya dilakukan dapat setiap hari di Malioboro oleh sanggar lain. Repertoar jalanan semacam Perfurbance yang pernah digelar di sepanjang Malioboro seyogyanya difasilitasi agar meningkat kualitas dan kuantitasnya. Malioboro masih perlu dipersolek dengan aneka karya patung, seni mural, atau ekspresi media luar ruang lainnya?

 

Peduli dan menyayangi Malioboro dapat dilakukan dengan banyak cara dan terobosan. Banyak insane kreatif yang dapat mempercantik Malioboro, dengan bekerja sama dengan SMKI, SMSR, SMM, dan ISI Yogyakarta serta perguruan tinggi lainnya dengan program kemitraan yang nyata. Kerja sama pemerintah dan insan seni budaya juga perlu dieratkan untuk Malioboro agar menjadi atmosfir kreativitas, lebih berdaya, makin indah, ramah, dan membuat pewisata dan para tamu yang ke Yogya betah, dan kelak kembali kangen karena  MalioboroYogya yang tetap nyaman, berkesan, dan aman bagi kita

 

ARTIKEL ISI:

 

Yogyakarta: Bulaksumur-Malioboro-Gampingan

(Meretas Jalan Keindonesiaan)

Oleh Halim HD, Networker Kebudayaan

 

Malioboro: Dari Kematian Tugu Waktu sampai Politik Tanda Waktu

Oleh R. Toto Sugiarto, jurnalis, pesastra, tinggal di Yogyakarta

 

Malioboro dalam Sejarah: Tinggal Sejarah

Oleh Miranda, penulis, warga komunitas Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), Yogyakarta

 

Malioboro di Sebuah Ahad Pagi

Oleh A. Hari Santosa, perupa, sahabat anak, pendiri dan pengasuh Sanggar Melati, tinggal di Yogyakarta

 

Malioboroku, Empat Windu yang Lalu

Oleh Albert Kuhon, jurnalis, pernah bermukim di Yogyakarta antara 1972-1980, kini tinggal di Jakarta

 

Satu Garis, Serangkaian Cerita di Malioboro

Oleh Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, bekerja di pasar modal di Jakarta, sering mampir di Malioboro 

 

Puisi Gandhul Genteyong

Oleh Landung Rusyanto Simatupang, penyair, dramawan, tinggal di Yogyakarta

  

Anda ingin mendapatkan majalah MATA JENDELA? Hubungi ibu Munika Utun Wijayati (pada jam kerja) di Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123, Telepon 0274-523512 dan 561914, atau lewat e-mail matajendela@yahoo.com


__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Recent Activity
Visit Your Group
New business?

Get new customers.

List your web site

in Yahoo! Search.

Group Charity

GiveWell.net

Identifying the

best non-profits

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment