Tuesday, November 17, 2009

[ac-i] Aceh Harus Melihat Kejayaannya di Masa Lalu Jika Hendak Menghindari Kehancuran di Masa Depan

 



 
Facebook:
Radityo Djadjoeri
----- Original Message -----
Sent: Monday, November 16, 2009 10:08 PM
Subject: [media-jogja] Aceh Harus Melihat Kejayaannya di Masa Lalu Jika Hendak Menghindari Kehancuran di Masa Depan

 

Terjemahan Artikel Bapak Anand Krishna di The Jakarta Globe, Aceh Must Look to Its Glorious Past If It Hopes to Avoid an Inglorious Future - The Jakarta Globe

Aceh Harus Melihat Kejayaannya di Masa Lalu Jika Hendak Menghindari Kehancuran di Masa Depan

http://www.aumkar.org/ind/?p=222#more-222

Nanggroe Aceh Darussalam sekali lagi menjadi bahan berita. Kali ini bukan karena tsunami atau gerakan separatis, tapi karena “qanun jinayat” (dalam bahasa Arab “fiqh”), atau sistem perundangan berbasiskan akidah agama, dikeluarkan oleh dewan legislatif setempat pada 14 September.

Berbicara kepada Al-Jazeera pada hari yang sama hukum tersebut dikeluarkan, Wakil Gubernur Nazar menyatakan dengan jelas bahwa pemerintah provinsi tak setuju dengan undang-undang ini. Ia berjanji akan merevisi hukum tersebut, dan dengan terus terang berkata, “Kita harus menyesuaikan dengan situasi masyarakat. Aceh berbeda dengan Timur Tengah.” Walau berbicara kepada media lokal, ia tidak segamblang itu.

Yang lebih baru, para ulama di Aceh keberatan atas juara Kontes Putri Indonesia, Qori Sandioriva, 18, yang tampil tanpa jilbab, atau penutup kepala. Qori, yang memenangkan kontes pada 9 Oktober, mewakili Aceh, dan mengaku bahwa ia telah mendapat “restu dari pemerintah provinsi.”

Wakil Gubernur Nazar menyangkal pernyataan tersebut, mengatakan: “Saya akan bertemu dengannya secara personal untuk menanyakan langsung kenapa ia ikut kontes tersebut,” seperti dilaporkan oleh Straits Times, pada 13 Oktober. Kepada media lokal, bahasanya lebih kasar lagi.

Indonesia bukan Arab Saudi. Perundangan dan praktek-praktek semacam itu melanggar kesepakatan internasional berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, yang Indonesia sudah tandatangani, sedangkan Arab Saudi tidak mau.

Tapi, kelompok garis keras dan partai politik tanpa agenda nyata bagi pembangunan bangsa tak ada urusannya dengan hak-hak asasi manusia, kesepakatan internasional ataupun budaya setempat. Mereka selalu bergantung pada agama untuk memperoleh suara. Oleh sebab itu, mereka harus mempunyai isu agama untuk dijual.

Salah satu anggota partai, tampil di televisi nasional, mengatakan bahwa budaya Aceh “ialah Islam.” Ia berkata perundangan setempat sudah sesuai dengan agama, dan mereka yang menentangnya sama sekali tak tahu-menahu tentang Aceh.

Bachron M Rasyid, yang menjadi ketua dengar pendapat khusus berkaitan dengan pemberlakuan perundangan ini, dilaporkan berkata begini, “Semua partai setuju mengesahkan rancangan ini menjadi undang-undang, termasuk pasal yang menetapkan hukuman rajam lempar batu sampai mati…Undang-undang ini akan mulai berlaku dalam 30 hari dengan atau tanpa persetujuan gubernur Aceh.”

Menariknya, dewan legislatif yang baru dan semoga lebih moderat telah dilantik, menggantikan partai konservatif menyusul kekalahan mereka dalam pemilu setempat.

Saya melihat perundangan ini ialah isu problematik sengaja dibuat oleh penguasa lama yang enggan melepaskan tampuk kekuasaan. Jika dewan legislatif yang baru “menerapkan” undang-undang, seperti yang banyak analis percayai akan dilakukan, kemudian pemain lama itu akan memiliki isu agama lagi untuk dijual. Mereka dapat sekali lagi mempolitisasi agama untuk keuntungan mereka dengan memainkan sentimen dari massa yang lugu. Mereka tak punya barang dagangan lain untuk dijual.

Satu dekade lalu, ketika pemerintah kita mempersiapkan paket otonomi khusus untuk Aceh, mengijinkan provinsi tersebut mengadopsi sistem perundangan berbasiskan agama, lewat tulisan saya memperingatkan bahwa bila ada “dua macam hukum di sebuah negara” ini seperti bom waktu. Bisa meledak kapan saja, dan menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Siapa yang peduli?

Saya mencoba memahami semangat pemuda kita pada tahun 1928, ketika mereka meneriakkan sumpah persatuan satu Ibu Pertiwi, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa - Indonesia. Pada waktu itu mereka tak melihat agama atau akidah agama sebagai isu penting. Jika demikian, tentu mereka akan menambahkan “Satu Hukum di seluruh Indonesia’ dalam sumpahnya.

Kita tak disatukan oleh agama ataupun akidah agama dulu, dan tak akan pernah. Nilai-nilai agama, atau dharma dalam bahasa kuno di kepulauan kita, ialah nilai-nilai spiritual yang universal, semuanya sudah termaktub dalam ideologi nasional Pancasila (lima prinsip).

Fikih, atau akidah agama, dan fikih berdasarkan qanun ialah “interpretasi manusia dari pemahaman manusia” atas Syariah. Ini menjelaskan berbagai aliran pemikiran, mazhab di Arab dan pelbagai interpretasi fikih.

Inilah sebabnya kenapa “membatui sampai mati” tak dilakukan di seluruh negara Timur Tengah. Negara-negara dan kerajaan di daerah tersebut tak mempunyai interpretasi yang seragam atas akidah agama.

Tapi, ketika ini masuk ke Arab Saudi, akidah agama menjadi masuk akal karena mereka menganut interpretasi Wahabi yang spesifik. Kasus ini tak terjadi di Indonesia, seperti kata Wakil Gubernur Nazar. Di sini, kita majemuk, tak seragan.

Saudi dikenal percaya pada keseragaman. Jika kita mempelajari pemikiran para ulama dan pejabat kita yang bersekolah di Saudi, kita tahu bahwa mereka berbeda dengan kita. Perbedaan ini berakar dalam norma-norma yang kita hargai dan juga nilai-nilai budaya.

Bagi suku Arab, keseragaman ialah keutamaan yang didukung oleh alamnya. Mereka berbagi padang pasir yang sama dan jumlah tanaman di sana juga terbatas. Cara pandang mereka terhadap kehidupan terbentuk oleh keterbatasan alam semacam itu.

Kasusnya berbeda di sini. Filofosi kita, “Berbeda tapi Satu,” ialah keluaran dari keberagaman sumber daya alam, kondisi geografis dan juga budaya kita.

Kembali ke awal tahun 1990-an ketika ilmuwan politik Samuel P Huntington mulai mengelaborasi teori sejarahwan Bernard Lewis seputar Clash of Civilization alias benturan peradaban, banyak dari kita tak setuju dengannya.

Barangkali, kita merasa istilah “civilization” atau peradaban terlalu provokatif. Apa yang dimaksud dengan peradaban sesungguhnya ialah “identitas agama dan budaya.” Perbenturan identitas macam inilah yang mereka ramalkan.

Perbenturan itu terjadi hari ini.

Aceh sedang terkoyak antara budaya lokalnya sendiri dan identitas keagamaannya. Apa itu adat (Tradisi) dan Budaya Aceh? Cek website resmi pemerintah provinsi http://www.nad.go.id. Anda dapat menemukan menu di site tersebut tentang adat dan budaya. Tapi tak ada isinya. Sayangnya lagi, halaman untuk sejarah juga masih kosong.

Aceh mengalami krisis identitas. Ia tak peduli untuk tahu bahwa pada awal abad ke 6 kronik China mengulas tentang tanah dan leluhur mereka. Bahkan walau tahu demikian, kita kita tak memiliki catatan sejarah seputar periode campur tangan tersebut. Selanjutnya kita mendengar tentang Aceh lewat Marco Polo pada tahun 1292. Kita tak punya catatan apa saja yang hilang selama enam sampai tujuh abad lebih.

Berapa banyak dari kita tahu bahwa selain afiliasi keagamaan, Aceh selalu memegang teguh tradisinya dan nilai-nilai budayanya? Kita tak lagi ingat selama Iskandar Muda berkuasa (yang pemerintahannya terlalu menekankan pada semangat ekspansionis dan ekspedisi militer), tapi selama pemerintahan putrinya Taj’ul Alam (1641-1675) Aceh begitu damai, stabil dan aman. Tiga penguasa wanita yang lain menggantikannya. Aceh tak bermasalah dengan kepemimpinan perempuan. Arab Saudi akan menentang ide ini dulu dan sampai hari ini pun tetap demikian.

Pada tahun 1699, sekelompok pedagang Arab menggunakan pengaruhnya di pengadilan untuk menekan “pemerintahan wanita” dan memasang pemimpin berdarah Arab di singgasana. Sejak saat itu, sejarah Aceh mengalami pembusukan yang cepat sekali.

Mari berharap bahwa sejarah tak terulang lagi. Masyarakat Aceh harus mendukung pernyataan Wakil Gubernur Nazar, bahwa “Aceh berbeda dengan Timur Tengah.” Politisi dan partai politik yang dikenal suka mempolitisasi agama tak usah diberi tempat di Aceh, atau di Indonesia dengan alasan apapun. Gubernur Irwandi Yusuf mempunyai kesempatan mencetak sejarah. Biarkan Aceh bangkit kembali pada kejayaan masa lalu, sejarah dan warisan budayanya untuk meraih masa depan yang lebih gemilang.

Anand Krishna ialah seorang aktivis spiritual.

13 November 2009

Source: http://thejakartaglobe.com/


Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com.

__._,_.___
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment